PART 1

209 20 4
                                    

STILETTO

Jika orang memulai hidup yang bersemangat di pagi hari, bagi Nindya pagi hari adalah kematian. Andai tidak ada kedua anaknya, ingin rasanya dia menggali ruang bawah tanah dan hidup di sana, selamanya. Namun, Vio dan Vanya membutuhkannya, Nindya tidak mungkin meninggalkan mereka.

Nindya menggeser badannya ke tepi tempat tidur dengan perlahan, lalu turun tanpa suara. Saat melirik ke sebelahnya, dan melihat sang suami masih terlelap, tanpa sadar dia mengembuskan napas lega. Tangannya menggapai nakas, mengambil ikat rambut, sambil mengikat rambutnya menjadi satu, dia berjingkat menuju ke kamar mandi, menyikat gigi dan berwudhu.

Usai shalat dan mengaji dengan suara perlahan, Nindya langsung menuju dapur, mempersiapkan makanan untuk suami dan kedua anaknya. Tak lama, wangi sop sosis makaroni dan ayam goreng sudah memenuhi dapur. Nindya mematikan kompor dan membawa hasil masakannya ke ruang makan.

Suaminya turun ketika Nindya selesai menata piring. Wajahnya mengeras ketika melihat istrinya selesai menata meja. Rahangnya terkatup rapat, matanya tajam menatap Nindya yang gemetar.

“Kamu bangun dari tadi dan tidak membangunkan aku?” geramnya sambil melangkah panjang-panjang ke arah Nindya yang merapat ke dinding.

Tangan Matteo menjangkau dan mencengkeram rambut Nindya. Mengabaikan Nindya yang merintih sambil berusaha melepaskan cengkeramannya, dia menarik Nindya dan mengempaskannya ke lantai.

“Ta… tadi…. Mas-”

“Bantah! Bantah terus!” sembur Matteo sebelum Nindya menyelesaikan kalimatnya.

Nindya menggigit lidahnya hingga rasa asin memenuhi mulutnya. Dasar bodoh! Harusnya aku diam saja! rutuknya dalam hati. Dia mengatupkan rahang, berusaha tidak berkedip agar air mata yang sudah mengambang di pelupuk matanya tidak tumpah. Suaminya akan semakin murka jika dia menangis.

“Nanti lagi, kalau bangun, langsung bangunkan aku! Kalau aku terlambat, kamu mau tanggung jawab, hah?” bentak Matteo lagi, matanya membeliak garang, telunjuknya mendorong kening Nindya hingga wanita itu terlengak.

Nindya bergeming. Masih lekat di ingatannya perlakuan yang diterimanya ketika nekat membangunkan suaminya. Lebam di mata kanan serta pelipis adalah hadiah yang diterimanya. Dia harus mengoleskan corrector cream dan concealer berhari-hari untuk menutupinya.

“Heh! Kamu dengar tidak?”

Nindya refleks menarik wajahnya ke belakang saat muka Matteo nyaris menyentuh hidungnya.

Plak!

Rasa perih langsung menjalar di pipi Nindya. Namun, dia bergeming, sedikit saja bergerak, maka tangan Matteo akan semakin kalap.

Tiba-tiba ujung matanya menangkap gerakan di ambang pintu. Vio. Anak sulungnya itu sudah bangun.

“Mas, Vio,” desis Nindya lirih.

Pandangan tajam Matteo mengendur. Dia masih mengepalkan tangannya beberapa saat, sebelum melemparkan tatapan mata mengancam pada Nindya, lalu berbalik dan pergi, kembali ke kamarnya.

Nindya mengembuskan napas, lalu berdiri perlahan. Dia tersenyum pada Vio sambil memperbaiki ikatan rambutnya. “Eh, anak Mami sudah bangun,” sambut Nindya sembari tersenyum lebar.

Vio mendekatinya dengan wajah murung dan mata terluka. “Papi pukul Mami lagi?” tanyanya langsung.

“Eh, nggak. Tadi Mami jatuh,” Nindya mempertahankan senyumannya. Menghindari tatapan Vio yang menyelidik, dia memilih pura-pura menata piring yang sudah rapi di atas meja.

“Mami jangan bohong!” tegur Vio sambil duduk di kursi makan. Matanya masih memandang Nindya menyelidik. “Vio sudah besar.”

Senyum Nindya memudar, dia menatap anaknya dengan mata mengembun. Ya, sekarang Vio sudah berumur tujuh tahun. Mulai sulit menyembunyikan perlakuan yang dia terima dari suaminya di depan Vio. Meski Nindya mati-matian menyembunyikannya, kini anaknya sudah bisa mengendus ketidakberesan dalam keluarganya.

