Prolog

2.6K 134 8
                                        


***

Hujan belum juga reda membuat dia harus berteduh tanpa berani menerobos rintikan air itu. Helaan nafas beberapa kali terdengar, hari sudah mulai sore dan dia harus segera pulang namun rupanya alam tidak mengijinkan niatnya untuk beranjak dari sekolah.

"Aduhhh!" Ia meringis saat beberapa percikan air mengenai matanya. Seseorang yang baru saja datang mengibaskan rambut basah.

"Sorry!"

Saat selesai mengucek-ucek matanya, dia menoleh pada sumber suara. Oh, ternyata teman sekelasnya.

"Iya, nggak apa-apa." Sahutnya pelan lalu kembali menatap ke depan memandangi turunnya hujan.

"Maaf, den Deven! Saya terlambat jemput."

Dia menoleh lagi ke samping, seorang supir menghampiri teman sekelasnya itu.

"Nggak apa-apa. Payungnya mana?" Pinta teman sekelasnya itu.

Payung diserahkan lalu Deven mengoper padanya.

"Ambil! Hujannya bakalan awet."

Dia menerima dengan ragu, matanya menatap wajah tenang milik pemuda itu.

"Terima kasih." Ucapnya dengan pelan.

Deven hanya mengangguk lalu berlari menerobos hujan membuat supir pribadi pemuda itu berteriak dan menyusul dengan panik.

Sementara dia menatap hujan dan payung secara bergantian. Hingga dering suara ponsel menyita perhatiannya. Dia merogoh tas dan mengambil benda pintar itu.

"Halo, Ma." Sapanya setelah menerima panggilan.

"Kamu masih di sekolah?"

"Iya."

"Mama suruh pak Mardi jemput ya?"

"Nggak perlu, ma. Ini Anneth udah mau naik bus kok."

"Oh, ya udah. Hati-hati. Mama mau lanjut meeting lagi."

"Iya."

Sambungan terputus, dia menghela nafas namun sedetik kemudian wajah murung itu tergantikan dengan senyum tipis kala memandangi payung yang dipegangnya.

***

"Terima kasih. Silahkan datang kembali!"

Senyum yang dipasangnya pun pudar kala pembeli keluar dari minimarket yang ia jaga. Tangannya langsung memijat betis. Rasanya lelah sekali.

"Permisi, mbak!"

Dia menegakkan kembali tubuhnya lalu memasang senyum manis, "Ya, mas."

"Hm, itu, mbak, anu... Duh gimana ya ngomongnya."

"Kenapa mas?" Tanyanya berusaha sabar saat pembeli di hadapannya bertele-tele.

"Bo-boleh minta nomornya nggak, mbak?"

Matanya terbelalak, senyum yang sejak tadi dia pasang pun hilang.

"Mas, kalau cuma iseng, lebih baik keluar!" Ucapnya dengan ketus.

"Saya nggak iseng, mbak. Serius ini! Nyawa saya taruhannya ini mbak."

Wajahnya memerah lalu memutari meja kasir untuk menghampiri pemuda itu. Sesampainya di hadapan pemuda itu dia mendorong dengan kasar badan lelaki modus itu.

"Eh, mbak, mbak!" Seru lelaki itu panik.

"Keluar dan jangan pernah datang ke sini lagi!" Usirnya dengan kejam.

"Tapi, mbak! Beneran, ini tuh nyawa saya taruhannya. Mbak-nya boleh dong kasih nomornya. Please, mbak!" Mohon pemuda itu.

"Nggak! Pergi!" Tegasnya.

"Mbak!"

"Saya teriak nih. Mal..."

"Eh, iya mbak. Saya pergi! Jangan teriak, ok!"

Dia mendengus kesal menatap kepergian lelaki itu.

"Charisa."

Dia menoleh ke samping mendapati teman kerjanya yang baru saja tiba sambil menenteng dua plastik berisi nasi bungkus.

"Ngapain lo diluar?" Tanya temannya.

"Baru ngusir orang iseng."

"Jangan galak-galaklah sama pembeli." Tegur temannya.

Dia memutar kedua bola mata, "Mana nasi gue?"

"Ini."

Menerima satu bungkus nasi, dia pun masuk kembali ke dalam minimarket.

***

"Kamu dengerin aku nggak sih!"

"Hm."

"Aku bilang berhenti main game."

"Hm."

"Aku ini manusia bukan patung yang bisa kamu cuekin."

"Hm."

"Clinton!"

"Hm."

Tidak tahan dengan sikap pacarnya itu, dia pun mengambil benda yang sejak tadi diperhatikan oleh pemuda itu.

"Apasih, Jo!" Seru Clinton kesal.

BRAKKK!

Clinton berdecak melihat PSP-nya dibanting begitu saja oleh gadis yang sudah menjadi pacarnya selama setahunan ini.

"Aku capek kamu cuekin terus. Aku-, Clinton! Aku lagi ngomong. Mau kemana kamu." Teriak Joa kesal saat pemuda itu berjalan menjauhinya.

"Pulang!" Clinton balas berteriak dengan santai dan pemuda itu dalam sekejap menghilang dari pandangan Joa.

Nafas Joa memburu, rasanya ingin melempar kepala pemuda itu dengan vas bunga yang ada di meja. Bukannya mengambil vas, Joa mengambil handphone-nya, menelpon seseorang yang selalu menjadi pelampiasan amarahnya.

"Halo, Den! Datang ke Secret Cafe sekarang!"

Tanpa menunggu jawaban, ia sudah memutuskan sambungan teleponnya. Bangkit dari sofa, dia berjalan masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas.

***

Tidak menerima pertanyaan seputar Triplet or Dream di cerita ini. Dan juga tidak menerima kata-kata 'next' karena cerita ini bakalan update seminggu sekali mungkin atau seminggu dua kali. Jadi nggak nentu.

Berharap kalian enjoy, kalau nggak juga nggak apa-apa. Saya juga nggak bisa maksa.

CircleWhere stories live. Discover now