C h a p t e r 〘2.2〙

517 69 54
                                    

a/n: hey! Jadi, while this story takes place in the Harry Potter universe, this is still my story after all, jadi ada beberapa hal yang mungkin seharusnya ga ada atau ga dijelasin dalam keseluruhan Harry Potter series, tapi aku tambahin aja karena aku suka MUEHEHE.

Tebak kenapa aku perlu bilang gini 😛

☔️

Guanlin menghela napasnya, masih terdiam seraya memandangi pemandangan kastil utama Hogwarts yang bisa Ia lihat dari sini.

Cukup lama, Ia tak mengatakan apapun—tak ada yang bisa dikatakan. Tak ada yang mendengarkan pula, mengingat Ia sendiri, di sini, duduk menyamping di atas sapu terbangnya—Firebolt, yang terbang hanya sedikit di atas pohon whomping willow—setidaknya cukup tinggi untuk tak membuat pohon tua itu mengamuk, tanpa mengganti jubah-nya sama sekali.

Mungkin semua teman-temannya di meja Gryffindor sedang menanyakan keberadaannya sekarang—mengingat Ia menghilang begitu saja, mengabaikan waktu yang menunjukkan pukul 7 malam, waktu makan malam, dan Ia telah meghilang sejak Quidditch tadi sore, tapi entahlah. Ia tak begitu peduli.

Ia hanya ingin sendiri saat ini.

Bodoh, memang. Menyendiri hanya karena patah hati. Konyol, dan sangat-bukan-Guanlin sekali.

Tapi sebuah pikiran tiba-tiba melintas di benaknya saat membantu Jihoon mengeringkan Jinyoung tadi—yang, kalau kalian lupa, telah disiram oleh Guanlin dan mantra aguamenti-nya yang oh-sungguh-legendaris itu.

Well, iya. Ia berpikir Ia harus bergerak cepat—tapi secepat apa seorang Lai Guanlin harus bergerak? Perasaan seseorang, terkhusus Jihoon tak mungkin berubah secepat itu. Guanlin mencoba membuat Jihoon menyukainya selama bertahun-tahun, dan Ia tetap tak berhasil, heck, Jihoon doesn't even know if Guanlin likes him.

Mungkin memang benar, apa yang dikatakan para muggle itu di drama yang sering Guanlin tonton bersama Jihoon ketika mereka bosan.

Cinta memang tak bisa dipaksakan. Kalau Jihoon sudah memilih untuk jatuh hati pada Bae Jinyoung, lalu Guanlin siapa beraninya menghalang-halanginya? Guanlin siapa, beraninya memaksakan perasaannya pada Jihoon, di saat Ia saja selama ini terlalu penakut untuk menyatakan perasaannya pada pria manis itu?

Ia menghela napasnya—lagi.

Tapi, cinta memang tak bisa dipaksakan.

Kalau Guanlin sudah memilih untuk jatuh hati pada Jihoon, maka Guanlin siapa? Beraninya memberitahu hatinya untuk berhenti menyukai pria manis yang telah berhasil merebut hatinya itu. Kalau hati Guanlin terus-menerus memberitahunya untuk jangan berhenti berjuang, maka Guanlin siapa, berani-beraninya membantah dan memberitahu hatinya untuk bertindak sebaliknya?

Entahlah. Ia tahu betapa bodohnya bertingkah seperti ini hanya karena cinta semata, tapi—

Hati tak dapat dibohongi, ya kan?

Di penghujung hari, ketika langit yang mulanya begitu cerah bagaikan ditelan oleh kegelapan, pada akhirnya, Ia kembali merasakan rasa sakit hati yang berusaha Ia lupakan sebisa mungkin—menutup matanya, mencoba mengurangi rasa sakitnya hanya untuk menyadari bahwa ketika kedua matanya tertutup, rasa sakit itu justru terasa semakin nyata.

Mungkin karena selama ini, Guanlin selalu melindungi dirinya sendiri dengan ilusi bahwa hubungannya dengan Jihon selamanya akan selalu seperti sekarang, tak peduli apakah Ia menyatakan perasaannya atau tidak.

Bahwa selamanya, Guanlin akan menyayangi Jihoon seperti sekarang, dan Jihoon pun akan menyayanginya seperti sekarang—tanpa ada orang lain yang terlibat. Tanpa perlu menjelaskan pada siapapun apa hubungan mereka sebenarnya. Tanpa perlu mengesampingkan salah satu hanya untuk pihak ketiga yang bahkan baru muncul begitu saja.

Raining Spell For LoveWhere stories live. Discover now