Bab 1

358 30 27
                                    

Puing-puing berserakan menjadi pemandangan menyesakkan, kala aku berdiri tak jauh dari tempat yang dulu penuh cerita. Bahkan, pohon mangga yang dulu sering aku panjat, kini hanya menyisakan batang reot, berwarna hitam, sehitam pekat malam saat berada dalam gua tanpa cahaya. Daun-daun rindang itu telah luruh, mungkin termakan si jago merah, bersamaan dengan rumah yang hanya menyisakan pekat dan aroma hangus yang menusuk.

Di pojok kanan rumah, terlihat seorang gadis berpayung dengan setelan gamis dan menatapku tanpa ucap. Tubuhnya cukup berisi dan tidak begitu tinggi. Tubuh itu tersorot lampu musala di dekat rumah. Memancarkan lekuk tubuh yang langsung aku kenali.

"Vira ...." Aku mendekatinya. Ia bergeming. Tak menyahut panggilan.

Saat akhirnya bisa menyentuh lengannya, secepat kilat ia kibaskan, seakan sentuhanku adalah najis yang patut dienyahkan. Aku terkesiap, tetapi seketika sadar akan kesalahan yang membuatnya seperti itu.

Baru saat di dekatnya, jelas sekali sorot kedua mata itu seolah menyimpan amarah yang semakin berkobar, tatkala dilihatnya aku---si biang kerok---ada di depan mata.

"Vir---"

"Pergi!" Ia membuatku ternganga tanpa mampu menyelesaikan rangkaian kata yang hendak terucap.

"Aku baru saja sampai." Aku mencoba menggunakan tatanan intonasi yang halus. Berharap ia melunak dan memberi maaf.

"Iya, Kak Duma baru sampai memang, sayangnya terlambat. Bapak sama Ibu sudah dimakamkan empat hari lalu. Jadi, percuma." Wajah yang dulu ceria, kini begitu kaku, tanpa senyum, membuatku semakin tenggelam dalam sesal.

Kuhela napas panjang, bingung. Apa yang harus kulakukan agar Vira mengerti?

"Aku baru pulang dari rumah sakit. Opname dua hari, pulang paksa, dan langsung ke---"

"Basi!" Ia menyela lagi, membuatku bungkam. Percuma, Vira tidak akan memahami.

Gerimis yang berubah deras, membuat Vira pergi tanpa peduli teriakanku yang menggema. Membuat beberapa tetangga keluar, ada yang menanyakan langsung padaku, ada pula yang menguping di balik pohon kelapa di halaman rumah. Sayangnya, tubuh wanita gempal itu bisa kulihat, tetapi biarlah. Masa bodoh dengan itu. Tidak ada yang perlu disembunyikan kalau aku sudah hampir tiga tahun tidak pulang. Hal yang wajar saat mereka menatapku dengan pandangan heran, seolah baru pertama kali bertemu. Mungkin mereka menyalahkanku, sama seperti Vira. Huffh! Aku hanya bisa pasrah.

***

Secangkir teh tersaji di meja. Seulas senyum membingkai wajah yang sudah tidak remaja lagi. Bu Salma yang tadi juga mendekat, kini memberikan kamar kosong, lebih tepatnya sengaja mengosongkan untuk diriku tidur sementara. Ia sangat mengerti kondisiku yang memang telah kehilangan rumah, orang tua, dan mungkin akan bertambah dengan kehilangan adikku satu-satunya. Yakni kehilangan kepercayaannya.

Bu Salma adalah sosok tetangga yang serasa saudara. Apa pun yang dia punya, tak segan untuk ia bagikan dengan sesama. Terlebih rumah kami berhadapan, membuat kedekatan ini semakin terjalin erat. Dulu saat ada acara, Ibuku dan Bu Salma saling bergantian untuk membantu, tanpa pamrih. Hidup tanpa suami dan anak, membuatnya peduli. Kehampaan yang melingkupi hidupnya, telah menumbuhkan jiwa sosial yang semakin meninggi. Ia sayang anak-anak, terlebih kepadaku dan Vira. Sejak masih sekolah dasar dulu, kami merasa diterima untuk melengkapi kesendirian itu. Bahkan baik aku atau Vira tak segan main ke rumahnya, lalu pulang dengan segenggam makanan.

"Sudah ke makam?" tanyanya sembari membereskan meja pasca makan malam. Membuatku tersadar dari lamunan.

Aku menggeleng. Ya, tentu harus ke makam, menemui Bapak dan Ibu. Tiga tahun lebih tidak bertemu, akhirnya pulang dengan badan dan hati yang sama-sama terluka. Setelah meminum obat yang kubawa dari rumah sakit, aku menumpahkan segala keluh dengan Bu Salma. Tangis ini mengiringi kisah yang kubagi dengannya. Tak ada kata pujangga untuk menenangkan, ia hanya menenggelamkan kepalaku di dadanya, sembari membelai uraian rambut yang memanjang hingga pinggang. Di dada kecil dengan tonjolan tulang yang tercetak jelas itulah aku menumpahkan sesak, berharap terbebas dari sesal dan rasa bersalah. Aku teramat payah untuk semua ini.

