15. [Getaran]

176 28 0
                                    

||||
.
/Maka kami kabulkan (doanya) dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang beriman.\
Q.S. Al-Anbiya:88
.
||||

"Riqi," teriaknya sambil mengarahkan senter ke segala penjuru. Langkahnya tidak dipedulikan, seluruh fokus matanya hanya tertuju pada sekitar, bukan langkah kaki. "Riq!"

Hanya kesunyian.

Air matanya kembali merembas, dadanya bergemuruh hebat. "Riqi! Kamu di mana?!"

Satu yang diharapkan detik itu, semoga malam cepat berlalu.

"Riq! Kamu jangan bercanda!"

Kahfi kembali berdzikir, dia semakin takut jika salah melangkah. Dia memilih untuk bersandar pada pohon, menunggu sang fajar datang menjemput. Air matanya kembali turun ke bumi. Ketakutan semakin menjadi ketika ada semilir angin dan beberapa macam suara bersautan dalam keheningan. Seyakin-yakinnya dia kepada Allah yang selalu melindungi, rasa takut tetap dirasakan. Allah, Allah, Allah ....

"Kahf!"

Jantung Kahfi rasanya jatuh begitu saja ke perut. Suara napas langsung terdengar jelas, dadanya berkembang kempis begitu cepat. "Astagfirullah, Riqi! Darimana aja?! Bukannya tadi kamu ketakutan?!" semprot Kahfi bersiap meluapkan kekesalan.

"Pak ketua bisa nangis ternyata," candanya membuat Kahfi segera menghapus jejak air mata.

Kahfi segera mengeluarkan kompas, benda satu itu berharap dapat membatunya menemukan jalan keluar. "Ayo ke  utara." Kahfi melilitkan sorbannya ke leher, guna mengurangi rasa dingin yang menyerang.

"Jangan, Kahf. Bahaya."

"Tadi kita keluar dari kawasan perkemahan ke arah Barat. Kahf yakin bahwa kawasan perkemahan ada di utara dari sini. Tenang, nggak akan sesat, kok." Kahfi meyakinkan.

"Kahf, di sana bahaya. Entara kalau kita kenapa-napa bagaimana?"

"Ada Allah."

Riqi mengusap wajahnya kasar, lalu menyorotkan cahaya senter ke arah utara. "Aku takut kenapa-napa."

"Kita nggak bakal kenapa-napa! Sebaiknya kamu ikut aja aku! Aku tahu jalan keluarnya."

"Bagaimana mungkin? Kahf yakin, arah ke sana nggak akan salah. Percaya sama Kahf! Tadi Kahf selesai salat, hati sudah tenang, dan Kahf yakin jika pilihan Kahf nggak meleset. Jalannya ke sana!"

Ada kalanya, hati ingin riya meski tahu riya itu hal yang buruk. Ada kalanya kita ingin merasa benar tanpa sadar telah menganggap orang lain salah. Kahfi yakin dengan arah utara, karena dia merasa bahwa itu suara dari hatinya. Kahfi mengambil langkah ke arah utara, tapi ditahan Riqi.

"Kahf! Dengerin aku! Di sana ada jurang. Tadi aku melihatnya ke sana. Dan di sana," Riqi menunjuk ke arah selatan. "tadi aku menemukan anak panah di pohon!"

Mata Kahfi langsung berbinar mendengar berita bahagia ini. Saat itu juga, dia menyadari kesalahannya. Kesombongan atas diri yang meninggi bergejolak dalam dada. Hanya istigfarlah yang mampu meredam napsu sekaligus memohon ampunan pada Sang Pencipta.

"Maaf, ayo ke sana."

Dan pada akhirnya, mereka selamat dari insiden tersesat atas izin Allah. Keduanya mengikuti arahan panah. Selang kurang lebih lima belas menit lamanya, sautan memanggil nama Kahfi dan Riqi bersautan. Sang panitia pasti mencarinya.

||||

Usai salat subuh, Kahfi kembali ke tenda. Matanya berat sekali, setengah sadar dia bergabung dengan temannya yang masih di alam mimpi. Padahal dia sendiri tahu jika tidur setelah salat subuh tidak diperbolehkan. Namun, untuk kali pertamanya, Kahfi benar-benar lupa akan apa yang telah diajarkan Kakeknya.

Panitia menyiram tenda karena sudah pukul enam belum ada satu orang pun yang bangun dari tenda SDN 4 putra.

Kahfi merasa badannya remuk ketika bangun. Salah satu temannya membuka tenda, membiarkan panitia melihat keadaan di dalam tenda. "Kalian belum pada bangun?! Lari dua putaran!"

Badan lelah, mata ngantuk, di pagi buta seperti ini di suruh berlari. Kahfi bersyukur saja, karena ini hari terakhirnya di sini.

Pukul tujuh, kegiatan senam dimulai. Kegiatan setelahnya hanya bersih-bersih area perkemahan lalu upacara penutup. Bus sekolah menjemput pukul sepuluh, dengan senang hati, acara telah selesai.

Sesingkat itulah waktu tiga hari.

Felix dan Revira sudah menunggu tibanya bus sekolah. Saking sayangnya wanita yang baru berkepala tiga itu kepada Kahfi, dia turun dari mobilnya untuk memghampiri pintu bus yang baru datang, agar dialah orang pertama yang menyambut keponakannya. Tas gendong Kahfi langsung disambar begitu saja oleh Bibinya ketika baru menginjakkan kaki ke tanah. "Bibi yang bawa, ya. Kamu pasti capek." Revira tersenyum, menyapa Kahfi dengan hangat.

Kahfi terdiam sesaat, lalu menggeserkan posisi supaya tidak menghalangi orang lain yang turun dari bus. "Biar Kahf aja, Bi. Itu berat."

"Udah, ah. Ayo, Pamanmu sudah memunggu."

Mau tidak mau, Kahfi mendesah pelah abil memgikuti jejak Bibinya. Bibinya itu, terlalu overprotective.

"Waaaa keponakan Paman. Gimana di sana? Seru nggak?"

Usai memasang seatbelt, Kahfi berseru dengan semangat menggebu. "Seru banget, Paman!"

"Nanti SMP kamu masuk ekskul pramuka, Kahf," usul Revira diangguki suaminya sebagai wakil suara setuju.

"Enggak, ah. Kahf maunya masuk pesantren, bukan SMP,"katanya sambil mengamati keluar jendela. Ketika mobil itu mulai melaju, Kahfi menatap kosong pandangan di luar. Sekilas bayangan kehidupan di pesantren Almukarom Hasanudin hinggap di otak. Dia rindu lantunan Al Quran bersautan, dia rindu dengan ukhuwah, dia rindu lurusnya shaf salat untuk memperindah Islam, dan dia rindu dengan suasana pondok yang begitu menyejukkan hati dan pikiran.

Tak terasa, air matanya menitik. Hatinya bergetar, lidahnya bershalawat pada Nabi.

||||

Kahfi [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang