Gandi Partners

Comincia dall'inizio
                                    

"How are the babies? Masih nendang-nendang?"

"Jangan tanya. Rasanya aku pengin mereka berdua keluar cepet-cepet deh."

"Satu bulan lagi. Sabar dong. Kamu udah makan?"

"Makan berat belom. Tapi aku udah habisin satu bungkus oreo, satu batang silverqueen, satu plastik anggur. Ya Tuhan. Makanku nggak terkontrol. Badan juga udah segede gentong. Tadi juga minta bubur ayamnya Robi. Aku pasti super gendut banget deh kalo diliat di HP. Ya kan, Sayang?"

"Masih wajar kok. Malah makin seksi. I like your current shape." Aku mengedipkan sebelah mata dengan senyum menggoda.

Kedua bola mata Ajeng berputar. Adorable.

"Yaudah. Eh aku udah gojekin makan siang buat kamu. Rawon. Dimakan, ya. Tapi aku bilang ke abang gojeknya atas nama Hera sih. Entar Hera yang nganterin ke kamu. Oke. Bye. Love you."

"Oke, babe. Thank you so so much. Kamu juga makan yang banyak. Love you too."

Ajeng adalah alasan Gandi Partners berdiri di Indonesia. Butuh pertimbangan dan waktu yang sangat panjang sampai aku akhirnya menyewa kantor di Kuningan untuk biro ini.

Belum lagi membujuk Gerald karena dia bersikukuh bahwa Singapore adalah lokasi terbaik. Klien lamaku banyak di sana, begitu juga dengan teman-teman kami.

Tetapi memang kalau sudah kepalang cinta, semuanya jadi berantakan. Entahlah. Padahal dulunya aku berpikir cinta harus sejalan dengan logika dan ambisi.

Yasudahlah. Toh aku tetap bisa mendirikan biro arsitektur sendiri. Bahkan karena Ajeng aku jadi bisa menetap di tanah air, hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

***

Setelah mengecek portofolio-portofolio yang masuk ke kantor, kami memilih lima orang terpilih untuk mengikuti tes gambar manual. Hingga kemudian mengecurut hanya menjadi dua orang saja.

Kalau dua-duanya bagus, tidak akan ada lagi peserta yang gugur. Tapi kalau keduanya jelek, maka tim kami harus membuka rekrutmen lagi.

"Mana mereka? Saya nggak bisa lama-lama. I can't wait to meet my babies."

Ya. Kami memang baru menemukan si dua orang yang cukup qualified ini setelah hampir tiga bulan. Sampai Ajeng sudah melahirkan bayi-bayi kembar kami yang bernama El Nino dan La Nina.

"Sabar dong, Bos. Iya deh yang baru punya anak. Bawaannya pengin pulang aja ke rumah," ucap Hera dengan senyuman jail.

"Sirik aja kamu," balasku. "Makanya cari pacar, Ra. Tuh ada Gerald. Half blood. Settled. Dan yang pasti, dia suka sama kamu. What are you waiting for?"

"Berisik," Hera menjulurkan lidahnya ke arahku.

Hubunganku dengan Hera memang hangat. Bagiku terserah dia bersikap bagaimana. Asal sopan, tahu tempat dan kerjanya bagus, I won't complain.

Hera keluar untuk memanggil keduanya secara bergilir.

Kini berdiri di hadapanku seorang pria yang—

"Kamu tinggi sekali. Tingginya berapa?" tanyaku penasaran.

Dengan agak gugup dia menjawab. "186 cm, Pak."

"Asli Indonesia?"

Dia mengangguk. "Saya orang Jogja asli, Pak."

"Oke. Please have a seat," aku mempersilakannya duduk.

Dia mengangguk. Sebelumnya, dia mengulurkan tangan padaku. "Nama saya Naufal Sastranagara. Bisa dipanggil Naufal."

"Gandi," jawabku tersenyum kemudian menepuk tangannya yang ada di genggamanku. "Relax, Naufal. Kita ngobrol santai saja kok."

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora