Si penyihir kembali memasuki pentakel miliknya, berdiri di samping sang istri yang sesegukan dalam tangis, dan langsung mengucap rentetan mantra melalui mulutnya yang kering.

Seiring dengan mantra yang terus keluar dari mulut si penyihir, Haechan ikut merapalkan mantra dalam hati, meminta siapa pun untuk melindungi nyawanya, menyelamatkannya dari iblis yang memaksanya menjadi pengantin. Tanpa terasa, setetes air mata meluncur jatuh dari belah pipi Haechan, menghantam garis kapur pentakel di atas lantai, dan dalam seketika, angin hebat berembus di dalam ruangan itu. Api-api lilin berguncang, sebelum akhirnya padam.

Haechan tidak berani mengangkat kepala untuk melihat kemunculan makhluk di pentakel besar di hadapannya. Lelaki itu menunduk, dengan tubuh yang sepenuhnya bergetar, berikut bibir yang tergigit kuat, menahan jerit ketakutan. Dari sudut pandangnya, ia dapat melihat gumpalan asap yang melingkar di pentakel besar itu, berikut cahaya merah dan biru yang berkobar, sebelum suara menggema terdengar mengisi ruangan, diiringi bau belerang, rumput kering, dan lumpur. Di posisi berdirinya, Haechan merasa amat sangat kecil, sebab tubuhnya kini tertelan dalam bayangan makhluk tinggi besar di pentakel, yang dipantulkan oleh cahaya bulan keperakan yang mengintip melalui garis lubang ventilasi.

Makhluk besar itu muncul di dalam pentakel kosong, begitu rapal mantra pemanggil menarik rohnya keluar dari Dunia Lain. Wujud makhluk menunjukkan tingkat dan derajat yang ia emban; kepalanya merupakan wujud kepala singa jantan, dengan bulu yang melingkar tebal di sekitar leher. Tangan, dada, hingga perutnya berupa tubuh milik algojo; besar, kukuh, berotot, hitam dan berkeringat. Tangan-tangannya melipat di depan dada, menonjolkan otot-otot yang padat. Sedang pinggang hingga kakinya merupakan perwujudan kaki elang, dengan cakar-cakar berbentuk bulan sabit, menancap kuat di permukaan lantai kayu. Terdapat dua sayap yang terbuka di seputar punggungnya, sepasang sayap berupa kulit yang menojolkan urat-urat. Makhluk itu mengaum seperti singa, sesekali kakinya menggesek-gesek permukaan lantai, meninggalkan jejak robekan kayu.

"Bassima," ucap si penyihir. Ia dan sang istri menganga, mengagumi dengan ngeri bentuk si jin yang menyeramkan.

"Sudah bertahun-tahun." Suara si jin menggema. "Apa yang membuatmu memanggilmu?"

"P-perjanjian kita, wahai Bassima," jawab si penyihir. Tubuhnya bergetar, meski ia sepenuhnya berada dalam lindungan pentakel. Wajahnya menunduk, enggan memandang sepasang manik merah si jin yang siap membunuh.

Bassima terenyak, kemudian tertawa. Tawanya menggelegar, menjatuhkan bubuk-bubuk tipis dari atap yang rapuh. "Manusia picik sepertimu masih ingat, ternyata. Mana dia? Mana mempelaiku?"

"Seorang putra, Bassima," ucap si penyihir. Kepalanya menunduk dalam-dalam, menunjukkan rasa hormat memuakkan yang membuat si jin mengernyit, merendahkan. "Kujanjikan akan menjadi suami-Mu yang paling setia. Dia berdiri di pentakel di hadapan-Mu, dan jiwanya milik Engkau sepenuhnya, Al-Jinni nun agung."

Tawa menggelegar menyusul setelahnya, tawa kemenangan yang memojokkan musuh, selayaknya memojokkan gerombolan rusa-rusa patah tulang, yang tak dapat kabur dan hanya bersiap untuk segala terkaman singa menuju kematian. Haechan merasa jiwanya rontok, melebur, mengalir keluar dari telapak kakinya dan mengotori lantai kayu, merusak goresan kapur pentakel. Bau belerang dari sosok si jin menghujam indra penciumannya dengan lebih kuat, membuat Haechan semakin takut dan ingin berteriak, namun tenggorokannya tersekat oleh mantra, yang mungkin dan tidak, telah ayahnya rapalkan untuk membungkamnya.

"Seorang suami." Bassima tergelak. "Bisa apa dia? Menatap aku saja tidak bisa. Takut kencing di celana."

"Hanya malu, Bassima."

Dari posisinya, Haechan mampu merasakan tusukan mata ayahnya dari seberang pentakel.

"Dia akan jadi budak-Mu, suami-Mu, makanan-Muㅡapa pun yang Engkau kehendaki."

[✔] The Second World [Bahasa]Where stories live. Discover now