"Kakak aku tidak sanggup lagi...." ujar bocah lelaki yang berhenti berlari diterpa cahaya matahari siang menjelang sore hari. Bocah yang kini berwajah biru menahan sesak karena lelah. Ia meringis menahan sakit pada kakinya karena dipaksa berlari. Napasnya tersengal seolah tersedak biji salak. Ia berbatuk-batuk sesak. Kini ia mulai menjatuhkan air matanya. Ia sungguh tidak sanggup lagi berlari. Kakinya nyeri dan sudah lelah. Tak sanggup lagi. Sedangkan di balik kasut berkulit lembu dengan tali yang terbuat kulit pohon perdu yang sudah nampak aus dan menipis, terdapat kaki munggil yang telah lebam karena menahan lelah yang dipaksakan.

"BERLARI! Atau kita akan mati....!" suara gadis lebih tinggi dari bocah lelaki itu. Nadanya penuh paksaan seolah dia tidak bisa dibantah. Tapi itu lebih kepada permohonan kepada adiknya untuk tidak menyerah dan berhenti di sana.

"Aku...." adiknya itu menangis. "Aku sudah tidak sanggup lagi. Kakak...tinggalkan saja aku di sini! Aku tidak sanggup lagi." suara adiknya kini putus asa. Tidak ada cahaya pengharapan di rona wajahnya. Ia hanya menangis. Ia teramat lelah untuk sekadar melangkah.

Mereka sedang berlari dari kampung Adas. Kampung yang belum genap sehari mereka tempati. Sebelumnya Ia dan Adiknya mengungsi ke desa itu dengan beberapa orang lain dari desanya untuk menyelematkan diri, sebab rumah dan seluruh penghuni desanya sudah dibantai habis. Mereka mencari perlindungan diri dari serangan bangsa Arba. Bangsa yang melakukan pembantaian kepada semua orang. Entah apa motifnya. Tidak ada yang tau untuk saat ini. Jangankan motif, asal-usul bangsa Arba saja masih jadi misteri. Bangsa itu datang dengan tiba-tiba. Mereka berhembus seperti angin dan menjarah nyawa setiap orang.

Kini dua bersaudara itu sudah berada di perbatasan desa Adas. Kiri dan kanan tidak ada apapun untuk di jadikan tempat sembunyi. Bahkan rumput dan pohon mati pun tidak didapati. Hanya ada sisa reruntuhan bangunan kayu yang bahkan tidak cukup aman untuk sembunyi.

Semua gersang. Tanpa warna. Kecuali warna hitam dan coklat dari batu dan tanah. Bahkan rumput hijau segaris pun tidak ada.

Mereka sudah berhari-hari berlari. Baru sampai, lalu berlari lagi. Wajar saja mereka letih dan merasa tak sanggup lagi. Apalagi mereka masih anak-anak. Tapi tidak ada pilihan. Mereka harus memilih. Terus berlari atau mati.

Suara tembakkan terdengar nyaring. Artinya mereka dan bangsa Arba tak jauh jaraknya. Memang tidak jauh. Bangsa Arba sedang bertempur dengan penduduk desa Adas. Sedangkan dua bersaudara itu belum juga keluar dari perbatasan Desa Adas.

Gadis itu membelalakkan mata, gelisah dan khawatir karena mendengar tembakkan yang lantang. Cukup jelas baginya memahami, bahwa sumber suara tidak jauh dari tempatnya berada. Namanya Aksari, berbaju lusuh dan bermata biru. Rambutnya hitam kemerahan dikepang dua. Usianya masih tiga belas tahun. Bibirnya tipis dan sedang terluka di tepian bibirnya. Kulitnya putih. Namun kini pucat pasih seperti tiada darah yang mengalir pada urat-urat nadinya. Siapa yang tidak pucat berada dalam situasi peperangan? Noda-noda arang dan tanah mengotori beberapa tempat di wajahnya, di dahi, pipi, dan sedikit bagian dagu.

"Tidak...Tidak! Ayo cepatlah naik ke punggung Kakak! Kakak akan menggendongmu," katanya peduli dan khawatir pada adiknya.

"CEPAT!" paksa Aksari.

Tetapi adiknya yang berusia sembilan tahun itu, yang bernama Aksara tidak juga naik ke punggunya. Lalu Aksari menoleh dan memandang Adiknya yang seolah sedang tercekat dan mengigit bibirnya sendiri menahan tanggis.

"NAIK SEKARANG ATAU KITA AKAN MATI!" sekali lagi Aksari membentak.

Adiknya tidak menuruti Aksari. Aksara tidak ingin naik ke punggung Aksari. Malahan Aksara mundur tiga langkah menjauhi Aksari.

"Aksara!"

"Tidak. Kakak harus pergi sendiri!"

Suara tembakan sekali lagi. Mereka sudah mendengarnya bertubi-tubi. Sekali terdengar, jelas pasti ada yang terkapar. Aksara tidak bisa tenang. Bangsa Arba tentu akan membinasakan mereka.

The Last War (Perang Terakhir)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora