Cause smiling doesn't feel the same

"I wonder, kenapa ya Agnes Mo gedenya nggak kayak Rich Brian or, say, Niki gitu?" Mentari tiba-tiba berceletuk ditengah-tengah lagu.

"Now that you said it... gue jadi mikir juga... Kenapa ya?" gue menimpali.

"Right? Padahal 'kan sama-sama go international, di US juga pula" ujarnya.

"Salah manajemen kali?" gue melirik ke arahnya sekilas seraya tersenyum tipis. "I mean Agnes join sama Chris Brown yang berkali-kali going under the fire gara-gara kelakuannya problematic. Plus, the way she tries so hard to look black... ya lo tau lah gimana di sana soal cultural appropriation"

"Ah yeah... that" Mentari mengangguk-angguk. "Sayang sih ya sebenernya? She got so much potential, nggak cuma nyanyi tapi juga akting. Gue inget dulu banget gue suka nontonin sinetron dia tuh yang sama Sahrul Gunawan" gelaknya kemudian.

"Hah dia main sinetron?" gue mengangkat alis, bingung.

"Hah? Lo nggak tau dia main sinetron??" Mentari malah balas menatapku dengan kedua bola mata membulat, meski sedetik kemudian dia langsung menyadari kesalahannya. "Ah... lupa gue... Lo 'kan nomads ya waktu kecil"

Satu senyuman kecil dan gue pun mengangguk. "Yea... Even now I'm still trying to get used to being here... Kind of..."

Pembicaraan kami pun menggantung di udara. Apa yang baru saja gue katakan pada Mentari bukan sekedar bluffing though, kadang gue memang masih merasa harus meraba-raba dan membiasakan diri berada di sini, sendiri (kalau tidak menghitung saudara Mama yang saat ini menempati dan mengurus rumah Lebak Bulus).

I used to feel like an alien growing up. Ketika dulu masih ikut bokap pindah-pindah negara, gue merasa jadi alien karena fisik gue yang sangat Asia di antara teman-teman di lingkungan gue yang kebanyakan kaukasia atau kulit hitam. Pas giliran udah balik lagi ke sini, gue kira perasaan itu akan hilang—tapi ternyata nggak juga. Adanya gap bahasa (yeah I'm sucks at speaking Bahasa) dan budaya antara gue dan teman-teman sekolah gue, membuat gue lebih sering menghabiskan waktu sendiri dibanding, say, nongkrong di kantin atau jalan bareng ke mana gitu.

Untung waktu SMA gue ketemu Matt dan Sammy yang sama aliennya, jadi at least gue nggak merasa sendirian-sendirian banget lah selama masa-masa krusial hidup gue aka the teenage years. Mulai dari ikut remedial Bahasa Indonesia sampai membentuk sebuah band, mereka berdua membuat masa SMA gue sedikit lebih... bearable.

You see, hidup berpindah-pindah sejak kecil membuat gue merasa bahwa I never really feel like I belong anywhere. Selalu saja sekolah baru, kawan baru, tetangga baru, lingkungan baru—begitu terus selama bertahun-tahun lamanya.

Awalnya, tentu, gue berusaha keep in touch dengan kawan-kawan lama gue setiap kali gue harus pindah tempat tinggal. Tapi, seiring waktu berjalan, kegiatan saling berkirim email atau kartu pos pun terasa makin memberatkan. Bahkan saat media sosial mulai ramai-ramainya, starting from MySpace to Twitter. Facebook to Instagram, gue gue tetap nggak merasa terhubung dengan mereka.

The first real connection I had is the one with Matt and Sam. Bisa dibilang, mereka berdua adalah ride or die gue. My ring one. My 'bros before hoes'. The best men I ever had. Makanya, di antara semua kawan-kawan lama gue, hanya mereka yang masih rutin gue temui hingga kini.

Mungkin ekuivalennya seperti Senja dan dua sahabatnya itu kali ya, Dena dan Theta.

"Eh, kita nggak bawa apa-apa banget nih ke sana?"

HollowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang