Entahlah. Sungguh sebenarnya ini bukanlah urusannya. Identitas Boruto adalah anak dari mantan istrinya, tapi ada rasa tak rela pada Hinata yang berusaha membawa Boruto pergi dan memonopolinya sendiri.
Naruto tak pernah tau bagaimana perasaan memiliki seorang anak. Tetapi lewat kehadiran Boruto membuatnya sedikit mengerti kasih orang tua.
"Terimakasih telah menolong anak saya" ujar Hinata berusaha menormalkan perkataannya dengan menunduk tanpa sedikitpun menatapnya.
Seperti dua orang asing. Hati Naruto nyeri saat Hinata memilih untuk tak mengenalinya.
"Tidak masalah"
Naruto membalasnya santai dengan senyuman.
"Kau harus pulang boy, jam segini waktunya anak-anak tidur" Naruto mengacak pelan rambut Boruto dan membuatnya cemberut. Adegan itu tak lepas dari pandangan Hinata. Takut, Hinata makin merasa was-was jika Naruto tau siapa sebenarnya Boruto, tanpa sadar tangannya gemetar. Dan tak luput dari perhatian Naruto.
"Hinata, bolehkah aku bertanya ten-"
"Hinata". Perkataan Naruto terhenti akibat teriakan kencang seorang pria yang memanggilnya. Hinata memperhatikan Toneri yang sedang berjalan menyusulnya. Sedikit lega, Hinata tau apa yang akan Naruto tanyakan. Toneri datang disaat yang tepat.
"Ayo pulang, Boruto harus tidur" ajakan Toneri terdengar lembut. Boruto mengangguk gembira. Keberadaan Naruto seolah menjadi orang ketiga diantara keluarga bahagia. Hatinya mencelos sakit. Naruto bahkan yakin jika cintanya untuk Hinata telah terkubur lama, tapi memperhatikan sosok pria yang begitu perhatian pada Hinata dan jangan lupakan senyuman manis yang Hinata tebar untuk Toneri. Naruto seakan tak terima dengan semua ini.
Hinata dan Boruto berjalan lebih dulu. Tak lupa lambaian tangan Boruto sematkan pada Naruto sebelum berpisah. Naruto tersenyum membalasnya.
"Tak ku sangka kalau kabar keberadaan mu di Osaka itu benar" senyuman Naruto menghilang. Kini mereka hanya berdua dan Naruto memandang pria itu tajam. Naruto mengenalnya. Pria berambut perak, direktur utama dari saingan perusahaannya. Otsusuki Toneri.
Lelaki itu tersenyum. "Tentu. Bukan hanya untuk memenangkan investasi tetapi juga mengambil hati wanita tadi" balas Toneri angkuh.
"Wanita jalang itu?" Naruto memastikan. Mungkin waktu telah berlalu, tapi bagi Naruto perselingkuhan Hinata tak mudah dilupakan begitu saja.
"Itu bagimu. Bagiku dia wanita baik yang sangat menyayangi buah hatinya"
Tangan Naruto terkepal. Toneri pergi dengan senyum kemenangan. Sejak Naruto melepaskan wanita sebaik Hinata, saat itulah Naruto telah kalah. Golongan konglomerat tau akan ciri-ciri fisik keluarga terpandang Namikaze dan itu ada pada diri Boruto. Meski tak tau secara jelas bagaimana Naruto dan Hinata berpisah, Toneri yakin Naruto belum sepenuhnya tau siapa Boruto. Tidak, Toneri tak akan membiarkan Naruto tau. Karena ia telah lebih dulu mencintai Hinata juga dengan buah hatinya.
.
.
.
Di sudut lain, dua orang lelaki melihat dari jauh drama yang baru saja terjadi. Sungguh menarik, kisah dramatis yang membuat siapapun gemas ingin memukul kepala Naruto yang masih saja bodoh.
"Kau yakin terus menyembunyikannya?" Shikamaru bertanya pada Sasuke.
Sasuke menghembuskan napas lelah. Saat ini keduanya berdiri tak jauh dari Naruto dan menjadi saksi bagaimana mereka bertemu. Rencananya berhasil, Naruto bertemu kembali dengan Hinata dan juga anaknya. Tetapi dasar utama sifat Naruto kurang peka, lelaki itu tak mengenali ciri yang dibawa Boruto segitu banyaknya. Sedang keikutsertaan Toneri, itu diluar rencananya. Kisah ini makin rumit mengingat Toneri adalah musuh mereka yang juga mencintai Hinata.
