Satu

8K 462 47
                                    

Sudah satu tahun lebih empat bulan berlalu, dalam waktu itu juga gadis berpipi chipmunk ini selalu merasakan manis sekaligus pahit kehidupannya bersama Lalisa Manoban yang menyandang status sebagai kekasihnya. Kini, mata Rosé sibuk mengamati kekasihnya itu yang tengah berbincang-bincang dengan seseorang melalui teleponnya.

Setelah lima menit berlalu, Lisa menyudahi sambungan telepon itu dan segera menghampiri Rosé. "Maaf, aku lama, ya?"

Rosé menggeleng pelan, kemudian tersenyum tipis. "Tadi siapa? Jennie?"

"Iya, Jennie. Jadi---- bagaimana? Kau jadi mau aku temani?" tanya Lisa berusaha mengalihkan pembicaraan mengenai Jennie.

"Tidak perlu, Lisa. Kau pergi dengan Jennie saja, aku tau dia lebih membutuhkanmu."

Lisa sedikit terkejut, namun ia berusaha bersikap biasa saja. "Lalu, kau bagaimana? Bukannya kau ingin sekali pergi bersamaku?"

"Lisa---- aku memang ingin sekali pergi denganmu, tapi Jennie lebih membutuhkanmu. Lagipula, jika dengan Jennie kau tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga, sedangkan bersamaku, kau pasti akan kelelahan mendorong kursi rodaku."

Ah benar, Rosé ini memang menyandang status sebagai kekasih Lisa. Namun, yang dicintai Lisa bukanlah dirinya, melainkan sosok gadis lain yang sudah lama Lisa cintai; Jennie.

Bahkan, Rosé juga sudah tau tentang semua yang telah terjadi antara Lisa dan Jennie. Rosé memakluminya, karena memang Lisa tidak akan pernah mencintainya, Lisa hanya akan mencintai Jennie. Jadi---- Rosé sama sekali tidak keberatan jika Lisa juga mempunyai hubungan dengan Jennie.

Bagi Rosé, tak apa jika ia tidak mendapatkan cinta Lisa, menjadi kekasih Lisa saja sudah sangat membuat Rosé bersyukur. Biarlah Lisa bahagia bersama Jennie karena memang kenyataannya hanya Jennie yang dapat membuat Lisa bahagia.

Rosé sakit hati? Tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah lah, Rosé tidak apa-apa, biarkan saja Lisa juga menjalin hubungan dengan Jennie.

"Tapi----"

Kalimat Lisa terhenti ketika Rosé terlebih dahulu memotongnya.

"Sudah, aku tidak apa-apa, Lisa. Pergilah, bersama Jennie pasti lebih baik. Kau tidak akan malu jika pergi bersamanya, sedangkan denganku pasti kau akan menanggung rasa malu yang besar."

"Chaeng, aku juga sudah berjanji mau menemanimu, bukan? Aku juga----"

"Pilih aku atau Jennie?" tanya Rosé.

Lisa mendadak bungkam, pertanyaan Rosé berhasil membuat Lisa tidak berkutik sama sekali. Tapi, sudah jelas jawabannya, bahwa Lisa akan lebih memilih Jennie, meskipun Rosé adalah kekasihnya.

"Tidak perlu kau jawab, aku sudah tau kau akan menjawab apa. Pergilah, Jennie pasti sudah menunggu mu."

"Kau serius tidak apa-apa aku tinggal?"

Rosé mengangguk mantap, ia ingin menyakinkan Lisa bahwa dirinya baik-baik saja padahal jauh dalam lubuk hatinya, ia benar-benar menderita.

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Aku? Mungkin setelah ini Jisoo akan datang menjemput ku, dan kau tidak perlu mengkhawatirkan ku."

"Oke---- kalau begitu, aku akan pergi setelah Jisoo datang menjemput mu." ucap Lisa yang kemudian beralih duduk di bangku taman.

"Tidak perlu, Lisa. Aku tidak ingin membuat Jennie lebih lama lagi menunggumu, pergilah sekarang."

Lisa mendadak kesal, mengapa Rosé ini seperti sedang berusaha mengusirnya?

"Kau mengusirku, huh?"

"Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja----"

Belum sempat Rosé menyelesaikan kalimatnya, Lisa sudah terlebih dahulu menyela. "Cerewet, diam bisa, kan? Pokoknya aku akan menunggu sampai Jisoo datang, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, kau sendiri sadar bahwa kau itu----"

That Should Be MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora