1. Telepathy

17.6K 1.6K 188
                                    

Tidak ada manusia yang bisa lari dari kehidupannya sendiri.

***

"Eh, saya dengar, kepala Biro Umum meninggal, ya?"

"Innalillahi! Kapan, Bu?"

"Tadi pagi. Katanya, sih, beliau terkena penyakit angin duduk."

"Baru dua hari yang lalu kami bertemu. Beliau terlihat sehat-sehat saja."

"Yah, namanya juga ajal, siapa yang tahu?"

Luna mendengarkan celotehan beberapa rekan sekantornya yang membicarakan berita meninggalnya salah satu pejabat di instansi pemerintahan tadi pagi. Jemarinya bergerak lincah membelai touchpad dan menggeser pointer ke tombol shut down. Ia mendinginkan laptop itu sebentar untuk berjaga-jaga agar layarnya tidak cepat rusak terkena sisa panas dari body laptop, sebelum dilipat dan dimasukkan ke dalam ransel. Bila dihitung-hitung, biaya untuk mengganti layar saat ini tidaklah murah. Daripada menggantinya, mungkin lebih baik ia menabung sedikit lagi dan mempertimbangkan untuk membeli unit yang baru saja. Atau, syukur-syukur kalau ia mendapat jatah pengadaan barang dan jasa untuk para auditor tahun depan.

Bicara mengenai kematian, Luna sendiri pernah meminta malaikat maut mencabut nyawanya. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Ia memohon sambil meratap putus asa. Namun, sama halnya dengan permintaan akan perpanjangan waktu hidup di dunia, meminta percepatan waktu kematian pun sama saja nasibnya. Kalau Tuhan belum berkehendak, sampai kau mengeluarkan air mata darah pun, permintaan itu tak akan pernah terkabul. Kecuali, kau memutuskan mengakhiri hidupmu sendiri dengan konsekuensi berada dalam keabadian di neraka jahanam.

Sialan memang!

"Akhir bulan ini, kamu jadi ikut, 'kan, Na?" Tanpa Luna sadari, pembicaraan mengenai kematian itu telah beralih ke topik panas seputar liburan. Secepat itulah kematian seseorang terlupakan. Life goes on, begitu orang bijak bilang.

"Belum tahu, Bu. Lihat nanti dulu," jawab Luna sembari memasukkan sisa berkas, lalu menutup resleting ranselnya.

"Ikut aja kenapa, sih, Na? Kamu itu masih single, bebas dari tetek bengek urusan keluarga. Tiap kali ada tour, kamu nggak pernah mau ikut," timpal Bu Irma, Irban paling senior yang sebentar lagi memasuki usia pensiun. "Nggak enak ya, ngumpul bareng kita-kita?"

"Eh, bukan begitu, Bu," jawab Luna tak enak hati. Ucapan Bu Irma terdengar seperti sindiran halus di telinganya. "Nanti saya pikir-pikir dulu."

Bibirnya menyunggingkan seringaian canggung, sedangkan rekan-rekannya kembali membahas mengenai dress code apa yang cocok untuk dikenakan selama mengarungi Yogyakarta dan Jawa Tengah agar terlihat kompak dan serasi. Padahal kalau dipikir-pikir, keserasian itu nyaris seperti kepalsuan yang dipaksakan. Di luar mereka memang terlihat kompak, tapi di dalam kantor seringkali berselisih paham dan saling sindir.

Luna sendiri bukan tipe perempuan yang suka hangout dengan sesamanya. Ia cenderung lebih sibuk berurusan dengan kebisingan di dalam benaknya. Lagipula, apa tujuan mereka pelesiran ke sana? Memelototi candi Borobudur? Ah, di google juga banyak!

Satu-satunya tempat yang ingin ia injak di muka bumi, di mana ia rela menghabiskan seluruh uangnya hanyalah Machu Pichu. Ia sudah lama membayangkan menginjakkan kaki pertama kalinya di Lima. Terbang menuju Cusco sembari menikmati pemandangan Pegunungan Andes yang diselimuti kabut. Kakinya bahkan menggigil sendiri seolah-olah berada di puncak tertinggi Wayna Pichu yang berdiri angkuh menyerupai kerucut, memandang sisa-sisa peradaban manusia berabad-abad yang lalu sambil membayangkan seperti apa kehidupan bangsa Inca saat itu.

Namun, jangankan bertualang ke Peru, sekadar membuat paspor untuk ke luar negeri pun, ia tak mampu.

Hidupnya memang sekejam itu!

Platonic Marriage (END - Terbit)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora