Bab 1 . The Lady

8.7K 324 67
                                    

12 Februari 1750
Hampton Court Castel
London Richmond, Inggris

.....

"Dia akan berperilaku dengan baik, My Lady. Aku bisa menjamin itu." John Murray, Earl of Kildare menunduk hormat kepada Alice Hamilton, putri Duke of Brandon.

Alice tersenyum manis. Seolah mendapatkan teman baru, gadis berusia delapan belas tahun itu menarik tangan Rosemary, maid barunya, hadiah dari John Murray. Rosemary hanya bisa mengikut dalam diam dan hati sedikit bersyukur. Setidaknya dia berada di tengah orang-orang yang cukup baik di matanya.

Status sebagai budak membuat dia harus terima dengan keadaannya saat ini.
Dia tidak tahu pasti apa yang menimpa keluarganya yang hidup sederhana di tepi sungai Thames. Tiba-tiba saja ayahnya pulang dengan bersimbah darah,- bukan darah pria itu karena Rose mengetahui tak ada luka apapun di tubuhnya, dan membawa sepasukan bala tentara kerajaan yang menahan mereka sekeluarga.

"Kau pasti tahu cara memasang kamisol, bukan?"

Suara lembut Alice memecahkan lamunan Rosemary. "Ah, tentu saja bisa, My Lady."

Alice tertawa senang dan menyodorkan kamisolnya. "Kalau begitu pasangkan untukku. Aku ingin tampil sempurna untuk malam ini." Alice lalu membelakangi maid barunya. Sedetik kemudian dia kembali menoleh dan bertanya, "Siapa namamu?"

"Anda bisa memanggil saya Rose, My Lady."

Alice mengangguk-angguk. Rambut pirangnya bergoyang lembut seanggun pemiliknya.

Rose mulai mengikat tali kamisol di tubuh Alice yang sebenarnya sudah ramping. Saat mengerjakan pekerjaannya, lamunan Rose kembali tercipta. Betapa bahagianya para gadis bangsawan. Tertawa senang sepanjang hari, memakai pakaian yang indah dan hidup dengan nyaman.

"Kau harus ikut denganku ke Istana Windsor. Kau harus menemani aku, Rose. Ini adalah pesta dansa pertamaku. Aku tak ingin malam ini menjadi kesan pertama yang buruk."

Rose tidak menjawab. Mengerti akan tata bicara kepada bangsawan. Dia tidak perlu menjawab karena setiap ucapan majikan adalah mutlak.

Meski Rose mengakui, kalau kini Alice tampak seperti potongan pie apel yang dipenuhi krim berbentuk bunga. Gaunnya berbahan katun dengan warna cokelat muda dihiasi dengan bunga mawar hampir di seluruh bagian roknya. Warna yang terlihat mati dengan rambut pirangnya yang pucat.

Namun Rose memilih untuk menutup mulutnya. Itu bukanlah urusan yang harus dia campuri. Terbukti dengan kebanggaan Alice yang berlenggak di depan cermin. Bahkan saat keberadaannya di dalam kereta kuda bersama Alice, Rose hanya diam dan memandang keadaan di luar.

Seumur hidup, baru kali ini dia menaiki kereta kuda bangsawan. Meski dia hanya seorang maid, dia seolah bisa merasakan kehidupan bangsawan yang sebenarnya. Apalagi saat ini dia sedang menuju Istana Winsor, tempat King George III bertahta. Bahkan saat memasuki pintu besar Ball Room, mata Rose tak henti-hentinya bergerak ke sana ke mari melirik para gadis bangsawan yang jelita. Dan jangan lupa dengan bangsawan muda yang tentu saja pasti ada di tempat itu.

Tepat di tengah ruangan yang besar itu, beberapa pasangan sedang berdansa dengan diiringi lantunan musik melankolis. Rose melihat Lady-nya juga sangat bersemangat di tengah keramaian para bangsawan.

Setelah beberapa saat berdiri, Alice memberi isyarat kepadanya agar mengikuti langkah Duchess muda itu. Setelah melewati beberapa kumpulan wanita, Rose mulai sadar kemana arah langkah mereka.

Beberapa langkah di hadapannya, Williams Russel, Duke of Wellington sedang berdiri sambil memegang cawan anggur di tangannya yang tampak kokoh dan gagah. Di balik jubah kebesaran bangsawan yang dipakainya, Rose memastikan postur tubuh yang memukau ada pada Williams. Senyumnya begitu memikat, lembut seolah mengagungkan wanita yang berada di dekatnya.

Bahkan Rose juga ikut terbuai saat mereka sudah sampai di dekat Williams. Suara jernih dan girang, menghipnotis pendengaran Rose hingga hanya tertuju kepada Williams.
Rose merasa gugup sendiri. Menyadari kesalahan karena sudah berani membiarkan hatinya terpukau pada sesuatu yang jauh di luar jangkauannya. Tangannya bergerak menyambar minuman yang sedang di bawa para maid istana raja. Lalu menyesap minuman itu hingga nyaris habis.

Di hadapannya Alice bergerak dan mulai mengarahkan anggota tubuhnya untuk menarik perhatian Sang Duke muda. Tangannya gemulai saat menyambut uluran tangan Williams yang dengan segera mengecup lembut jemari di balik sarung tangan berenda yang dipakainya.

Rose meneguk air liur dengan hati hangat. Dia membayangkan kalau saja yang ada di posisi Alice adalah dirinya, dia akan membuka sarung tangannya dan merasakan langsung kelembutan bibir Williams di jemarinya. Sesaat kemudian dia menggeleng frustrasi saat fantasi liar berjalan di kepalanya. Tepat pada saat itu matanya bersirobok dengan mata jamrud milik Williams. Dan tak disangka olehnya, Williams mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum menggoda.

Baru saja hati dan pikiran Rose berpikir liar, kini bulu halus di lengannya ikut meremang. Bukannya dia tidak mengetahui skandal sang duke yang begitu terkenal di antara para gadis bangsawan. Sebagian besar dari mereka rela menaikkan rok di kasur pria itu dengan harapan bisa mencuri perhatian Williams Russel, The Duke of Wellington.
Rose menunduk. Terkejut dengan perbuatan Williams yang baru saja dilihatnya.

"Sungguh luar biasa bisa bertemu denganmu, My Lady."

Suara Williams terdengar serak dan basah. Membuat Rose memalingkan wajah. Kini, bukan hanya wajah pria itu yang menarik hati. Namun suaranya juga mendesak masuk dan memporakporandakan hati Rose yang bodoh dengan pikiran naifnya.

Saat dia memutuskan untuk melirik ke arah Lady-nya dan juga Williams, dia harus kembali mendapati mata itu juga melirik ke arahnya.

Bahkan pada saat Alice menarik Williams ke tengah Ball Room untuk berdansa, Rose dengan sangat sadar meyakini kalau mata Williams masih terarah kepadanya.

Rose terpaku dengan gugup. Berdiri di situasi di mana dia tidak bisa pergi ke arah manapun membuat gadis itu semakin kacau dengan pikirannya sendiri. Kemudian dia menyesap habis anggur di cawan yang masih dipegangnya hingga habis.

Lalu dia mencoba melirik ke arah Alice dan Williams berdansa. Matanya kembali bertemu dengan tatapan Williams. Tatapan mendamba terpancar di mata pria itu.
Sekilas matanya menangkap kilatan asmara dari mata Williams, membuat tubuhnya merasa hangat. Kehangatan yang tak ada hubungannya dengan minuman yang baru saja dia habiskan. Kehangatan lain yang membuat Rose membayangkan kain satin putih yang akan membalut tubuhnya yang polos dan Williams ada di atasnya dengan keringat yang sangat berarti.

Rose menggigit bibirnya saat khayalan memalukan dan sangat bodoh itu berputar di kepalanya. Lalu dia memutar tubuh, memutuskan untuk keluar dari ruangan besar yang kini terasa sangat panas. Dengan pikiran menenangkan bahwa Alice tidak akan membutuhkan kehadirannya di sini, Rose memberanikan diri berlalu dari sana.

Di luar, Rose menghampiri taman istana Windsor yang dipenuhi bunga Lily. Lalu tangannya bergerak menyentuh sekuntum bunga dan menunduk untuk mencium aroma yang ditebarkannya. Aroma yang menenangkan sarafnya setelah sempat menegang saat berada di dalam istana.

"My Lady?"

Rose berdiri tegak saat mendengar suara yang sangat dekat di belakangnya. Dia bukanlah seorang Lady, tapi entah mengapa dia merasa kalau panggilan itu ditujukan kepadanya. Lalu dia menoleh ke belakang dan melebarkan matanya. Terkejut sekaligus kagum karena kini, si pemilik mata jamrud sedang berdiri tepat di hadapannya.

.....

The Ruthless LoveWhere stories live. Discover now