Patahan Kayu Manis

3 0 0
                                    


Mentari mulai menyembul malu-malu dari ufuk timur, sinarnya menyinari kubus hitam kiblat umat islam. Sudah lebih dari setengah jam dari waktu subuh, namun hawa dingin udara kota Haram tak jua bertambah hangat. Menusuk-nusuk indra peraba seperti jarum.

Kugosokkan telapak tanganku dengan arah yang berlawanan, berharap mendapatkan kehangatan. Namun sia-sia. Bahkan bisa kulihat korbondioksida yang keluar dari rongga paru-paruku mengembun di udara, layaknya awan putih. Belum lagi perutku yang keroncongan karena belum sarapan, sehingga tak ada zat gula yang bisa memanaskan tubuh. Jaket yang kukenakan juga tak bisa mengurangi hawa dingin yang kurasakan, sampai-sampai aku berpikir salju akan turun di atas kota suci ini.

Ibu dan Nenek sedang menunaikan hajat dalam bangunan putih besar bertuliskan toilet. Aku tak ikut masuk, dan memilih untuk menunggu disisi bangunan putih sendirian sembari menatap gerbang-gerbang putih yang mengelilingi masjid al-Haram, yang tak pernah sepi dari pengunjung.

Mereka terus berseliweran, ada yang datang dan menetap untuk thawaf, ada pula yang duduk-duduk melingkar untuk makan bersama keluarganya di teras-teras masjid, ada pula yang datang untuk sholat kemudian pulang, salah satunya adalah gadis muda yang duduk tak jauh dari tempatku berdiri. Setelah menunaikan shalat subuh berjama'ah, ia duduk ditepian teras masjid sembari memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mempertahankan panas tubuh yang masih ia miliki.

Tak lama kemudian seorang kakek tua berjalan dengan langkah yang tergopoh-gopoh menghampiri gadis muda tersebut. Seketika itu juga terbit cahaya diwajah sang gadis, seolah-olah mengatakan bahwa penantiannya telah terjawab.

Kakek tua itu mengatakan sesuatu pada gadis itu dengan bahasa yang tidak kufahami. Gadis itu membalas ucapan sang kakek dengan bahasa yang juga tidak kufahami. Gadis itu mengeratkan pelukan pada tubuhnya, saat tubuhnya tiba-tiba menggigil kembali. Aku yang melihatnya jadi ikut menggigil.

Sang kakek kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Potongan kayu manis. Ibuku biasa membuat sayur dengan campuran rempah-rempah tersebut, sebagai penyedap aroma. Walaupun pada akhirnya rempah-rempah itu tidak dimakan, dan hanya digunakan untuk penyedap aroma saja.

Kakek itu mematahkannya sedikit untuk diberikan pada gadis muda tersebut. Gadis itu menerimanya dengan senang hati. Kemudian menelannya bulat-bulat. Kakek tersebut juga melakukan hal yang serupa. Aku mengernyitkan dahi karena terkejut.

Sang kakek menoleh padaku, mungkin ia merasa aneh padaku yang terus memerhatikan mereka. Ia mendekatiku kemudian mengatakan sesuatu dengan bahasanya. Aku menggeleng pelan, tak mengerti apa yang ia ucapkan.

"Bisakan Tuan berbicara dengan bahasa Inggris?" tanyaku berharap. Karena sungguh aku tidak mengerti satu katapun yang terucap dari bibir pucat kakek itu. Kakek itu tak berhenti berbicara dengan bahasanya, sehingga aku berasumsi bahwa sang kakek tidak bisa berbicara dengan bahasa Inggris. Sang kakek menggunakan gestur untuk menjelaskan apa yang ia maksudkan, namun aku mesih tetap tidak faham.

Kakek itu kemudian mematahkan kayu manisnya dan menyodorkannya kepadaku. Aku mengerjap singkat melihat tangan keriput yang terulur padaku itu. Kemudian aku mengadahkan tanganku untuk menerima pemberiannya. Kebetulan aku sedang lapar.

Bisa kulihat wajahnya tampak berseri-seri sesaat setelah aku menerima patahan kayu manis itu dari tangannya.

Dan ketika aku masih sibuk memandangi kayu manis di tanganku, Ibu dan Nenek keluar dari gedung putih toilet dan menghampiriku.

"Ummi, Nenek," seruku.

"Apa kau menunggu lama," ucap Nenek padaku,

Aku menggeleng singkat. Jujur saja Ibu dan Nenekku menghabiskan waktu yang cukup lama di toilet, sampai-sampai langit yang tadinya masih gelap sekarang menjadi terang. Tapi berkat sang kakek yang mengajakku mengobrol walaupun sepihak sehingga aku tak merasa kesepian. Penantianku pun terasa lebih emenyenangkan.

"Tidak masalah, aku bertemu dengan kakek..." Ah, aku harus berterimakasih pada kakek tersebut terlebih atas kayu manis yang ia berikan padaku.

Aku memalingkan kepalaku ke arah dimana kakek dan cucunya itu berdiri. Tanpa menyadari tatapan aneh dari kedua anggota keluargaku yang saling berpandangan satu sama lain.

Dan ketika kepalaku telah sempurna menoleh, yang kudapati di pelupuk mataku hanyalah kekosongan. Kakek dan gadis itu tak ada dimanapun. Kemanapun mata ini mencari.

"Siapa yang kau maksud kakek?"

"Aku bertemu dengan seorang kakek tadi, dan beliau memberiku ini," aku menunjukkan patahan kayu manis di tangan kananku. Lagi-lagi Ibu dan Nenenk saling berpandangan. Tak banyak bertanya keduanya kemudian mengajakku kembali ke hotel.

Kutatap patahan kayu manis itu. Walaupun sosok sang kakek dan cucunya itu menghilang. Kebaikan mereka masih ada, tergenggam di kepalan tanganku, terekam rapih dalam memoriku.

Dalam hidup setiap orang pasti akan mengilang, entah itu melalui perpisahan atau kematian. Dan hanya kebaikanlah yang membuat seseorang itu abadi.

Seperti kebaikan sang kakek dalam secuil kayu manis yang kini telah menyatu dalam dagingku.

Patahan Kayu ManisWhere stories live. Discover now