Found

4 1 0
                                    

Nami terbangun di sebuah love seat kulit berwarna putih susu. Wangi vanilla yang menyeruak sebenarnya agak mengganggu hidungnya sejak dia  tidur tadi. Di saat semua gadis suka aroma "manis", Nami sama sekali gak bisa menyangkal kalo dia alergi terhadap vanilla.

Banyak-banyak matahari merayap pada ruangan itu. Menembakkan cahayanya yang agung ke dinding ruangan. Bagi anak yang gak tahan selfie mungkin akan merasa ini momen terbaik. Ruangan yang gak dikenali itu terkesan gak biasa. Kami bisa lihat ada nuansa retro di mana-mana. Lampu, radio, bahkan TV yang ada di atas meja besar yang desainnya jadul itu.

Mungkinkah cowok tadi pemegang kunci mesin waktu?. Dan Nami ada di sini karena si cowok salah memulangkan Nami ke waktu yang tepat?. Kalo itu yang terjadi, gawat. Di rumahnya lagi genting begini. Belum lagi pintunya yang melompong pasca didobrak rombongan Kak Made.

Uhhhh.. Cukup soal semua ini. Nami makin gak tahan. Dia tergoda buat menuruni tangga itu. Barangkali ada dunia yang beda di bawah sana. Seperti roti croissant dari Prancis langsung yang menunggunya buat menyantap. Atau barangkali nasi ayam dari belahan dunia lain. Ini tentunya karena dia memang mulai lapar.

Tapi masalahnya, Ini di mana?. Gak, jangan bilang ini sarang penculik. Atau barangkali tempat perkumpulan organisasi terlarang. Duh, bahkan kebenaran tentang hal itu aja belum berhasil dicapai, kenapa dia jadi begitu pengecut?.

Namun, coba pikir sekali lagi. Dia tiba-tiba terbangun. Begitu bangun, dia menemukan sosok aneh di lukisan. Orang itu menariknya. Selama dua hari kemarin  pria bule berambut coklat dan kostum aneh itu mengajaknya ke tempat aneh. Dia berhasil membagi rahasianya. Dengan begitu sebagai balasan, dia juga tahu rahasia besar soal si pria. Setelah mereka berhasil melayang, Nami ada di sini. Dalam keadaan tidur. Apalagi namanya kejadian sebelum terbangun kalo bukan mimpi?. Aneh bukan?. Terlalu khayal buat kenyataan, dan terlalu nyata buat mimpi.

Baik, dia harus bertanya sama seseorang. Sekedar memastikan kalau dia masih di Indonesia dan di abad 21!.

Kaki Nami rasanya bagai terseret oleh tangga coklat itu. Sambil berdoa dalam hati, dia meminta: semoga aja ada orang di bawah. Orang yang dikenal. Kalaupun gak kenal, bukan orang jahat. Tapi kalau gak ada orang, seenggaknya dia bisa menemukan petunjuk soal arah pulang.

Belum siap, dituruninya tangga itu dengan mata tertutup. Dia berjalan perlahan, lebih pelan dari pengantin yang melewati karpet merah menuju pelaminan. Begitu dia rasa langkahnya sudah cukup dapat memastikan yang ada di bawah, ia buka matanya perlahan.

Hah?. Gak salah?. Ini toko kelontong langganan Ibu. Sejak kecil ibu sering mengajaknya ke sini, buat beli segala keperluan kantor yang penting. Rak-rak di sini menyediakan semua alat tulis. Seperti buku dari berbagai bahan, pulpen, plastik mika, sampai kuas lukis dan kanvasnya. Harganya yang murah sepertinya yang merayu Ibu buat ke sini. Menurut keterangan tetangga, toko ini memang ada sejak tahun 1975. Tepatnya 2 tahun setelah Ibu lahir. Tapi kenapa di tempat ini?.

Semua yang ada di sini bikin Nami berputar-putar mengubek masa lalu. Yang terjadi kira-kita sepuluh tahun ke belakang. Tempat ini gak berubah. Bahkan ibu pemilik yang juga masih aja jadi kasir. Gak sengaja mata Nami berpandangan dengan sang pemilik tempat. Herannya orang itu sumringah, seolah Nami udah izin mau menginap.

