Setelah puas melihat tahanan itu tak sadarkan diri, ia bergumam, "Nanti kita lanjutkan saat kau terbangun agar kau selalu merasa kesakitan setiap membuka mata. Jangan harap pederitaanmu akan berakhir, sihirku takan pernah melepaskanmu untuk mati."

Lavina beranjak pergi dari penjara bawah tanah dan bergegas ke taman bunga. Disana, ia memejamkan mata sambil membiarkan sosok lain mengambil alih tubuhnya sementara ia akan beristirahat. Kini tubuh itu sudah berganti jiwa dengan pribadi yang lembut hati, yaitu Liz. Kini ia mengendalikan tubuhnya dengan penuh kuasa.

Liz yang baru tersadar merasakan rasa panas di tangannya. "Kau melakukannya lagi Lavina?" tanyanya menatap telapak tangannya sendiri. "Sebesar itukah perasaannmu pada Aleea sampai-sampai kau tidak mau melepaskan wanita itu."

Liz segera meninggalkan taman untuk bertemu suaminya, ia sdah tidak sanggup lagi jika Lavina terus menerus menyiksa orang lain. Tubuhnya gemetar dengan rasa bersalah yang teramat dalam, seakan-akan ia juga turut terlibat.

Sesuai dugaan Liz, Zealda sedang duduk menatap jendela luar dengan serius. Matanya tertuju pada halaman luas istananya dan melihat sosok pemuda yang terlihat mengendap-endap keluar dari bangunan.

"Lihat! Dia sampai mengendap-endap seperti buronan," ucap Zealda setelah Liz sampai di sisinya. "Aku tidak mengerti kenapa Selena suka menyamar menjadi pria saat keluar rumah."

"Yah, mungkin dia tidak ingin keberadaannya di tempat umum di ketahui banyak orang. Pastinya, sikap orang-orang akan membuatnya risih sepanjang jalan jika ia tidak menyamar," sahut Liz.

"Ternyata diam-diam Selena juga belajar pedang." Zealda tersenyum miring. "Aku jadi tidak sabar ingin mencoba kemampuannya."

"Itu karena dia mengidolakan putri mahkota yang dulu. Sampai sekarang Selena tidak tahu bahwa putri mahkota yang dikaguminya adalah ibu kandungnya."

"Dan sekarang ibu dan anak itu berada diusia yang tidak jauh berbeda. Meskipun secara jiwa mereka ibu dan anak, tapi secara fisik mereka hanyalah orang asing yang tidak memiliki hubungan darah apapun." Zealda termenung sejenak tanpa mengalihkan tatapannya dari halaman diluar sana lalu tersenyum masam. "Setelah kupikir-pikir, itu memang kejam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki ikatan batin dengan orang yang jelas-jelas bukan siapa-siapa. Kita telah melakukan kejahatan padanya dengan memisahkan dirinya dengan Valen. Jika Selena tahu, dia pasti bingung sekali."

"Karena itu Selena jangan sampai tahu," sahut Liz cepat dengan nada tertekan. "Kasih sayang kita padanya akan membuatnya tidak menyadari hal itu. Semenjak pemindahan jiwa itu, Selena bukan lagi anak Valen."

Nada bicara lugas dari istrinya membuat Zealda menoleh. "Kau benar-benar menyayanginya seperti putrimu sendiri, bahkan bicaramu seolah-olah takut kalau Selena akan direnggut darimu."

"Tentu saja, Selena adalah anak yang di pindah ke rahimku. Aku sudah menyayanginya seperti anakku."

Zealda mendesah tertawa dan berdiri mendekap istrinya dari belakang. "Jika hukuman Lavina berakhir dan kau mengandung anakmu sendiri, apa kau masih tetap menyayanginya?"

"Tentu saja." Liz menatap mata suminya. "Karena dia anak pertama yang kulahirkan."

"Kau benar-benar istriku yang berhati lembut." Zealda semakin mendekap istrinya erat dan menatap ke luar jendela. "Lihat! Gadis sembrono itu diam-diam mambawa kuda dari kandangnya. Mungkin mau bertemu dengan idolanya."

Liz tertawa kecil mendengar sebutan itu, membangkitkan rindunya pada Valen. "Ya, mirip idolanya."

"Tapi...bukahkah Selena sudah bertemu dengan Valen?" ucap Zealda yang tiba-tiba berpikir. "Berarti seharusnya hukuman Lavina sudah berakhir karena Selena sudah bertemu ibu kandungnya bukan?"

AssassinWhere stories live. Discover now