Prolog

34 2 0
                                    

Matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampakkan rimbun dedaunan pohon di samping rumah. Meski tak ingin, ekor matanya masih menangkap kain putih yang membebat tangan kirinya.

Oh, ingin sekali rasanya menangis.

Bukan karena rasa sakit, tetapi karena hancurnya mimpi-mimpi yang sempat terbangun.

Entah sudah berapa lama menatap ke depan saat pintu kamarnya diketuk perlahan. Tak ada keinginan untuk menoleh dan melihat siapa yang datang. Biarlah, biarkan saja.

Suara langkah kaki mendekat menandakan orang itu tak hanya ingin berbasa-basi melongok keadaannya. Ia tak ingin mendengar kelanjutannya. Pasti sama seperti yang lain, orang ini pun akan mengucapkan rasa kasihan atas apa yang menimpanya.

Tapi hingga orang itu duduk, masih tak terdengar apa pun. Yang ada justru suara ritmis yang menandakan orang itu mulai menggambar – kesenangan lainnya selain membaca buku.

Rasa penasarannya yang menggelitik menang. Ia pun mengalihkan pandangan dari jendela dan menatap pemuda yang kini duduk di meja belajarnya.

"Kamu ngapain?" tanyanya penasaran.

"Nggambar." Jawaban yang semua orang pasti sudah tahu.

"Ngapain ke sini?" tuntutnya lagi.

Tak ada jawaban selain sebuah kedikan bahu. Bahkan matanya pun tak lepas dari kertas di hadapannya.

Diam.

Satu-satunya yang menjadi latar suara hanyalah suara dengung AC diiringi gesekan antara kertas dan pensil.

Merasa tak tahan dengan kesunyian yang belakangan justru menjadi teman pilihan, ia menyuarakan rasa penasarannya. "Kamu ke sini cuman buat numpang nggambar aja? Nggak ada yang mau diomongin gitu?"

Gerakan tangannya terhenti, wajahnya pun menoleh ke arahnya. "Nggak ada omongan yang bisa menghibur kamu saat ini. Kamu juga nggak butuh tambahan rasa kasihan, lagian aku juga nggak kasihan sama kamu."

Deg.

Rasanya sakit, bukan pada tangannya yang terluka. Walau yang diucapkan benar, bahwa dirinya tak membutuhkan tambahan rasa kasihan, namun tidak adakah rasa simpati yang terpetik?

"Kamu bukannya sama sekali nggak bisa main piano lagi, kan?" Tambahnya tanpa ditanya, "Lagian kamu juga belum yakin kalau kamu benar-benar mau jadi pemain piano profesional. Kedua tanganmu juga masih utuh, cuman luka aja. Selain bermain piano yang nggak bisa kamu lakukan sekarang, masih banyak hal lain yang kamu sukai dan bisa kamu lakukan. Kamu suka nggambar, kamu suka nulis, kamu suka baca buku, kamu suka jalan-jalan... semuanya bisa kamu lakukan tanpa tangan kiri kamu, kan? Tunggu tiga pekan lagi, dan kamu juga udah bisa main piano lagi." Setelah mengatakan itu, ia pun kembali menekuri buku sketsa di hadapannya.

Oke. Penjelasan itu terasa seperti sebuah tamparan. Meski enggan mengakui, si irit bicara ini justru mengeluarkan ucapan panjang lebar yang tak nyaman untuk didengarkan, tetapi sebenarnya dibutuhkannya.

"Loh, Mas Angga ih, malah bikin Kakak nangis kan?!" suara cempreng adiknya muncul bersama sosoknya yang kini berjalan tergesa ke ranjang.

Menangis? Tangan kanannya yang bebas mengusap pipinya yang ternyata benar basah. Rupanya ia memang menangis.

"Aduh," erangan kecil Angga membuatnya tersadar bahwa adiknya sedang memukuli lengan pemuda itu.

"Kenapa bikin Kakak nangis? Dasar jahat!" pukulan-pukulannya masih tak berhenti. Bukannya menghindar, Angga justru pasrah saja mendapat perlakuan seperti itu. Seperti yang selalu terjadi sejak dulu.

Hal itu justru membuatnya ingin tertawa, lupa bahwa air matanya masih terus mengalir.

"Ada apa ini?" suara lain muncul, tampak kebingungan melihat pemandangan yang sebenarnya bukan hal baru bagi mereka. "Kenapa Bella nangis sambil ketawa? Kenapa Della mukulin Angga?"

Sketsa RasaWhere stories live. Discover now