02

185 23 0
                                    




Memang tidak ada yang spesial dari pria itu, tetapi Subin tidak bisa berhenti memikirkannya.

Berkatnya, Subin sekarang memiliki jadwal baru dalam kesehariannya. Hari ketiga pada hitungan minggu, jam tiga sore, Subin akan pergi ke hutan kota. Duduk di tempat yang sama sembari mengamati pria itu dari jauh.

Penyihir muda itu sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mendekati pria itu, bahkan hanya untuk sapaan kecil sudah membuat keringat dinginnya mengalir.

Mengamati pria itu dari jauh sudah cukup baginya, meskipun hati kecilnya penasaran akan setiap detil dari pria itu.

Nama yang dimiliki pria itu, dimana dia tinggal, atau bahkan nama hewan yang ia pelihara saat kecil. Subin ingin mengetahui semuanya.

Namun nyali nya terlalu kecil untuk menanyakan hal itu. Lagipula mengamatinya dari jauh sudah cukup bagi Subin.

Raut wajah Subin terlihat kecewa saat ia tidak mendapati pria itu berada disana, di pohon tempat ia selalu duduk. Padahal ia selalu menantikan saat ini, namun sepertinya hari ini pria itu tidak datang.

Subin tidak berniat langsung pulang, ia tetap duduk di bangku yang selalu ia duduki. Setidaknya meskipun pria itu tidak datang, Subin masih bisa melarutkan dirinya di alam seperti sekarang.

Fokusnya teralihkan saat seorang pria tiba tiba saja duduk disebelahnya. Pria itu, pria yang selalu ia amati, tengah duduk disebelahnya sembari membaca buku yang sama.

Subin kaget bukan main. Ini tidak seperti bayangannya. Mendapati pria itu duduk disebelahnya benar benar membuatnya bingung.

Pria itu menutup bukunya, lalu menoleh kearah Subin sembari tersenyum.

Indah. Hanya itu kata yang ia pikirkan saat melihat senyuman pria itu. Subin tidak menyangka pria itu akan seindah ini saat ia melihatnya dari dekat.

Tanpa sadar wajah Subin memanas, telinganya berubah menjadi kemerahan. Subin lalu beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan pria itu.

Hatinya belum siap untuk semua ini.

𝑆𝑒𝑜𝑢𝑙, 𝟣𝟫𝟩𝟢Where stories live. Discover now