Tiga hari berlalu tanpa ada kabar dari Vira. Gadis keras kepala itu seakan sembunyi dariku. Beberapa tetangga yang aku tanyai tidak ada yang mengetahui. Doa bersama yang masih berlangsung selepas maghrib di musala untuk meninggalnya Bapak dan Ibu, tetap tanpa kehadirannya.

Kemana kamu, Vira?

***

Hari ke tujuh doa bersama yang di lakukan di musala. Vira kali ini datang bersama seorang pemuda yang begitu rapi penampilannya. Terutama rambut yang klimis menjadi perhatianku di samping jas yang mengkilat, terkesan mahal, dan seperti orang-orang dari kelas atas.

Selesai acara, tanpa aba-aba Vira merebut paksa tas yang tersampir di bahuku. Terkejut, aku segera merebut kembali sekuat tenaga.

"Pinjem KTP sebentar! Pelit banget sih!" Vira memelototiku. "Siniin tasnya!" Dia merebut lagi tanpa perlawanan dariku. Entah akan diapakan itu KTP, firasatku buruk.

Rasa penasaran meningkat, tatkala data-data di KTP itu disalin di map, dan pemuda maskulin itu menyuruhku membubuhkan tanda tangan. Tentu semua berjalan lancar dengan paksaan Vira. Salah paham yang sebelumnya belum terpecahkan, membuatku tak ingin melukainya dengan penolakan.

"Kamu mengajukan utang?" Aku menggaet lengan Vira. Berharap ia mau menjelaskan keperluannya sampai melakukan itu.

"Kakak pikir semua ini gratis?" Vira mendongak, seolah hendak menunjukkan ketidaklayakanku menanyakan apa pun.

Aku terdiam, mencoba memahami pola pikir Vira. Kata 'semua' sudah membuatku paham. Dari biaya makam, doa bersama, dan juga kebutuhan yang lain.

Sesaat aku menghela napas, lalu berkata, "kamu bisa minta. Pasti aku transfer ke rekeningmu. Kartu ATM-mu tidak ikut kebakar, 'kan?"

"Ini aku lagi minta kok. Jangan khawatir, soalnya Kak Duma yang bayar cicilannya tiap bulan." Vira tersenyum sekilas, lalu pergi setelah menjelaskan kepada pemuda yang bersamanya tadi untuk melanjutkan urusan denganku.

"Vira!" Gadis itu hanya melambai dengan tetap melangkah, tanpa menengok.

"Viraa!" Aku keraskan suaraku. Namun, yang dipanggil tidak peduli.

Seiring menghilangnya jejak Vira di tikungan depan gang, pemuda ini memberikan stopmap merah, yang tadi aku tanda tangani tanpa sempat membaca isinya.

"Kamu tahu berapa utang adikmu?" Suara itu terdengar berat, membuatku mendongak, ucapannya seolah magnet dan mengundang rasa penasaran.

Aku menggeleng dengan tangan menerima stopmap yang diulurkan padaku.

"Baca di halaman tiga." Pemuda ini membukakan stopmap yang sudah ada di telapak tanganku. "Aku hanya ingin memperjelas berapa nominalnya. Jadi, aku tidak mau ada tuduhan menipu setelah perjanjian ini." Dia fokus membuka stopmap, tanpa menatapku yang terus memandang ke arahnya.

Lama terdiam, akhirnya aku beranikan untuk berucap setelah tahu berapa jumlah utang Vira. "Apa ini serius?"

"Ya, tentu saja!" Ia melotot dengan kedua tangan di pinggang.

"Hh!" Aku terduduk di teras musala, seolah kakiku kehilangan tenaga saat itu juga.

"Aku Kenzi. Ini kartu namaku. Bulan depan jangan telat." Ia berlalu setelah menarik tanganku secara paksa untuk menerima kartu nama itu.

Aku diam, lalu dia berbalik lagi setelah jauh beberapa langkah di hadapanku.

"Oh, ya! Kamu tuh beruntung, karena aku bos besar yang langsung menanganimu, bukan anak buahku. Soalnya kalian masih ingusan, dan utang sebanyak itu. Aku perlu lihat wajah-wajah yang akan babak belur bila nanti tidak sanggup melunasi." Ia menunjukku dengan telunjuknya lurus-lurus. Ucapannya tersirat ancaman apabila lalai atau sengaja tidak membayar.

"Aku akan membayar tepat waktu. Jadi, jangan meremehkan! Dasar predator!" Emosiku meroket, tetapi dia hanya mengucapkan 'terima kasih', lalu pergi dengan siulan panjang.

#TBC

MOVE ON (COMPLETE)Where stories live. Discover now