📘-00.01

86 5 1
                                    

Sorakan meriah para penonton terdengar menggema ke penjuru ruangan studio ice skating saat satu persatu para peserta perlombaan menaiki ice rink untuk mempertunjukkan gerakan indahnya, sampai kemudian beberapa para peserta lainnya selesai melakukan aksinya, mereka tak lupa memberikan salam dan segera turun dari ice rink. Tinggal menunggu hasil nilai pengumuman kejuaraan yang diberikan nanti oleh juri perlombaan.

Para peserta perlombaan tidaklah sedikit, cukup banyak yang masih setia menunggu nomor urut perlombaannya dipanggil–di ruang persiapan–di balik studio ice skating. Mereka sibuk bersiap-siap, mengumpulkan mental keberaniannya sembari melatih gaya gerakannya, bahkan ada yang sibuk menenangkan pikirannya dari rasa kecemasannya.

Lalu, Shon Aldrean adalah salah satu peserta lomba ice skating di awal tahun ini. Ia tidak takut maupun cemas seperti peserta lomba lainnya. Ia sangat percaya diri bahwa dia bisa melakukannya, menari diatas balok ice. Ia sudah berlatih mati-matian untuk menanti hari ini. Bagi Shon memikirkan hal-hal negatif yang bahkan belum pasti akan terjadi merupakan perbuatan yang teramat sia.

Nomor urut Shon tidak lama lagi akan dipanggil, Shon bersiap-siap merapikan pakaian dan sepatu skatingnya. Ia menghembuskan nafas sepanjang-panjangnya, saat ini ia merasa amat gugup. Jantungnya tidak bisa berdetak dengan tenang seperti biasanya.

Seorang pria yang cukup berumur datang dan menepuk pundak Shon, "tenanglah bro, kau pasti bisa melakukannya!" Guru pelatih figure skating Shon itu memang hobi sekali memberikan aura positif kepada muridnya. Shon tersenyum menganggukkan kepalanya.

Namun tak lagi ketika Shon menanyakan pertanyaan pada pelatihnya itu, Andy. "Paman, anu, ibuku bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah datang kesini atau belum?"

"Ah, atau mungkin dia langsung duduk di kursi penonton karena tidak sempat menuju ke ruang persiapan?"

Andy mengangkat telapak tangannya, "sebentar, biar kutelepon." Tangan Andy segera mengambil ponselnya dari dalam saku celananya, kemudian memencet layar ponselnya dan meletakkannya di telinganya.

Shon tidak sabar melihat Andy yang masih terdiam, tampak menunggu panggilan yang belum kunjung tersambung. Pak Andy melepaskan ponselnya dari punggung telinganya, lalu mengecek ponselnya dan meletakkan kembali ponselnya di daun telinganya.

Entah mengapa perasaan Shon menjadi tidak enak. Shon memang tidak suka berpikiran mengenai hal negatif. Namun kepanikan Shon seakan sangat berkarau memikirkan ibunya tak kian mengangkat panggilan dari Andy. Ibunya pasti akan menonton pertunjukannya, kan?

Bibir Shon melipat. Kepalanya ditundukkan seperti telah melakukan sebuah kesalahan. Namun tiba-tiba suara Andy menyambut panggilan diteleponnya membuat kepala Shon terangkat antusias. Tentu saja ibu pasti akan datang, batinnya.

"Ah, halo. Ya... Bukan, saya kerabatnya. Tunggu dulu," Andy berkali-kali melirik Shon dan menyuruh Shon untuk tetap diam, berdiri ditempat memakai bahasa nonverbalnya.

Shon hanya menurut dan hanya melihat punggung Andy yang mulai menjauh meninggalkannya. Tampaknya ia tidak ingin Shon mendengar percakapannya dengan telepon genggamnya.

Hey! Shon itu anaknya, bagaimana pun juga Shon berhak ikut mendengarkannya, bahkan ikut berkomunikasi dengan wanita tersayangnya dibalik sambungan. Namun kelihatannya, Andy sedang tidak berkomunikasi dengan wanita yang dipujai Shon.

Andy mendekat kembali, raut wajahnya berbeda, tampak seperti orang bingung nan gelisah. Ia meletakkan kedua tangannya di pundak Shon, "dengarkan aku, ya, nak Shon. Aku punya kabar buruk dan aku ingin kau tidak terpengaruh mendengar kabar buruk itu."

Deg!

"A-apa...?" Shon keringat dingin.

"Aku ingin kau tetap melakukan gerakan dengan lancar seperti yang kita lakukan di latihan."

Marigold • PSHWhere stories live. Discover now