Chapter 1

126 23 61
                                    

Satu pesan dari saya.

Bila mau baca cerita saya, harap pertajam imajinasi. Mari berpetualang di dunia imajinasi saya.

Bila tak mau? Tanggung sendiri akibatnya.

Sudah siap?
Starto! 🔥🔥

****

"Maaf, aku terlambat."

Kedatangan gadis tadi menarik perhatian semua pustakawan di perpustakaan nasional Indonesia. Gadis itu membungkuk mengatur durasi napas. Punggung tangannya menyeka keringat di rahang bawah, keringat yang membuat sejumput rambut ikal pendeknya basah.

"Kau baru pertama kali kerja di sini, Nana." Sesosok wanita menaruh buku di meja pustakawan. Bunyi gedebuknya mengagetkan Nana yang dilanda lelah. Mejanya berlapiskan kaca, untung kacanya tidak pecah. "Aku tolerin kamu untuk terlambat hari ini. Tapi, besok usahakan untuk tidak terlambat. Mengerti?"

"I-iya, Mbak. Maaf," kekeh Nana menggaruk pipi. "Apa yang harus saya kerjakan di hari pertama sebagai pustakawati?"

"Tolong pilah buku bersama mereka." Wanita berpakaian kantoran itu menunjuk kerumunan yang dimaksud. "Perpustakaan ini baru dibuka setelah selesai menyiapkan buku yang layak untuk dibaca."

Nana mengangguk paham disertai gumaman panjang. Celingak-celinguk iris emas Nana bergerak dari kiri ke kanan. "Emang perpustakaannya sudah lama gak diurus, Mbak Tina?"

"Sebenarnya tempat ini masih diurus sama pustakawan," jawab Mbak Tina mengerling mengalihkan pandangan. "Tapi, banyak banget yang bilang kalau di Perpus Nasional Indonesia banyak hantunya. Sudah puluhan kali gubernur nyari pustakawan yang mau bekerja di sini, eh malah gak mau."

Nana menggembungkan pipinya. Bukan karena kesal, tapi karena memikirkan pasal perkataan Mbak Tina. Bila dilihat-lihat, semuanya baik-baik saja.? Masa hantu mau menghuni gudang buku yang berdebu?

Ah, ide tiba-tiba saja muncul di benak Nana, mempercerah wajahnya yang dilanda pertanyaan besar. "Sebagai gantinya karena aku datang telat, aku bahak kerja lembur, Mbak."

"Kerja lembur?" Mbak Tina mengernyit, mencoba mencerna akan maksud Nana. "Kan saya sudah memaklumi keterlambatan kamu."

"Yah, sekali-sekali kasih hukuman buat aku dong," kata Nana memelas. "Aku gak mau leha-leha sama pekerjaanku. Aku bakal berusaha yang terbaik buat perpustakaan ini! Aku janji!"

Mbak Tina mendesah pasrah. Tangan dengan kulit keriputnya memijit kening, memangnya dia bingung dengan perkataan Nana? "Mau gimana lagi. Boleh deh kalau itu yang kamu mau."

Sontak gadis bersurai cokelat ikal pendek itu bersorak kegirangan, bergegas menuju gunung buku secepat sinyal 4G. Wanita berpakaian blus serta rok depan warna kelabu ini hanya geleng-geleng. Gadis tadi sungguh unik. Ia perhatikan wajah dan gerak-geriknya, membuat senyum geli terukir di bibir hitam Mbak Tina.

Sambil memisahkan buku yang Nana ambil, ia masih bisa tersenyum manis dan berkomunikasi dengan pustakawan lainnya. Mata beloknya memperlihatkan iris secerah warna kristal darah nyamuk zaman purba, yang bergerak ke segala arah dengan cepat. Kecepatan matanya saat bergerak bagai proses teleportasi. Wajah Nana makin manis dengan kulit senada buah persik, ditambah dengan bibir semerah orange tanghulu. Setiap ia bercakap, Mbak Tina bisa memprediksi bahwa Nana sungguh gadis energik dan benci dunia sempit. Terlihat dari caranya berpakaian,

"Saya tinggal dulu, mau beli konsumsi buat kalian." Bunyi ketukan hak sepatu menggema ke seluruh pelosok ruangan, makin melemah begitu dia meraih gagang pintu. Mbak Tina berpesan agar bawahannya betah dan saling menjaga solidaritas selama dia pergi mencari konsumsi.

HerbiopheiaWhere stories live. Discover now