"Hingga aku yakin Naruto tak akan bertindak bodoh"
Shikamaru hanya mengedikkan bahunya. Ya, Shikamaru adalah orang kedua yang tahu rahasia Hinata setelah Sasuke. Tanpa diberi tau atau melakukan tes DNA yang memakan biaya, otak cerdasnya langsung mengenali Boruto.
"Sayang sekali. Anak itu memiliki ayah berotak bodoh seperti Naruto" kata Shikamaru maklum. Dan Sasuke menyetujuinya.
"Kau sudah menghubungi Gaara?"
Anggukan pelan Shikamaru menjadi jawaban atas pertanyaan Sasuke.
"Biarkan kita ungkap semua kebenaranya. Setelah itu Naruto yang akan memutuskan"
***
"Sayang"
Nada manja mengusik telinga Naruto yang tengah membuka kancing kemejanya. Tiba-tiba sepasang tangan halus memeluknya dari belakang.
Semerbak parfum sang suami tercium wangi di hidungnya. Aroma yang memabukkan bagi Shion.
Naruto terdiam tak berniat membalas. Pikirannya menerawang jauh pertemuannya dengan Hinata tadi. Wajah Boruto masih bersarang diingatannya begitu juga dengan wajah Hinata. Wanita itu semakin cantik dengan aura seorang ibu.
Naruto jelas tak mencintainya lima tahun waktu yang cukup untuk melupakan cintanya, tetapi entah mengapa ada sebuah ikatan yang tak membiarkannya lepas dari Hinata. Benarkah cintanya telah sepenuhnya hilang? Naruto seperti tak mengenali dirinya sekarang.
"Aku capek Shion" Naruto melepas paksa pelukan Shion melanjutkan kembali membuka kemejanya dan segera berganti pakaian tidur. Ia lebih memilih untuk berbaring. Otak Naruto perlu istirahat sekarang.
"Tapi aku ingin!" Shion memajukan bibirnya. Naruto berbeda sejak pulang dari pesta Sarada. Suaminya lebih banyak diam dan begitu irit bicara.
"Kalau begitu segera kita memprogram momongan. Aku capek dipaksa pihak direksi karena ini" Matanya memandang Shion serius. Diumurnya yang sekarang sudah seharusnya ia memiliki seorang anak. Ditambah bertemu dengan Boruto, Naruto juga ingin merasakan bagaimana rasa cinta pada buah hatinya.
Pikiran Naruto penat. Bukan hanya mengenai masalah pribadi tetapi tidak di kantor maupun di rumah orang tuanya, Naruto terus dipaksa secepatnya memiliki seorang anak. Mengingat bisnis itu adalah perusahaan keluarga, pihak direksi menuntutnya untuk segera memberikan penerus.
"Kau juga mulai menuntut ku?!" Sengit Shion tak terima.
"Kau pikir aku juga dalam posisi yang baik sekarang?" Naruto bangkit dari tidurnya.
"Ingat Shion! Pernikahan kita tak lebih dari sekedar negosiasi bisnis. Kalau kau masih egois dengan mempertahankan tubuhmu, aku juga tak janji untuk mempertahankan pernikahan ini dengan mu" terang Naruto kesal.
Naruto pergi. Menyambar jas hitam dan kunci mobilnya, Naruto memilih berjalan-jalan menenangkan pikirannya. Dari bawah tangga Naruto dapat mendengar jeritan juga amarah istrinya. Beberapa perabotan kamar mungkin akan menjadi sasaran kemarahan Shion sekarang. Ia tak peduli. Sejak awal pernikahan ini salah, ia tak pernah mencintai istrinya. Sejak enam tahun yang lalu, hati Naruto telah membeku. Ia tak lagi percaya pada kata cinta.
***
Bersambung,,,
.
.
.
Terimakasih pada pembaca yang setia menunggu
Untuk alurnya karena banyak konflik nyesek huhuhu mungkin akan sedikit lama
Jujur author bingung membagi waktu dengan fanfic NaruHina Square
Jadilah terlambat
Dan jangan membenci Shion
Akhir kata...
See you next chapter
Luv ❤
YOU ARE READING
If Time Return
FanfictionTAHAP REVISI (The End) *Hurt Dia hadir dan kemudian pergi. Andai aku bisa mengulang kembali, andai aku bisa menjadi seseorang yang penting untuknya lagi. Semuanya hanya jika, jika aku tak pernah melukai hati dan cintanya. "Boruto, dia anakku kan?" "...
Setelah lima tahun...
Start from the beginning
