BAGIAN 8

1K 51 2
                                    

Dewi Melati terpaku hampir tidak percaya begitu melihat seekor Burung Rajawali Raksasa meluruk turun setelah mendengar siulan panjang melengking bemada aneh. Perempuan tua itu terheran-heran menyaksikan Rangga begitu akrab dengan burung raksasa itu.
"Nyai Dewi..!"
"Oh! Eh..., ya," Dewi Melati tergagap.
"Ini Rajawali Sakti, sahabatku," Rangga memperkenalkan sahabatnya itu.
Hati Dewi Melati masih diliputi perasaan heran bercampur tidak percaya. Dia hanya bisa mengangguk dengan mata tidak berkedip memandangi burung yang begitu besar dan terlihat sangat menakutkan. Sedangkan Rajawali Raksasa menyorongkan kepalanya kepada wanita tua itu. Hal ini membuat Dewi Melati terkejut setengah mati, sehingga tanpa sadar melompat ke belakang.
"Ha ha ha...!" Rangga tidak dapat menahan rasa gelinya melihat Dewi Melati ketakutan.
"Khrrrrk ... !" Rajawali Raksasa mengkirik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan takut, Nyai Dewi. Sahabatku ini akan membantu kita memancing mereka keluar," kata Rangga setelah reda tawanya.'
Dewi Melati masih belum bisa berkata-kata. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat seekor burung begitu besar, melebihi besarnya seekor gajah dewasa. Berpuluh-puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan, tapi baru kali ini menyaksikan sesuatu yang sukar untuk dipercaya. Sering didengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, dia tidak tahu sama sekali kalau pendekar muda itu mempunyai sahabat seekor burung raksasa. Rasanya saat ini tengah bermimpi saja!
"Ayo, Rajawali Sakti. Kita pancing mereka keluar!" seru Rangga tidak ingin membuat Dewi Melati semakin bengong keheranan.
"Khraghk!"
"Hap!" Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Sakti.
Begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di punggungnya, burung raksasa itu langsung melesat terbang ke angkasa. Tapi Rangga menepuk leher sahabatnya.
"Pindahkan dulu Nyai Dewi ke Kaki Lereng Gunung Palang Sewu," kata Rangga agak keras.
Rajawali Sakti melesat naik lebih tinggi, kemudian meluruk turun dengan cepat ke Puncak Gunung Palang Sewu. Tepat pada saat itu, sebongkah batu besar berguling dari semak belukar. Kalau saja Rajawali Sakti tidak cepat- cepat melesat naik, batu itu mungkin akan menghimpitnya.
"Khraghk...!"
"Kau tetap di sini! Aku akan turun!" seru Rangga.
"Grrrhk...,!" "Hup!
Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Sakti. Namun belum juga kakinya mendarat di tanah, sebuah cahaya hijau meluruk cepat bagai kilat menerjangnya. Pendekar Rajawali Sakti itu cepat memutar tubuhnya di udara seraya mengibaskan pedangnya, menyampok pisau yang berwarna hijau itu.
Tring!
Dari balik batu besar yang terguling tadi, melesat sesosok tubuh berbaju hijau ketat yang menampakkan gambaran tubuhnya yang ramping. Rangga menjejak tanah dengan ringan. Pedangnya disilangkan di depan dada.
"Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Mampu memaksaku keluar," kata wanita yang ternyata adalah Katila.
"Bukan hanya kau, tapi dua orang yang berada di belakangmu!" sahut Rangga dingin.
"Ha ha ha... !"
Rangga melompat mundur beberapa tindak begitu terdengar suara tawa menggelegar. Sebentar kemudian, dua sosok tubuh melesat keluar dari semak belukar tempat batu besar tadi terdapat. Rupanya semak belukar itu merupakan pintu penutup gua Karang Setan. Ki Dadap dan Nyi Senah berdiri mengapit Katila. Saat yang sama dari arah lain muncul Dewi Melati yang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Dan dari arah lain Pula, muncul Ki Petel bersama baberapa orang penduduk dan tetua Desa Palang Sewu. Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru langsung lenyap seketika.
