06. 30 September [3]

Start from the beginning
                                    

Pada awalnya beliau agak skeptis, apalagi tidak ada surat sebagai bukti. Aku berusaha keras meyakinkan beliau dan beliau mengancamku apabila aku berbohong. Kuterima ancaman itu, tidak apa-apa bagiku asal Idris tidak dianggap alfa hari itu. Aku kembali ke kelasku, paling tidak lebih tenang daripada tadi.

Waktu berlalu dan tibalah saat pulang. Aku datang ke rumah disambut ayah dan beliau menyadari wajahku muram.

"Pasti gara-gara gak ada Idris kan?"

Aku hanya tersenyum dan bersiap untuk mandi. Setelah ganti baju baru aku makan. Aku berdiskusi sebentar dengan ayahku tentang tujuanku setelah makan ini.

Aku berpikir apakah pergi langsung ke rumah sakit, atau bertanya melalui telepon saja. Maksud pembicaraan itu adalah nama mayat yang ditemukan di sumur sekolah. Ayahku tahu tentang evakuasi mayat itu namun tidak tahu siapa namanya.

"Nah, itu yang ingin aku tahu. Aku sudah ada janji dengan Firdaus bahwa kami akan mengetahui nama mayat itu. Eh ternyata dia sakit."

"Lebih baik kamu jenguk dia dulu, kalau dia sehat, ajak dia lagi. Kalau kamu pengen, ayah bakal nganterin." Pada akhirnya aku dan ayahku pergi bersama ke rumah Idris.

Tok tok tok. Aku yakin itu ketukan pintu dari Firdaus, sudah menjadi ciri khasnya setiap kali datang ke rumahku. Aku pun membukakan pintu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Udah baikan?" tanyanya balik.

"Alhamdulillah, mulai membaik. Aku sudah mulai bisa beraktivitas dan mungkin besok aku sudah bisa kembali ke sekolah."

"Syukurlah kalau begitu."

"Silahkan masuk. Kamu bersama ayahmu?" tanyaku sambil menengok ke belakangnya.

Aku meminta agar ayahnya masuk ke rumah juga. Firdaus mengingatkan agar stang motor dikunci. Kemudian mereka masuk dan aku menyuruh duduk di ruang tamuku.

Sementara itu aku pergi ke dapur sebentar dan kembali dengan dua gelas es teh. Aku menjamin tidak akan terulang lagi kejadian di restoran. Aku juga menyadari Firdaus mulai terbiasa dengan aroma melati, karena sekarang tercium di ruangan ini.

"Jadi, apa tujuan kalian ke sini?" tanyaku sambil duduk.

"Aku mendapat informasi bahwa mayat kemarin sudah dipindahtangankan dari pihak pemadam kebakaran ke pihak rumah sakit. Nah, kan kemarin kita sudah berjanji bahwa kita akan mengetahui siapa mayat itu. Sekarang aku bingung, apakah kita datang ke sana atau cukup di telepon saja perawat yang kita temui di Rumah Maneken Lilin dulu?"

"Telepon saja, kalau dia tidak mengangkat dan tidak menjawab, maka baru kita ke sana."

"Baiklah. Aku akan menelponnya," ucap Firdaus sambil mengambil ponsel di sakunya.

Dia sepertinya mengeraskan suara ponselnya, sementara ayahnya menghirup seteguk teh.

"Anda menghubungi salah satu perawat di Rumah Sakit Sukamawar. Ada apa pak/bu?" jawab perawat itu dengan cepat.

"Saya hanya ingin mengetahui, apakah ada mayat yang beberapa hari ini dibawa ke rumah sakit, hasil dari evakuasi dari Madrasah 'Aliyah?"

"Izinkan kami mengecek informasinya sebentar. Boleh kami tahu nama bapak?"

"Bapak?" ejek ayahnya sambil tertawa kecil.

"Saya Firdaus. Orang yang meminta nomor Anda saat mgantar mayat di Rumah Maneken Lilin."

Kami terdiam sebentar sambil mendengar ketikan di papan tombol komputer. "Kami sudah mengecek data, dan memang ada seorang mayat remaja pria yang diantarkan kemarin ke rumah sakit ini."

"Anda sudah tahu identitasnya?"

"Kami sudah bekerja sama dengan pihak kepolisian, mayat tersebut teridentifikasi atas nama Mustafa."

"Mustafa?" Aku dan Firdaus memandang satu sama lain.

Kami meminta identitasnya lebih lanjut seperti apakah dia pernah bersekolah di MA Sukamawar dan fotonya. Data yang kami dapatkan mengarah kepada satu orang, yakni Mustafa sang ketua OSIS itu.

Firdaus menjelaskan siapa Mustafa kepada ayahnya karena menurutnya pernah ke rumah meminta sumbangan. Ucapan istirja keluar dari mulut ayah Firdaus. "Turut berduka cita."

Beliau menanyakan lebih lanjut tentang penemuan Mustafa itu dan kami menjelaskan bahwa-dugaan sementara-dia dibunuh. Kami berjanji akan mengetahui siapapun pelakunya.

Waktu Asar tiba, Firdaus dan ayahnya pulang. Setelah salat Asar, aku menelpon Kepolisian Kebun Melati dengan telepon yang ada di ruanganku itu. Tujuanku menelepon mereka adalah meminta nomor Kepolisian Sukamawar untuk menanyakan beberapa hal kepada mereka.

Mereka memberikan nomornya sementara aku mencatat. Tujuan utamaku terpenuhi sehingga tanpa menunggu jeda, aku langsung menelpon Kepolisian Sukamawar.

"Halo. Kepolisian Sukamawar. Ada yang bisa kami bantu?"

"Saya Idris dari Perbatasan, bisakah saya mendapatkan informasi tentang mayat yang dievakuasi dari MA Sukamawar?"

"Anda nampaknya tidak menonton konferensi pers kami. Kami akan menjelaskan ulang untuk Anda." Aku sama sekali tidak mengetahui tentang diadakannya konferensi pers itu.

"Kami masih mengidentikasi hal tersebut. Hanya saja pihak rumah sakit menyatakan hasil pemeriksaan bahwa mayat ditembak di bagian jantung beberapa kali, sepertinya dibiarkan begitu saja, lalu dengan darah yang masih mengalir langsung dimasukkan ke dalam sumur. Itu masih dugaan kami, namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mayat itu sudah berada di dalam sumur selama lima hari sampai penemuan."

"Terima kasih atas informasinya." Telepon itu ditutup oleh mereka.

***

Rabu, 2 Oktober - Aku kembali ke sekolah, aku mengaku bahwa ternyata aku perlu istirahat sebentar.

Aku banyak ditanya pada hari itu, oleh guru, teman sekelasku dan orang lain yang mengenalku. Pertanyaan yang sama, kemana aku kemarin. Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama, "Aku sakit."

Waktu berlalu, singkat cerita hari itu aku belum bertemu Firdaus, bahkan di musala. Sampai waktu pulang, aku pulang lebih lambat dari orang lain karena ada yang masih kukerjakan. Intinya, aku bertemu dengan Firdaus di depan pagar seperti biasanya.

Kami berbicara sebentar, dan menduga-duga siapa pelakunya. Aku sama sekali tidak menduga siapapun saat itu, namun Firdaus mencurigai Zain. Wakil ketua OSIS yang sepertinya selalu menemaninya.

"Kenapa kamu mencurigainya?"

"Kejadian Matsama itu, ada kejanggalan. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan Zain."

Setelah mendengar perkataan Firdaus tersebut, aku kembali memikirkan apa yang terjadi saat di Matsama itu. Rasa pesimis muncul, aku takut pemaparanku salah saat itu.

"Kita hanya bisa menunggu konferensi pers lanjutan dari kepolisian tentang masalah ini. Sekarang, secara terpaksa,kita lupakan sejenak kasus ini, tanpa mengetahui siapa pelakunya."

Detektif Sekolahan | TERBITWhere stories live. Discover now