All my demons have your smile

Start from the beginning
                                    

"I AM making it work! Tapi gimana aku bisa berusaha kalau kamu aja seolah nggak pernah ngehargain usaha aku untuk bikin semua ini jalan..."

"Don't act like you're the one fighting saat kamu aja masih bolak-balik jajan ke sana kemari sama cewek-cewek lain—"

"Really, we're going there now, Nja?"

"We're never really going anywhere to begin with, Jeff. NEVER. Sejak Shanaz, kamu 'kan yang nggak bisa berenti cari 'hiburan' lain di belakang aku? Iya 'kan? Kamu 'kan yang terus-terusan main sama dedek-dedek groupies kamu itu tanpa aku tau? Well, guess what, Jeff; I know. I know everything all along—"

"Fucking hell... Fine. Fine! Kalo itu yang mau kamu percaya, terserah! Aku capek bolak-balik jelasin ke kamu tapi kamunya nggak pernah mau denger. You know what, just for the record, you'll always be the one who started it all, Nja. Kamu sama Mikael, inget itu. And everything I do, I only do to make it even between us"

Seiring waktu berjalan, batas antara siapa yang lebih banyak melukai siapa semakin kabur. Mungkin gue memang melukainya dengan tindakan gue, tapi Senja dengan egonya yang menolak untuk menjadi pihak yang kalah, tanpa sadar malah bertindak sebagai bensin di atas api yang membara. Bagaimana ia terus-menerus memproyeksikan kesalahan dan ketakutannya sendiri pada gue, justru mendorong gue untuk membuat semua tuduhannya jadi nyata.

Gue mungkin salah, tapi Senja juga tidak sepenuhnya benar.

It all began with Mikael, continued with Shanaz, and left us with nothing but this gaping wound made of insecurities and trust issues that won't stop bleeding.

Dan sebelum kami berdua kehilangan lebih banyak darah, gue memutuskan ini sudah saatnya kami mengakhiri semuanya.

"Aku nggak bisa lagi, Nja."

Gue tahu, kami berdua nggak akan keluar dari pertempuran ini dengan selamat. Nggak akan. Jadi gue melakukan satu-satunya hal yang gue bisa; menyelamatkan apa yang tersisa dari kami berdua, sebelum semuanya sirna.

***

Block B Studio – 9:30 PM

"...Baby, I know it's already over..."

Jam telah menunjukkan pukul setengah 10 malam, dan sesi take vocal hari ini harusnya sudah mencapai fase terakhir.

Just one last part, but we didn't seem to get it right everytime. No, scratch that. Just one last part, but I didn't seem to get it right everytime.

Ya, you guessed it right: bagian terakhir yang menahan kami semua di sini hingga detik ini adalah bagian gue.

"Jeff, Jeff. Coba deh lo turunin satu key lagi. Rendahan dikit, terus lo coba lebih bikin suaranya kayak orang sakit hati. Kayak yang gue contohin tadi" dari balik kaca bilik recording, Bang Iko berbicara melalui microphone.

Gue berdehem sebelum mempraktikkan jenis suara yang ia maksud. "Baby I know it's already over... Gitu bang?"

Bang Iko mengerenyit sejenak, kemudian menoleh pada Bram yang daritadi duduk di sebelahnya. Mereka berdua tampak membicarakan sesuatu yang nggak bisa gue tangkap dari dalam bilik rekaman, sebelum akhirnya saling mengangguk.

"Jeff, sebenernya tadi beberapa udah ada yang bagus, tapi kita mau coba buat opsi." Bram berujar mengambil alih mic. "Bisa nggak lo bikin suara lo kayak... Hm gimana ya jelasinnya... kayak orang yang udah putus sama pacarnya tapi yearning—nggak, nggak. Tapi lagi bittersweet nginget-nginget jaman pacaran dulu."

Anak itu mengakhirinya dengan sebuah ringisan singkat yang gue tahu benar apa maksudnya.

He wants me to reminisce my time with Senja and channel that energy to the song. That's it. That's what this song is all about.

HollowWhere stories live. Discover now