"Nyi Senah! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Petel keheranan melihat Nyi Senah berdiri di samping Katila.
"Kau sudah dapat menjawabnya sendiri, Ki Petel. Atau kau tanyakan pada Ki Ageng Sela," jawab Nyi Senah kalem, seraya sudut matanya melirik Ki Ageng Sela yang, berdiri di samping Wandara.
Ki Petel memalingkan muka ke arah Ki Ageng Sela. Bahkan semua orang yang ada di tempat itu menatap pada salah seorang tetua Desa Palang Sewu itu. Hal ini membuat laki-laki tua itu sedikit kelabakan. Wajahnya berubah-ubah tidak menentu. Dan tiba-tiba saja, dikibaskan tangannya cepat. Wandara yang berada di sampingnya terperangah sesaat. Belum sempat disadari apa yang bakal terjadi, tahu-tahu lambungnya sudah sobek mengucurkan darah.
"Ki Ag ...."
Wandara tidak bisa melanjutkan ucapannya. Tubuhnya kontan ambruk, berkelojotan di tanah. Sebentar kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Darah yang keluar dari lambungnya berubah berwarna hijau kehitaman. Sedangkan dari mulutnya merembes busa berwarna hijau.
"Ki Ageng..., kau...!' Ki Petel terpana menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali. "Hup!"
Ki Ageng Sela melompat menghampiri Nyi Senah, lalu, mendarat manis di samping wanita tua itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, menatap orang-orang yang masih terpana tidak mengerti.
"Seharusnya aku tidak terlalu percaya padamu, Ki Ageng, " kata Ki Petel datar.
"Terlambat," dengus Ki Ageng sinis.
"Sejak aku jadi kepala desa, kau selalu menentang setiap keputusanku. Semula kusangka kau hanya mendebatku saja. Ternyata ada, maksud-maksud tertentu di balik hatimu, Ki Ageng," dingin dan datar nada suara Ki Petel.
"Kalian semua memang manusia bodoh! Memiliki ilmu yang tinggi, tapi tidak dapat menjabarkan setiap ilmu. Kau mendaratkan pukulan aji 'Belah Raga' pada Nyai Dadap, tapi kau tidak menyadari kalau ajianmu itu akan luntur oleh 'Pukulan Racun Merah' milik Nyi Senah, Ki Petel. Juga, Tombak Sangkal Putung milik Pranata tidak ada artinya dengan aji 'Pukulan Tapak Saketi' milik Wandara. Ditambah lagi dengan aji 'Walang Sungsang' milikku. Nyai Dadap tidak akan tewas, meskipun dihujani dengan berbagai macam ajian yang dahsyat, karena semua ajian itu bertentangan dan saling menghancurkan," kata Ki Ageng Sela.
"Jagat Dewa Batara...," desis Ki Petel Baru menyadari kalau kata-kata yang diuraikan Ki Ageng Sela, memang benar.
"Tapi kau boleh bangga, Ki Petel. Saudara seperguruamu telah menewaskan Nyai Dadap sebelum sampai terjerembab ke dasar jurang," lanjut Ki Ageng Sela.
"Ki Ageng Sela, Apa sebenarnya yang kau, inginkan?" tanya Dewi Melati menyelak.
"Aku...? Ha ha ha...!" Ki Ageng Sela malah tertawa "Tanyakan saja pada Nyi Senah."
"Kami semua bersaudara. Nyai Dadap adalah adik tiriku. Dan Ki Ageng Sela adalah saudara seperguruan dengan Nyai Dadap. Kami berpisah sejak kecil. Aku dan Ki Ageng Sela sengaja membantu kalian mengeroyok Nyai Dadap, karena kami tahu kalau ilmu yang kalian miliki bertentangan dan saling melumpuhkan dengan kami," jelas Nyi Senah.
"Dan suami Nyai Dadap menginginkan kematian istrinya terbalaskan. Sekaranglah saatnya pembalasan itu!" sambung Ki Ageng Sela.
"Keparat! iblis kalian semua!" geram Ki Petel.
"Terimalah pembalasan dari arwah Nyai Dadap!" seru Ki Ageng Sela.
Seketika itu juga Ki Ageng Sela melompat menerjang Ki Petel. Sedangkan Nyi Senah menerjang Dewi Melati. Ki Dadap yang sejak tadi diam saja, hanya jadi penonton bersama Katila. Juga begitu pula dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dia belum berbuat apa-apa. Semua yang terjadi sungguh diluar dugaan sama sekali.

19. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Kerudung HijauHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin