Our Seventh Time

1K 195 20
                                    

Jisung tidak bercanda ketika ia mengatakan ingin bermain basket lagi.

Basket adalah seluruh hidupnya. Basket adalah seluruh mimpinya. Ia mendedikasikan segenap kemampuan agar bisa bermain sebaik mungkin. Agar bisa meraih sebanyak mungkin pencapaian. Agar seluruh dunia tahu, ia bisa,  ia mampu, ia terlahir untuk bermain basket.

Seluruh masa remajanya adalah tentang basket. Sampai tragedi dua tahun lalu terjadi, merenggut seluruh kemampuan yang sudah ia pupuk sejak belia.

Ia kehilangan kemampuan motorik di kakinya. Ia kehilangan mimpinya.
Ia kehilangan seluruh hidupnya.

Menuju balkon, Jisung mengulurkan lengannya, menunjuk sudut balkon tempat ia menyimpan benda kesayangannya. Mina yang paham lantas beranjak, mengambilkan benda itu untuk adik lelakinya.

Bola basket kesayangan Jisung.

Lebih dari apapun, Jisung begitu mencintai bola itu. Saksi dari seluruh tetes keringatnya yang mengalir selama latihan. Saksi dari bagaimana ia pernah berjuang sekuat tenaga demi membuktikan pada dunia bahwa ia bisa, bahwa ia mampu memimpin timnya meraih kemenangan.

Dan lebih dari itu, Jisung mencintai benda itu karena benda itu adalah hadiah dari kakak tersayangnya pada hari ulang tahunnya.

Hadiah dari Kak Mina.

Jisung melempar bola itu ke lantai, menangkapnya ketika memantul kembali ke udara. Melemparkannya lagi, dan menangkapnya kembali. Tangannya mengendalikan bola dengan baik, mendribblenya dengan lincah meski ia tak mampu bangkit dari tempat duduk.

"Perlu Kakak pasang ring di sini?"

Pemuda itu menghentikan permainannya, mengalihkan perhatian pada kakaknya yang menunjuk dinding balkon.

"Biar kamu bisa main basket di sini..."

Jisung memperhatikan kakaknya.

Tak habis pikir, bagaimana bisa ia menyalahkan orang sebaik dan sepengertian Kak Mina?

Bagaimana seharusnya ia bersikap pada kakaknya itu? Rasanya permintaan maaf seperti apapun tak ada gunanya, rasa bersalahnya sudah terlalu membusuk di dalam hati hingga membuatnya tak lagi pantas mendapat perlakuan seperti ini dari kakaknya.

Dan semakin kakaknya berlaku sebegini baik, semakin Jisung merasa dirinya hanya sampah yang menyusahkan Kak Mina.

"Boleh Kakak pasang ring di sini?"

"Kak Mina, berhentilah bersikap baik padaku."

Jisung membuang muka, menghindari perhatian kakaknya. Melempar pandang ke luar rumah. Memilih memandangi dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh di luar pagar rumahnya.

Ia tak mampu menerima begitu banyak perhatian dari kakaknya, tidak setelah semua kelakuan tak tahu diri yang sudah ia lakukan pada kakaknya itu. Semua kebaikan Kak Mina hanya akan mengingatkannya pada betapa tak berharganya diri Jisung.

Pemuda itu sadar, pikirannya begitu kacau. Ia pun tak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri.

Ia percaya, ia sudah gila.

"Kakak sayang padamu, Jisung. Kakak hanya-"

Suara Mina menggantung di udara.

Gadis itu berjalan mendekat, kembali menyentuh bahu adik lelakinya.

Lantas mendekap tubuh itu dari samping.

Jisung bergeming, merasakan betapa hatinya menghangat atas perlakuan kakaknya.

"Kakak hanya ingin kamu kembali ceria."

Jisung membiarkan Mina terus mendekap tubuhnya. Menikmati rasa hangat yang mau tak mau ia akui, begitu ia rindukan.

Mata pemuda itu masih memandang lurus ke luar rumahnya, menghentikan pandangannya pada apapun yang menarik perhatiannya.

Ia bisa merasakan angin yang berhembus mengusak surainya. Angin dingin yang akan membawa rintik hujan membasahi tanah di bawah sana. Jisung bahkan baru sadar bahwa awan kelabu telah menaungi bumi, dan aroma tanah basah mulai memasuki paru-parunya.

Angin dingin kembali berhembus, namun dekapan hangat Mina masih melindunginya.

Angin mengusik dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh tinggi di sekitar rumahnya. Pun mengusik tirai putih yang menutupi jendela besar dari kamar di rumah yang berada tepat di sebelah rumah Jisung.

Dan mata Jisung menangkap sosok familiar itu dari balik tirai putih yang berkibar.

"Kakak tahu, Jisung..."

Suara Mina terdengar tepat di telinga Jisung, mengaburkan atensi Jisung dari sosok yang ada di seberang sana.

"Kakak langsung tahu ketika Kakak melihat gambar di kanvasmu tadi."

Jisung menoleh ke kiri, langsung menemukan mata Mina yang indah dan senyumnya yang secerah mentari.

"Kamu menggambar gadis itu, kan?" Mina menatap lurus ke jendela kamar rumah sebelah, memastikan mereka berdua membicarakan obyek yang sama.

Jisung segera mengalihkan kembali atensinya, ke manapun asal tidak pada kakaknya.

Ah, ada apa ini? Kenapa tiba-tibanya kedua pipinya memanas, seakan-akan begitu banyak darah yang mengalir ke sana? Dan kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya? Jantungnya normal kan?

"Kakak bisa mengenalkanmu dengannya, kalau kamu ma-"

"Apa sih, Kak?"

Jisung membuang muka, mendadak menunjukkan wajah tertarik pada tiang listrik yang berdiri di ujung gang sana.

"Dia gadis yang baik, Jisung." Mina menunjukkan senyum secerah mentarinya, entah untuk keberapa kalinya sejak ia masuk ke kamar Jisung. "Kakak ingin kamu mengenalnya."

"Kak, aku-"

"Namanya Chaeyeon, Jisung. Aku yakin nantinya kalian akan berteman baik."

Pemuda itu diam saja, tak tahu harus menunjukkan reaksi seperti apa atas kalimat yang Mina ucapkan.

Yang ia tahu, pipinya memanas. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dan hatinya, menghangat.

🌻My Heart Draws a Dream🌻

My Heart Draws a Dream (Han Jisung) ✔Where stories live. Discover now