I don't want your body but I hate to think about you with somebody else

Start from the beginning
                                    

Boca Rica – 10:30 PM

"Hey, don't kill the messenger darling. I'm just sayin..."

Aku menghela nafas dan mendorong ponsel Pepe yang barusan (setengah) kubanting ke atas meja bar malam ini mendekat ke sang empunya. Layarnya menampilkan rentetan story yang masih berlanjut setelah tadi berhenti di satu user spesifik.

Mentari Cakrawala. Kala Pagi. Jeff.

"I'm not even mad..." aku menggigit bibir kala Pepe melemparkan tatapan 'Are you kidding me?' ke arahku setelah melontarkan kalimat tersebut.

"You're not mad, sure. Cuma jealous" jawabnya sebelum menyesap Cabernet di gelasnya sedikit.

"Gue nggak..." satu hela nafas lagi, dan gue pun memutuskan untuk menenggak Margarita gue, menghabiskan isinya dalam satu tegukan. "Hhhh. Dia siapa sih? Kok lo bisa kenal dia?"

"Temen SMA," Pepe mengendikkan bahunya. "Look, babe, kalo lo emang cemburu, yaudah gapapa. Normal kali, mau gimana juga 'kan Jeff mantan lo. Dan ngeliat mantan lo tau-tau all cozy-hugging sama cewek lain emang bikin nyeri kok... Mayan"

Aku menatap gelasku yang kini telah kosong dengan sendu. Hal-hal seperti ini sebenarnya sudah ada in the back of my mind saat kata selesai akhirnya terlontar dari mulutnya. Tapi, yang aku nggak tahu adalah rasanya akan sesakit ini melihat ia merangkul perempuan lain dengan hangat dan senyum lebar—like he used to do with me.

And it's not the first time he's done this, but it all hurts the same. Seberapa sering pun hubungan kami putus-nyambung, baik itu akibat ulahku atau ulahnya, aku nggak akan pernah terbiasa melihat Jeff menggandeng perempuan lain selain diriku. Dan Mentari ini pun bukan pengecualian.

Mentari Cakrawala. Nama itu terus menerus terputar di benakku seperti kaset rusak yang enggan berhenti dari player-nya. Mentari Cakrawala, vokalis Kala Pagi. Mentari Cakrawala, teman SMA Pepe. Mentari Cakrawala, perempuan yang bersama Jeff di foto itu.

"Look, Pril, anger is the second stage of grief and loss—jadi in a way ya, itu wajar lo rasain." Pepe menepuk bahuku lembut. "It's okay to feel angry at him, or at the girl... walaupun gue akan lebih nyaranin lo untuk marah ke Jeff aja ya since she's not entirely at fault..."

"Gue cuma sedih, Pe..." aku akhirnya berujar pelan. "Gue sedih karena gue tau gue udah nggak berhak buat ngerasa kayak gitu lagi..." lanjutku sebelum meminta bartender untuk mengisi lagi gelasku dengan minuman.

Pepe tersenyum simpatik ke arahku. "It's okay. Lo mungkin ngerasain banyak hal yang nggak enak sekarang; sedih, marah, kecewa—tapi yang lo juga harus inget, you still have so much things to look forward and be happy about too" ujarnya bijak.

Bartender yang kuminta mengisi lagi gelasku kini telah kembali dengan Margarita yang telah terisi penuh. Aku pun meraihnya dan menyesap isinya pelan-pelan.

"Menurut lo yang ini deketnya pas banget kita abis putus atau waktu masih sama gue, Pe?" tanyaku gamang.

"Darling..." Pepe menatapku dengan sorot mata khawatir.

"No, no. I mean, lo tau Jeff 'kan, Pe? Lo tau dia gimana... I just... at least for the last time, I really need to know..." ujarku sambil balas menatapnya dengan hopeless.

"You wanna hear my advice? Nggak usah tau and just focus on healing yourself." Pepe berujar serius. "Lo tau dia deketnya kapan juga buat apa beb? What's done is done, he broke up with you anyway"

Aku menghela nafas. Pepe nggak salah, Jeff telah memutuskan hubungan ini dan dengan mudahnya mendapatkan penggantiku. Dan aku marah, aku marah karena ini seperti berarti bahwa ia tidak menganggap enam tahun penuh jungkir balik kami adalah sesuatu yang berarti.

HollowWhere stories live. Discover now