"Gimana Nak Nami?. Nyenyak tidur kamu?",

"Eh, maaf, Bu. Memangnya saya ketiduran tadi ya?. Kok tiba-tiba saya bisa ada di atas?"

"Baru kemarin. Masa kamu lupa?. Kemarin kamu pingsan di depan sini, loh. Langsung Ibu bawa masuk kamu. Begitu liat muka kamu, ternyata kamu anak langganan terbaik Ibu. Bu Joan. Jangan salah, dia langganan di sini sudah dari zaman gadis loh!". Hah, gimana bisa dia pingsan di depan toko ini?. Jelas-jelas dia terbangun dan ketemu sama orang aneh itu?!.

"Oh ya?", Nami masih kaget, namun mencoba menyembunyikan. Bagaimana pun mungkin gak ada orang yang percaya kalau dia cerita soal hal itu.

"Eh iya, Ibu paling suka belanja apa, Bu?", alhasil, Nami memilih untuk mengalirkan pembicaraan.

"Dulu kami menjual majalah sastra, sejarah sama filsafat lokal. Ibu kamu suka baca ketiganya. Tapi Ibu perhatikan, dia paling suka baca majalah filsafat. Mana tiap minggu dia rajin beli. Ibu heran, anak semuda itu kok bacaannya dewasa benar."

Seketika perasaan Nami mendung. Di matanya, mulai tumbuh awan-awan kelabu. Ia mengingat nasib Ibunya yang malang. Duh Ibu, kenapa harus kita yang menerima ini semua ya, Bu?, Nami mulai terisak dalam hati.

*****

To: Nami

Message:
Nami, kamu kemana aja dari kemarin?. Kami panik setengah mati. Ibu kamu udah sadar. Dia cari-cari kamu. Share location ya. Aku mau jemput kamu sekarang.

Baru aja Nami memutuskan untuk pulang makan bersama ibu pemilik toko. Rasanya semua masih seperti mimpi. Buru-buru Nami langsung membagikan lokasinya ke Kak Made.

Kak Made muncul dari gang dekat toko sebelah. Datang bersama rombongannya. Mereka bakal mengingatkanmu sama sekelompok gangster yang ditakuti kota saat berjalan. Bedanya, mereka semua dalam keadaan panik. Begitu melihat Nami, mereka langsung mempercepat langkah.

"Ya ampun.. Kamu kemana aja siih?. Dari kemarin kami nyariin kamu loh. Hampir aja aku nyuruh Diether ngelaporin ke radio dan nyuruh seniornya Kastara buat melakukan penyelidikan atas hilangnya kamu," Kak Made langsung nyerocos begitu sampai tepat di depan Nami.

"Nah, karena ibu kamu udah baikan, Nami, tadi aku kasih dia suplemen buat daya tahannya," Untunglah ada Kak Ansel yang anak koas dokter. Kalau gak, harus gimana aku ya?, pikir Nami. Gak salah lagi, setelah ini dia harus sujud syukur pada Tuhan.

"Bener tuh, sekarang, dia ada sama Bu Wayan. Kamu tenang aja," Kastara gak mau kalah untuk menenangkan Nami. Seperti biasa, yang lainnya malah ketawa saat dia bicara.

"Awas ya kalian nanti!", lagi-lagi Kastara kembali ngambek. Seakan keadaan jomblo itu bikin dia jadi cowok yang caper. Padahal bukan begitu.

"Oke, deh. Udah aman nih kan semua sekarang. Ayo balik ke rumah Nami. Makan bareng. Dah laper nih!", rupanya Diether sudah gak tahan lagi. Gimanapun, dia yang jalannya paling jauh buat mencari Nami waktu berpencar tadi.

"Dasar, kalo makan aja paling semangat!", Galang menimpali.

"Tau nih", untuk pertama kalinya Nami mendengar Lei bicara.

Semua kemudian tertawa. Indah rasanya kalau hidup selalu diisi kebahagiaan. Tapi Nami sadar, tanpa kesedihan, kebahagiaan itu mungkin gak ada harganya.

Hai pembaca!

Kangen banget parah sama cerita ini!. Tiba-tiba pengen aja nerusin cerita ini setelah baca banyak buku. Hehehe. Jangan lupa vote dan kasih komen soal cerita ini. Terimakasih! 🤗

Next Part: Aneh

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 16, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Wreackonfix [VERY SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now