"Kakak...aku menunggumu." ucapnya sambil menunduk ke arah debu-debu yang menempel di sepatu.

"Kak Sari sudah janji akan kembali...kakak belum mati kan? Aksa takut sendiri. Kakak kalau mau mati, ajak Aksa juga pergi. Biar kita bersatu di alam lain." ucap Aksa sesenggukan.

Aksara tidak percaya, dirinya kini sendiri. Air matanya mengalir terus tanpa henti. Hatinya sesak dan ketakutan. Takut akan kakaknya yang belum kembali. Takut akan kehilangan yang bertubi-tubi.

Ayahnya suda lama mati, lalu ibunya, tetangganya, sanak saudara, dan teman-temannya. Ia bahkan melihat bagaimana teman bermainnya meregang nyawa karena satu tembakan. Meskipun belakangan ini, ia telah sering melihat orang mati. Tetapi itu bukan alasan untuk membiasakan diri mati rasa atas kehilangan orang yang disayangi.

Kini Aksari pun belum kembali. Aksa serasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Ia takut sendiri. Bocah kecil yang malang berdiri dikepung kegelapan.

Hari sudah petang, namun Aksari belum juga kembali. Padahal sebelumnya sudah berjanji untuk kembali sebelum kakaknya pamit pergi.

"Kak... hari sudah petang. Kembalilah!" ucapnya bernada lirih dan hampa.

Aksara bingung harus bagaimana. Ia ingat, Kakaknya memintanya untuk pergi, jika petang hari masih belum juga Aksari kembali. Batin Aksara berkecamuk. Apa yang harus dilakukan? Hari sudah lebih dari petang. Pikir Aksa, Kakaknya akan kembali. Barang kali masih dalam perjalanan atau Keadaan genting. Jadi tidak bisa cepat-cepat kembali.

Aksara mencoba menghibur diri dengan berpikir positif.

"Kakak Pasti kembali. Aksa harus berani! Mungkin kakak sedang dalam perjalanan. Aksa akan tunggu sampai Kakak kembali,"

Aksara mulai menegarkan hati. Menghapus air mata dan mencoba menghentikan tangis.

Menunggu adalah hal yang paling menguras emosi. Jika yang ditunggu adalah orang yang disayangi. Sudah jelas hati akan gelisah dan was-was. Begitu pun yang dirasa si bocah kecil Aksara. Setiap detik, menit, dan jam ia habiskan menanti dalam kegelisahan.

Aksa masih menanti, meski beberapa kali ia tertidur lalu bagun lagi. Setiap ia bangun, ia selalu berharap kakaknya telah kembali. Tapi sayangnya harapannya kandas.

Malam telah mencapai puncak tengah malam, satu jam lagi hari sudah berganti. Aksa berdiri di tengah kegelapan, menghadap utara. Tangannya satu dengan yang lainnya saling bertautan. Padangannya mencoba menembus kegelapan tapi tidak bisa. Ia masih menunggu. Tetapi apa yang ditunggu belum juga kembali. Jelas bagi Aksa bahwa waktu sudah cukup menjawab, bahwa dirinya telah sebatang kara. Ia sudah lelah menitihkan air mata. Ia sudah lemas kehabisan tenaga karena menangis.

Kini Aksa tak lagi mampu menangis. Ia seperti dehidrasi karena cairan tubuhnya habis karena menangis. Terlalu banyak untuk hari ini air mata yang dilepaskan. Itu membuat lututnya gemetar ketika berdiri. Suara tangisnya memang sudah tidak terdengar lagi. Tetapi ada suara lain yang yang hadir mengusik. Suara dari perutnya yang bergemuruh tidak kalah pilu.

"Aksa lapar." ucap Aksara sambil menunduk melihat perutnya. Sedangkan tangan kirinya memegang perutnya yang lapar. Tidak ada makanan di sekelilingnya. Tidak ada apapupun. Belalang atau jangkrik pun tidak ada. Tidak ada apapun yang bisa dimakan.

Kakaknya tidak kembali dan ia kelaparan. Cukup lengkap derita anak kecil. Baru sejenak suara perutnya terdengar oleh telinganya. Kini Suara gemuruh kilat juga melengkapi keadaan malam itu.

Angin mulai berhembus lebih kencang dan dingin. Cahaya rembulan ditutupi awan yang bergumul hitam sehingga malam menjadi lebih gelap. Padahal sebelumnya, cahaya bulan cukup terang meski diiringi awan tipis. Tapi alam punya keinginan yang berbeda. Sekarang lebih gelap dan awan lebih menjadi-jadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Last War (Perang Terakhir)Where stories live. Discover now