Chapter 2

97 19 52
                                    

Satu pesan dari saya.

Bila mau baca cerita saya, harap pertajam imajinasi. Mari berpetualang di dunia imajinasi saya.

Bila tak mau? Tanggung sendiri akibatnya.

Sudah siap?
Starto! 🔥🔥

****

"Kamu nemu buku ini di mana, Nana?" tanya si pemuda berkaos hitam, mengambil buku tebal dengan sedikit debu di sela ukiran sampul buku. Sambil menunggu Nana membuat minuman hangat, ia membolak-balikan buku untuk sekadar memeriksa segi fisik buku ini.

"Hee, Reaki pernah lihat buku ini waktu jalan-jalan sama Mbah," kata Reaki terpana akan buku tersebut, lalu mengerling ke arah temannya. "Memangnya Zapo pernah lihat?"

"Entahlah." Zapo mengangkat bahunya sekali. "Mungkin pernah, seingatku."

"Coba sini, Reaki lihat tulisannya dulu." Zapo menuruti perkataan Reaki, menyerahkan buku tebal itu begitu saja. Begitu benda balok itu ada di genggaman Reaki, bisa diprediksi berat bukunya sekitar setengah kilo. Makanya Reaki taruh di meja. Jemari kurus berhiaskan cincin perak di jari manis Reaki mulai membuka halaman buku, tepat saat Nana datang dan menaruh tiga cangkir cokelat panas.

Nana duduk di kursi dekat Reaki. Sambil bertopang dagu, minuman panas buatannya menimbulkan kepulan asap yang lembut, memberi sambutan bentangan kertas kuning untuk pandangan Nana. Iris emas Nana menciut, berbinar-binar dengan isi halaman tersebut.

"Tulisan apa sih ini?" Zapo mendekatkan diri pada buku di hadapan Reaki. Tak heran pria bersurai cepak ini mengernyit, ia tak paham dengan tulisan di sana.

Memang tulisannya tergolong aksara, tetapi aksara ini Zapo tak tahu sama sekali. Lebih ke aksara Jawa, sayangnya itu bukan bahasa Jawa saat Zapo mencoba mengartikan tulisannya. Aksara Thailand? Tidak juga, justru arti dari tulisannya malah buat Zapo tertawa terpingkal-pingkal.

"He-hei, aku serius." Zapo masih terkekeh renyah sambil menyeka air asin di sudut mata dengan jari telunjuknya. "Ini aksara dari negara mana, hah? Baru kali ini aku nemu aksara serumit ini."

"Entahlah, Zapo," jawab Reaki terteleng. Alisnya terangkat dari atas ke bawah, pertanda ia putus asa dengan ujian buku ini. "Reaki juga gak tau."

"Herbiopheia." Sekonyong-konyong Nana berkata demikian. Bukan apa-apa, perkataan gadis bersurai cokelat pendek ikal ini menarik perhatian dua adam di samping kirinya. Mata beloknya bergerak menatap dua orang di depannya—Nana duduk menyamping. "Apa? Aku baca judulnya tau."

Nih cewek sebenarnya paham aksara ini gak sih? Dua tamu dadakan ini membatin dengan wajah datar. Zapo menyesap minuman beraroma susu cokelat buatan Nana. "Kamu tau aksara buku ini dari mana dah?"

"Aksara?" Nana mengernyit bingung, nada bicaranya pun naik satu oktaf. "Kalian ini ngomong apa? Orang aku lihat tulisannya alfabet, bukan aksara."

"Ah, pantes." Reaki mengerling malas ke arah Zapo yang masih menyesap cokelat panas. "Keistimewaan iris kampret dari si Nyai."

"Coba kamu baca halaman berikutnya," ujar Zapo meletakkan cangkirnya di minuman milik Reaki. "Kita cuma bisa ngandelin kamu buat baca aksara di buku itu."

"Kalian ini," Nana mengambil alih kuasa buku tebal dengan sekali seretan, "masa kalian gak lihat tulisannya alfabet? Gak guna kalian aku telepon ke sini."

Terserah kamu aja, Na! Kali ini, rutukan mereka ditambah dengan tatapan tajam. Saking kesalnya pada Nana mungkin, authornya sendiri tak tahu kenapa kelakuan mereka seperti itu.

"Ah, ada tulisan lagi," kata gadis beriris emas tersebut. "Tunggulah sebentar. Kamu harus mengikuti asal suara lonceng gereja setelah membaca halaman ini. Jangan lupa untuk selalu membawa buku ini."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 29, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HerbiopheiaWhere stories live. Discover now