Dulu, Nindya masih bisa berusaha agar sikap buruk suaminya tidak terlihat anak-anak.
Namun, kini,telinga kecil itu sudah semakin tajam, mata kecil itu bisa memandang lebih awas. Vio tahu tanpa perlu diberitahu. Dan, dia sigap menjadi pelindung maminya tanpa diminta.

“Papi jangan pukul Mami!” teriak Vio beberapa waktu lalu, saat dia melihat Nindya ditampar. Tanpa pikir panjang, dia mendorong tubuh besar papinya dan menjadikan dirinya tameng ibunya.

Kala itu Matteo hanya melotot dan memandang Vio murka, lalu berbalik sambil mendengus marah.

Sejak itu, Vio selalu siap membela Nindya. Sebaliknya, kini Matteo selalu menghindar jika aksinya diketahui si anak sulung.
***

Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Matteo sudah bersiap berangkat. Perjalanan dari rumah ke perusahaan tempatnya bekerja memakan waktu 45 menit. Matteo selalu memilih berangkat lebih pagi agar terhindar dari macet.

Meski kota kecil, kini Sukabumi tidak terlepas dari kemacetan. Terutama di pusat kota, area sekolah dan daerah industri. Telat berangkat sedikit saja, Matteo akan terjebak dalam kemacetan yang membuat emosinya naik.

“Jangan pergi ke mana-mana!” perintah Matteo sambil menyambar tas yang disodorkan Nindya.

Nindya mengangguk dan mundur dua langkah, memberi jarak agar suaminya leluasa keluar lewat pintu. Dia menatap mobil suaminya hingga menghilang di balik gerbang. Tanpa sadar dia mengembuskan napas lega. Untuk sejenak, rasa tenang menyelimuti.

Drama pagi harinya sudah berakhir.

Tinggal menyiapkan dirinya untuk drama sore nanti, selepas suaminya pulang bekerja.
***

Seperti biasa, suasana kafe kecil di dekat taman bermain itu sepi di pagi hari. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk dan menikmati kue-kue manis khas yang disajikan di sana. Nindya nyaris hafal siapa saja pengunjung kafe itu.

Yang paling sering dilihatnya adalah ibu muda dengan anak perempuan kecil lucu. Nindya pernah menyapanya sekilas, berbasa-basi sesama penghuni komplek perumahan. Dia tinggal dua blok dari rumahnya. Anaknya hampir seumur dengan Vanya, karena itu keduanya acapkali bermain bersama di taman.

Hari ini Sarah memakai baju terusan ungu muda dengan motif bunga-bunga kecil berwarna putih. Rambut ikalnya diikat dua, bergoyang lucu setiap kali anak itu menggerakkan kepalanya.
Dia langsung menghampiri Vanya yang sedang membuat istana pasir.

Nindya tersenyum dan mengangguk pada Ai, ibu Sarah, yang duduk terpisah satu meja dari tempatnya. Entahlah, meski sering bertemu, ada rasa enggan di hatinya untuk mengakrabkan diri. Sepertinya Ai juga merasa canggung. Terbukti, jika datang setelahnya, Ai selalu memilih meja yang berbeda. begitupun dengan dirinya.

Terkadang Nindya memerhatikan ibu-anak itu. Keduanya selalu datang dengan ceria, mengendarai sepeda motor dengan boncengan di depan atau berjalan kaki. Sarah pasti langsung lari ke area bermain, diikuti Ai yang tergopoh-gopoh setelah memarkirkan motor. Setelah memastikan anaknya aman, Ai akan menuju kafe dan duduk sambil mengawasi.

Nindya menghela napas, mencoba mengenyahkan rasa iri yang seringkali menyeruak. Ai pasti bahagia dengan keluarganya, mempunyai putri yang lucu, suami baik dan perhatian. Wajah berbingkai jilbab milik Ai selalu polos tanpa make up, tanpa lebam.
***

Hai, kali ini saya mencoba menulis cerita yang berbeda. Jika biasanya misteri, kali ini saya mengangkat masalah yang dekat dengan keseharian kita, tetapi kadang tidak kita sadari. Semoga bermanfaat.

Oh ya, sesuai janji, saya sertakan pengumuman kelas menulis singkat. Yang kemarin berminat, silakan japri saja ya.
Terima kasih. Selamat membaca.

3 PASANG SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang