1. Bukan Seteru

1.4K 27 18
                                    

Pernikahan nggak selamanya mengalami jalan yang mulus, lantas mengapa banyak rumah tangga yang mampu melaluinya? Bertahan sampai waktu yang sangat panjang. Hingga asa terkubur bersama raga.

Belum hilang berita di layar kaca, mengabarkan kepergian mantan pemimpin negara tercinta untuk selamanya. Kepergiannya menyisakan banyak cerita. luput dengan kisah cintanya bersama mendiang istri yang lebih dulu berpulang ke haribaan.

"Baby, hari ini kamu jemput anak-anak, sendiri, ya? Aku kayaknya baru bisa pulang waktu makan siang," ucap lelaki tinggi besar itu sambil memasangkan ikat pinggang ke celananya. Mengalihkan netraku dari layar besar yang tertempel di dinding.

"Padat banget, ya, hari ini?" aku balas bertanya.

"Gak terlalu, sih. Cuma harus tinjau lokasi aja buat mitra baru. Aku harus kasih pendapat dan masukan, biar nantinya dia lancar dan awet bermitra denganku. Namanya usaha, Yank." Dihidunya puncak kepalaku, menggangguku yang sedang membantu melipat lengan kemejanya hingga siku.

"Baik, Bos! Jadi hari ini aku jemput sendiri? Kamu gak apa-apa aku sendirian jemput mereka?" godaku padanya.

"Hmmm jangan mulai, aku gak suka kamu keluar dari pintu itu sendirian. Tapi menyamakan jadwal dengan mitra, sungguh gak gampang ... Yank." Itulah Meftah, lelakiku. Suamiku. Dia yang nggak rela dan selalu melindungiku dari tatapan liar para kaum adam. Suamiku lelaki dengan tubuh proporsional, tinggi besar. Beruntungnya aku, dia nyaris nggak pernah mengumbar pada media apa yang tersimpan indah di balik kemejanya.

"Oke, baiklah. Hati-hati di jalan, ya!" ujarku, mengantarnya ke pintu unit kami.

"Jaga diri baik-baik. Aku pulang saat makan siang." Dia mengecup bibirku singkat, kebiasaanya sebelum berangkat kerja sejak kami menikah.

Aku segera menutup pintu dan menguncinya setelah Meftah nggak terlihat lagi di ujung lorong. Aah suamiku, dia sangat family man. Meski sudah memasuki tahun ketujuh dia tetap manis hampir nggak pernah membuatku menangis. Hingga kudengar nada dering dari ponsel suamiku.

Layar menampilkan satu nama wanita, kupikir bukan mitra baru. Setahuku, mitra baru Meftah seorang bapak calon pensiunan. Dua kali berbunyi, aku nggak berani menerima panggilannya. Kini pop up pesan masuk dan muncul di layar.

AYUNDA

[ Sorry, Bang, Nda baru balas, habis meeting dadakan sama vendor nih.]

[ Mau pagi ini? ]

[ Oke. Aku tunggu di Cafe langganan kita, ya. See you, Bang 😚😚😚]

Terdengar suara pintu terbuka tepat setelah aku membaca pesan dari Ayunda. Kuulurkan ponsel Meftah dengan senyum setulus yang kubisa. Menyembunyikan banyak tanya yang tertahan di ujung lisan.

"Babe, ada missed call dari Ayunda. Sepertinya penting, tadi ada pesan juga darinya. Lain kali, jangan ketinggalan, ya." Sekuat tenaga kuatur intonasi suaraku agar tidak terdengar memburu.

Kuamati baik-baik wajah Meftah. Ekspresinya terkejut, keringatnya bercucuran. Mungkin dia berlari tergesa kembali ke unit apartemen kami. Namun sorot matanya berubah tajam seketika. Tampak jelas murka yang membara.

Satu tangan Meftah mencengkram kilat jemariku, merebut ponselnya dari genggamanku. Dia berjalan menghampiri, membuatku mundur hingga terkurung di sudut antara pintu dengan dinding. Napasnya memburu, aku dapat merasakannya.

Tanpa aba-aba tubuhku sudah direngkuhnya. Erat sekali hingga aku merasa sesak. Tidak apa, dia selalu begini. Membiarkan dirinya menyalurkan emosi akan lebih baik. Ini tak akan lama, aku sudah terbiasa.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 19, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love Never EndWhere stories live. Discover now