Park Jihoon

105 10 1
                                    

Jam 6 pagi dan Jihoon sudah berada di jalan menuju tempat barunya menimba ilmu. Park Jihoon hanya salah satu dari sekian banyak orang yang hilir mudik memadati jalan raya.

Ini tahun ajaran baru, dan Jihoon memulainya dengan status baru sebagai seorang mahasiswa di salah satu universitas terbaik melalui jalur masuk undangan. Jika ditanya, Jihoon tidak memiliki alasan khusus mengapa ia memilih jurusan hukum. Ia bahkan tidak memiliki alasan pribadi mengapa ia memilih masuk ke universitasnya sekarang. Semua sudah ditentukan oleh ayahnya, dan Jihoon hanya harus menelusuri jalan yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.

Sejak dulu Jihoon selalu menjadi anak yang penurut. Ia tidak pernah berhasrat memiliki cita-cita. Untuk apa? Jika cita-cita itu tidak sejalan dengan jalur yang dikehendaki ayahnya lantas apa gunanya? Semuanya hanya akan menjadi angan-angan yang takkan pernah dicapainya.

Mobil yang ditumpangi Jihoon berhenti tepat di depan lobby kampusnya. Jihoon yang dikenal kekanakan tersenyum lucu ke arah supir di sampingnya, mengucapkan terimakasih dengan nada jenaka yang menggemaskan sebelum keluar dari mobil. Jihoon memang dikenal sebagai pribadi yang ramah, sopan, tidak sombong dan selalu patuh pada orang yang lebih tua, bahkan jika itu dengan supir ataupun asisten rumah tangganya. Hal positif yang ia pelajari dari keluarganya. Si periang yang selalu bisa mengeluarkan guyonan kapanpun dan di manapun. Si ekstrovert yang nampak begitu percaya diri.

Jihoon berjalan dengan senyum di wajahnya menelusuri koridor menuju auditorium tempat dilangsungkannya penyambutan mahasiswa baru. Raut terlihat seakan ia data menaklukan dunia, namun jemarinya yang memegang erat pegangan ranselnya terasa begitu dingin dan sedikit bergetar. Di dalam hati ia mempertanyakan kelayakan dirinya di tempat itu, mencoba mengais kepingan kepercayaan dirinya yang menciut seiring dirinya membandingan betapa orang lain lebih segalanya daripada dirinya.

Saat ia menaiki anak tangga, dari bawah ia dapat melihat sekumpulan anak lelaki sebayanya yang saling bercanda satu sama lain. Mereka memakai pakaian yang sama, kemeja putih, celana hitam dan almameter kampus, namun kenapa orang lain tampak sangat modis dibanding dirinya? Kepala Jihoon sedikit tertunduk seiring ia melewati gerombolan laki-laki itu. Apa ia pantas berada di sini?

Sama seperti acara penyambutan lain yang diisi dengan pidato panning lebar oleh rektor dan hal-hal berkaitan administrasi yang disampaikan oleh moderator yang data kita jumpai di buku panduan. Jihoon seorang pemerhati yang cukup baik. Dari sudut tempatnya duduk, ia dapat mengkategorikan orang-orang yang dilihatnya, teman-teman satu angkatannya, senior-senior yang membantu berlangsungnya acara, setidaknya ia kategorikan sesuai pemikirannya. Anak-anak kaya yang kuliah hanya untuk menghabiskan yang orang tuanya, kumpulan anak jenius yang ambisius dengan IPK, dan orang-orang sepertinya yang menjalani hidup hari demi hari mengikuti alur takdir tanpa hasret untuk menentangnya.

Dengan cepat Jihoon sudah mendapatkan teman baru yang duduk tepat di sampingnya, Bae Jinyoung dari jurusan bosnis internasional. Jinyoung tampak pendiam, namun juga ramah. Ia menanggapi ocehan Jihoon yang tiada putusnya dengan pas, tidak tampak terlalu bersemangat namun juga tidak mengabaikan Jihoon. Well, setidaknya Jinyoung cukup menyenangkan diajak berbicara bagi Jihoon.

Moderator di atas panggung menutup acara setelah jarum jam menunjuk ke angka 12 siang, rektor dan senat beriringan keluar dari auditorium. Panitia yang terdiri dari para senior yang aktif organisasi membubarkan kerumunan mahasiswa baru, di saat itu lah satu suara yang lebih nyaring dari yang lain menarik perhatian Jihoon. Di sudut kanan belakang seorang lelaki jangkung nampak sangat menonjol dibanding yang lain. Lelaki itu tersenyum letar menampilkan gusinya yang mengintip dari celah bibir tebalnya.

"Kantin! Kantin!" Seruannya terdengar lebih nyaring dari gemuruh mahasiswa baru lainnya.

Ah- itu anak yang di tangga tadi, si modis yang terlihat tangguh dan keren. Ia seperti tipikal anak populer yang disukai gadis-gadis, memiliki pengikut yang banyak di instagram dan selalu masuk dalam list pria-yang-ingin-kau-kencani. Jihoon bertaruh, hidupnya pasti sangat mudah.

"Lai Guanlin. Kenapa aku tidak terkejut melihatnya bisa masuk universitas ini ya?"

Jihoon mendengar bisikan itu dari arah belakang tempat duduknya ketika ia menoleh melihat ke arah si Guanlin yang menyampirkan ranselnya di bahu kanannya sembari lengan kirinya merangkul lelaki di sisinya. Jihoon tidak sempat melihat siapa yang berbisik tadi, karena saat ia mengalihkan pandangannya dari Guanlin, kursi di belakangnya sudah kosong.

"Jihoon." Jinyoung memanggil, ia sudah berdiri di depan Jihoon seraya memanggul tasnya. "Aku pulang duluan, ya, sampai jumpa besok."

"Ya, sampai jumpa, Jinyoung. Hati-hati di jalan. Bye~" Jihoon membalasnya dengan nada yang bersahabat, melambaikan tangannya sambil tersenyum simpul.

Setelah ruangan setengah kosong, barulah Jihoon merajut langkahnya keluar dari auditorium menuju tempat parkir sambil memainkan ponsel. Jihoon hanya mengabari supirnya bahwa ia telah selesai dan akan menunggu di halte di depan parkiran, namun ia tetap mempertahankan sikap sok sibuknya bermain ponsel agar tidak terlihat kikuk berjalan melewati orang-orang yang dirasanya lebih baik darinya.

Ketika sampai di halte, Jihoon berdiri sedikit berjarak dari halte yang ramai, sedikit ke belakang agar ia dapat berkamuflase dengan pohon di belakangnya sehingga tidak akan ada yang memperhatikannya. Di tengah kemacetan jalan oleh kendaraan yang menjemput kumpulan mahasiswa baru, Jihoon melihat seorang lelaki berwajah manis dengan rambut coklat karamel yang tersisir rapi baru saja berjalan melewatinya menuju mobil yang berhenti agak jauh dari halte. Si manis itu memanyunkan bibirnya lucu saat berjalan, almameternya nampak begitu kebesaran di tubuhnya yang kurus. Mungkin dia sekurus Jinyoung, namun lebih pendek. Jihoon melihatnya saat di auditorium, ia sendiri, memperhatikan pembicara di depan, nampak tak memiliki teman namun sepertinya ia orang yang baik.

Bunyi klakson mengagetkan Jihoon, mengalihkan atensi Jihoon dari lelaki tadi, ternyata supirnya sudah berada tepat di depannya. Jihoon tersenyum, membuka pintu penumpang di samping kemudi, memasuki mobil seiring mulutnya terbuka menyapa sang supir.

"Hehehehe halo Paman."

"Maaf menunggu lama, jalanan macet sekali."

"Hng- ya, tak apa."

Si supir melajukan mobil perlahan, berbicara hal-hal tidak penting dengan Jihoon. Di Tengah kemacetan itu ada saja pengendara motor yang melaju kencang tanpa menghiraukan pengendara lain. Jihoon tau siapa itu, ia melihat si pengendara motor itu tadi di luar auditorium. Karena Jihoon duduk di samping jendela, ia jadi dapat melihat mahasiswa yang datang terlambat dan dihukum oleh para panitia berdiri berjejer di luar ruangan. Jihoon mengulum senyumnya mengingat bagaimana si pengendara motor itu tadi memasang wajah bodoh dan tak peduli saat ia dimarahi oleh panitia, lelaki itu mallar tertawa menampilkan gingsulnya seolah ada hal yang pantas ditertawakan dari keterlambatannya. Namanya Park Woojin, ia menyebutkan namanya cukup nyaring saat panitia bertanya, marga yang sama seperti Jihoon. Entah dari jurusan apa, tapi sepertinya akan menyenangkan jika Jihoon dapat berteman denga Woojin.

Awal yang baru di jejak perjalanan hidup Jihoon. Bukan sebuah awal yang buruk, namun tetap sama memicu adrenalinnya seperti awal-awal penjajakan lainnya di hidup Jihoon. Jihoon hanya berharap lingkungannya yang baru tidak akan menempatkannya di situasi yang buruk yang mampu menariknya dari jalur monoton yang dilaluinya. Semoga hidupnya tetap sama monotonnya seperti sekarang, karena ia bukan dari golongan orang yang beruntung yang memiliki tombol restart setelah mengalami kegagalan.

***

Selanjutnya siapa dulu?

Ga jadi bikin fiksi, tapi work ini sedikit beda dari yang lain. So, enjoy~

© Lady F
2020-04-14

SempurnaWhere stories live. Discover now