lasting impression

9.5K 1.4K 119
                                    

Jam di nakas bergulir ke angka sebelas, lampu di seluruh penthouse sudah dimatikan—tinggalkan sisa lampu dengan watt kecil sebagai pencahayaan. Taehyung baring di sisi kanan; seperti biasa. Bedanya, kini sisi kiri kasur diokupasi. Dan besok pagi tidak ada spasi dingin waktu bangun pagi.

Jujurnya, dia gugup. Jeongguk langkah pelan waktu selesai mandi. Seminggu lebih tinggal bersama, Taehyung baru sadar Jeongguk tak pernah miliki piyama—beda dengan dirinya. Hanya modalkan kaus oblong dan celana linen rumahan.

Tak tahu apakah pasangannya sudah duluan lelap (karena pasti Jeongguk lebih lelah) atau masih terjaga. Tambahan sesi cerita mereka yang lumayan kuras emosi.

Jadi Taehyung benar kaget waktu deham Jeongguk kembali mengudara.

"Taehyung?"

Telan ludah, yakinkan supaya pita suara tidak serak, Taehyung balik menggumam. "Y—ya?"

"Maaf. Kamu nggak nyaman, ya?" Dia dengar ada pergerakan—guling besar yang ditaruh di tengah lumayan buat pandangan terhalang. "Saya pindah lagi kalau begit—"

"Mas jangan!" Taehyung refleks; tarik ujung baju belakang Jeongguk, lalu kaget sendiri. Wajahnya merah, mungkin, dan hal demikian agaknya buat senyum kecil di bibir pasangannya.

"Saya cuma ke sebelah aja, nggak tidur di tetangga," lirih Jeongguk—entah kenapa kalimatnya buat tawa menyembul dari Taehyung; lantas sang putra Jeon pun ikut helakan satu, dua. "Serius. Daripada kamu nggak tidur nanti."

Taehyung kerucutkan bibir. "Gak mau," sergahnya. "Temani sampai aku ngantuk kalau begitu. Mas Jeongguk mau tau apa tentang aku? Nanti kujawab. Karena tadi kan mas udah cerita panjang lebar."

Jeongguk tak menjawab, tanpa suara ia pindahkan guling yang membatasi sisi Taehyung dan dirinya. Taehyung kaget—lagi. Tidak menyangka tidur di satu kasur bisa sebegini was-was dan gugup.

"Saya mulai dari paling basic kalau begitu—"

"Eh—tapi besok mas Jeongguk malah kesiangan."

"Gak usah dikhawatirin, Taehyung." Nada Jeongguk jenaka. "Saya bisa bilang ke Namjoon supaya ambil alih kerjaan selama saya belum datang. Jadi, saya mulai, ya." Dia gerakkan tubuh menyamping, sekarang otomatis full saling berhadapan. "Favorite dish?"

Taehyung lontarkan tawa. "Really? Oke. Sebenernya aku lumayan picky, tapi kalau gak memungkinkan aku bisa makan apa pun."

"Alergi?"

"Seafood; terutama udang, kepiting, kerang. Aku cuma bisa makan ikan dan cumi."

"Favorite colour?"

"Hijau! Ungu, juga. Merah. Mas Jeongguk bagus kalau pakai merah."

Jeongguk mendengus lucu. "Saya juga suka merah, tapi lemari saya kebanyakan putih. Oke, next. Punya pengalaman memalukan?"

"Mas Jeongguk random ih." Taehyung raih guling lantas benamkan wajah ke permukaannya.

"Saya kan penasaran ceritanya. Ayo. Jangan bilang kamu pernah dapat dare aneh waktu kuliah? Buat piercing di tempat aneh-aneh?" Manik onyx Jeongguk menyipit; jelas dia nikmati ini. "Beneran, ya?"

Masih pasang wajah merah, Taehyung naikkan selimut hingga ke bahu; jadi praktis cuma sebatas mata yang menyembul dari balik guling pertahanan. Sementara, Jeongguk practically penasaran sekarang, tak sadar ia condongkan tubuh menunggu jawaban pasangannya.

"Yang masalah dare, iya."

"Terus?" Sumpah. Benar-benar sepenasaran itu dan tidak ada jeda.

Taehyung hela napas. "Lari putar area kampus pukul 3 pagi, cuma modal celana pendek di atas lutut, nyanyi lagu kebangsaan, dan kalau ketemu orang ...." Sekarang sembunyikan muka full di bantal; agak berontak karena Jeongguk iseng angkat guling jadi sebelah wajahnya terlihat. "Peluk dan bilang aku belum cuci tangan selesai buang air besar."

Hening.

Taehyung baru dengar Jeongguk tertawa keras hingga menangis—agaknya puas karena jelas ia tertawakan penderitaan pasangannya. Awalnya Taehyung merajuk, tapi ikut tersenyum juga lantaran Jeongguk tidak hentikan kebahagiaannya.

"Oke, lanjut, mungkin pertanyaan terakhir. Karena kita benar-benar harus tidur," jelas si putra Jeon; melirik ke nakas, dan benar. Bahkan tengah malam sudah lewat. Jadi, Taehyung setuju tanpa menolak. "Ketakutan terbesar?"

Bola mata Taehyung yang semula tak perlihatkan ekspresi apa pun perlahan membulat. Ukir senyumnya berhenti di tengah jalan. Sempat buat Jeongguk khawatir.

Belum sempat Jeongguk tarik pertanyaannya, Taehyung lebih dulu menjawab.

"Petir dan gelap." Tangan terulur, remat selimut lebih dekat. Bayangkannya saja ia bergidik. "Kami main petak umpet, waktu itu. Bunda sudah bilang kalau sebentar lagi hujan, tapi aku nggak nurut. Ikut sepupuku main di halaman belakang. Aku nggak terpikir apa pun, cuma lari ke gudang dan sembunyi di belakang tumpuk jerami.

"Lalu, mungkin aku ketiduran. Dan hal pertama yang buat aku bangun, suara petirnya kencang. Kencang sekali, seperti di sebelah telinga. Gudangnya gelap. Dan di luar mulai hujan. Aku lari ke pintu, tapi terkunci—takut."

"Taehyung ...."

"Tiba-tiba ruangan terasa sempit—seperti tercekik. Mas tahu kalau napas berat waktu berendam di air sebatas leher?"

Jeongguk aminkan—pandang matanya ikut gusar.

"Bu—Bunda yang datang duluan. Khawatir sekali."

Sebelah tangan Jeongguk terulur, raih jemari Taehyung yang masih setia pegang selimut—seolah selimut itu adalah hal terakhir untuknya bergantung. Tangan Jeongguk hangat; Taehyung suka sensasinya waktu mereka bersentuhan.

"Kamu tahu ini sudah mulai akhir tahun?"

Taehyung menggumam.

"Saya akan usahakan selalu pulang cepat, oke? Dan saya pastikan lampu ruangan menyala otomatis kalau di luar mulai gelap."

Impresi Taehyung kala itu mengenai Jeongguk—pahlawannya.

[✓]  11:11 • KOOKVWhere stories live. Discover now