and I spend all night stuck on a puzzle

Comenzar desde el principio
                                    

"Aku rela bail-out dari gigs buat kamu, Nja. Remember Music Gallery? Aku rela berantem sama anak-anak demi kamu—"

"Kamu ngomong gitu seolah-olah aku yang minta kamu buat bail-out. Kamu pikir aku bisa minta buat tabrakan waktu itu? Bisa gitu aku minta, god just please hit me with a car right now so my boyfriend would come and see me—"

"That's not my point! Nja, kamu prioritas aku—always. Dan aku nyaris mati di tempat pas tau kamu tabrakan waktu itu. You are that important to me—"

"And so are you—"

"Am I?"

Semuanya adalah efek domino. Satu kesalahan memantik kesalahan lainnya, terus begitu hingga semua pondasi yang telah susah payah kita bangun selama ini runtuh dalam sekejap.

Kalian tau, bagian terburuk dari menyaksikan hancurnya sebuah hubungan adalah ketidaktahuan kita atas alasan di baliknya. At this point, I don't even know what caused me and Senja to fall apart. Mungkin ego dia, atau ego gue, atau keras kepalanya, atau keengganan gue untuk mengalah.

Or maybe, it's all of the above.

"Jeff, Converse called, mereka mau shoot sama lo minggu depan"

Gue menoleh ke arah Jamile yang tau-tau udah ada di sisi gue kini. Sejak kapan anjir? Kok nggak kedengeran suara langkahnya?

"Hah? Oh... iya" gue menjawab sekenanya.

Jamile memicing menatap gue kemudian mengacungkan telunjuknya ke arah wajah gue. "Abis ngelamun jorok lu ya"

"Ngaco!" gue menyingkirkan jari bantet ber-manicure tersebut kemudian berdehem. "Nggak, gue cuma lagi... meditasi"

"Sok sokan meditasi, gue ajakin yoga kemaren baru semenit aja langsung tekor lo" Jamile berujar sebelum merunduk sibuk dengan ponselnya. "BTW ini Converse oke ya minggu depan? Kita nggak ada jadwal manggung sih soalnya hari Jumatnya."

Gue mengangguk. "Iya minggu depan"

"Oh ya, sama mereka minta footage lo pas lagi momen-momen di backstage gini nih buat video campaign-nya. Gue tadi udah minta tolong Sumino sih buat ambil gambar, nanti paling ya pas kita udah mau naik" ia berujar sebelum merunduk untuk melihat sepatu yang tengah gue kenakan saat ini.

"Whaaaaaaaaat kok lo malah pake vans sih??" Jamile memekik, panik.

Gue mengikuti arah matanya turun ke kaki gue, kemudian meringis. "Whoops..."

"Bawa converse nggak lo tapi?"

Gue berusaha mengingat-ingat apakah gue bawa sepatu serep untuk rangkaian gigs selama tiga hari ini, but nothing comes to mind. Jadi, dengan memasang ekspresi defeated dan bersalah, gue memberikan Jamile satu gelengan pelan.

"Hmpf..." Jamile menyilangkan tanganya, mengetuk-ngetuk lantai tenda dengan kakinya. "Bentar coba gue tanya anak-anak ada yang bawa Converse nggak. Dod! Eh, lo aja deh, Bram Bram! Lo bawa Converse nggak?"

Jamile melangkah menjauh, meninggalkan gue kembali sendiri. Kesempatan itu pun dengan sigap gue gunakan untuk membuka ponsel sejenak. Dalam daftar notifikasinya gue melihat nama Mentari masih bertengger di sana, pesannya dari 3 jam yang lalu belum sempat gue balas. Lupa, tepatnya. Gue udah melihat pesan itu dari sejak pertama kali dia masuk ke dalam ponsel gue, tapi lupa belum gue balas sampai sekarang.

[iMessage]

Mentari

Dude guess what

HollowDonde viven las historias. Descúbrelo ahora