Bagian 2 : Takaki Yuya

205 30 23
                                    

'Hangat.'

Indra perabaku merasakannya. Sebentar lagi, aku yakin sebentar lagi akan berakhir. Ayo berusaha lagi. Setidaknya, biarkan indra perabaku berfungsi seutuhnya.

'Apa itu cahaya?'

Sekuat tenaga aku berusaha menggerakkan kelopak mataku agar terbuka. Kutukan ini menyebalkan. Aku ingin segera kembali.

"Ugh!"

Kelopak mata yang berhasil kubuka mengerjap cepat. Menyesuaikan cahaya yang masuk tanpa permisi ke dalam retina.

"Sudah berakhir? Berapa lama aku tertidur?"

Itu? Apa itu tadi suaraku? Aku sudah kembali? Aku benar-benar kembali?

Ku amati dengan lekat tubuhku. Masih berbentuk. Semua utuh. Aku kembali hidup.

"Ini aneh. Kenapa aku tembus pandang?"

Sekali lagi aku mengamatinya. Tubuhku, sepertinya aku belum kembali seutuhnya.

"Oi?! Para Dewa sialan! Apa yang kalian lakukan? Bukankah aku juga bagian dari kalian? Hukuman macam apa ini?!" Teriakku marah.

Wush

Aku menutup mataku karena angin kencang. Melupakan fakta jika angin itu bahkan dengan mudah menembusku.

"Tidak ada Dewa yang mencintai manusia. Apalagi hingga melakukan hal yang sudah diluar batas."

Krincing

Rantai emas berukuran besar muncul dan dengan kuatnya mengunci kedua tangan serta kakiku. Mataku jelas membelalak tak percaya dengan semuanya. Aku sudah diturunkan ke bumi, dan kini aku dirantai?

"Apa lagi ini? Bukankah hukumanku berakhir? Kenapa aku masih diperlakukan tidak layak oleh sesamaku?"

"Hanya ada satu cara agar kau bisa melepaskannya. Carilah penggantimu, yang mau dengan rela hati menggantikan posisimu!"

Dia menghilang tiba-tiba. Benar-benar dewa tak tau sopan santun. Seenaknya mengutuk, menghukum dan kini merantaiku.

Aku akui memang kesalahanku melanggar aturan para dewa. Tapi saat itu, aku sangat mencintainya. Manusia yang sangat anggun. Ia sangat cantik. Perangainya begitu baik dan lembut. Sialnya, aku melampaui batas. Aku ingin mencarinya. Aku ingin bertemu dengannya. Meskipun aku tahu jika waktuku tertidur, tidak hanya sebatas hitungan tahun. Tetapi sudah memasuki hitungan abad.

Manusia berumur singkat. Apa aku masih bisa bertemu dengan wanitaku? Bagaimana kabarnya? Atau kemungkinan terbesar yang bisa aku tanyakan adalah...

"Dimana kuburmu?"

Percuma, gumaman bahkan teriakanku tidak akan membuat kita bertemu lagi. Tapi aku masih tidak rela jika harus hidup tanpa tahu keadannmu kini.

Aku duduk termenung di sisi dalam hutan yang rimbun. Cahaya hanya bisa masuk melalui celah kanopi lebat yang memayungi hutan. Lumut dan tanaman lembab mendominasi sekelilingku.

"Apa kekuatanku masih ada?" Aku menatap telapak tanganku. Walau transparan, masih terlihat dengan jelas kilat kekuatan di sana.

Menyadari hal itu, sepertinya akan seru jika aku bermain-main dengan tanaman di sekelilingku. Aku mengumpulkan energi milikku. Menyatukan serta memfokuskannya ke dalam satu titik. Telapak tanganku bergetar dengan kuat.

"Sepertinya aku terlalu banyak mengeluarkan tenaga." Keluhku menahan tumpukan kekuatan yang mendominasi tanganku.

Cttaarrr

Seperti kilat petir. Aku melihat kumpulan lumut itu berkumpul dan menyatu. Membentuk kuncup bunga yang cukup indah dengan pendar cahaya menyala.

"Sepertinya tumbuhan ini menarik untuk kujadikan mainan."

Circle Where stories live. Discover now