1. [Anak Shaleh]

858 60 15
                                    

||||
.
/Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan janganlah (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.\

~Ali Imra: 139~
.
||||


Tepat pertengahan sepertiga malam, Shafiyah beranjak dari atas sajadah. Dia berjalan masih dengan balutan mukena. Ketika orang lain masih tenggelam dan terombang-ambing mimpi, Shafiyah dan anaknya sudah terjaga untuk mengisi malam. Di saat Shafiyah akan membuka pintu kamar, seorang anak berusia enam tahun lebih dulu membuka pintu itu dari dalam. "Sudah wudhu?" tanyanya disertai senyum.

"Belum, Uma."

"Cepatlah, Allah sudah menunggu."

Anak itu mengangguk paham, lalu berlari kecil ke tempat wudhu. Shafiyah kembali lagi ke mihrab, tempat khusus ibadah. Tiada pernah Shafiyah mengeluh dalam melakukan rutinitas ini bersama anaknya, meski dia merasa lelah. Bagaimanapun hati kecilnya tidak bisa dibohongi, beribadah dan beramal shaleh memang melelahkan. Namun, satu alasan kenapa dia tidak pernah berhenti melakukan hal tersebut. "Karena hati Uma merasa tenang ketika melakukan hal melelahkan itu," kata Shafiyah mengemukakan alasannya kepada Kahfi beberapa bulan yang lalu.

Kekayaan terbesar bukan terletak di seorang milyader, bangsawan, dan pejabat-pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Melainkan terletak di hati yang tenang. Shafiyah tidak masalah jika keadaan ekonominya berada di garis kekurangan, bahkan tidak ada ketakutan menjalani hari meski tidak punya apa-apa. Untuk apa takut miskin sedangkan kita adalah milik yang Maha Kaya.

"Uma tes hafalan kamu, ya."

Anak itu mengangguk dan langsung mengambil posisi duduk di depan Shafiyah.

Muhammad Kahfi Al-Fatih namanya, tumbuh di bawah didikan terbaik Shafiyah. Seorang penghafal Quran yang dibimbing untuk selalu berjalan sesuai koridor pedoman hidup. Seorang anak yang lahir tanpa mengetahui bagaimana rupa sang Abi. Seseorang yang tawadhunya masyaAllah.

"Walā ...." Anak itu tertunduk, sedikit lama Kahfi terdiam sampai terdengar isakan. "Kahf lupa lagi, Uma ...."

Shafiyah merengkuh anaknya untuk dibawa ke dalam pelukan. "Nanti kita hafalkan lagi sama-sama, ya. Sekarang bersiap-siaplah, sebentar lagi masuk subuh."

Sebuah rasa yang dinamakan cinta, mengalirkan kehangatan ketika disatukan dalam sebuah kebersamaan. Kahfi tersenyum dalam pelukan itu, menikmati kenyaman yang selalu membuatnya candu. "Uma, Kahf sayang sama Uma."

Seorang ibu ditetapkan sebagai cinta pertama bagi anak laki-lakinya, dan seorang anak adalah anugrah terbesar bagi orang tua. "Uma juga, Nak."

Usai bersiap dengan sarung kecil dan pecinya, Kahfi mulai melangkahkan kaki menuju masjid. Bagi pejuang subuh, belajarlah dari Kahfi yang sudah menjadi penikmat subuh. Di mana orang-orang akan melihat anak itu di shaf paling depan sebelum adzan terkumandang. Sebab itulah pancaran sinar sudah tidak bisa disembunyikan dari wajahnya, sebagai bukti tanda kebesaran Allah.

"Yah ... Kakek keduluan sama Kahf," seru pria paruh baya yang baru masuk masjid.

Kahfi yang sedang berdzikir pun langsung menoleh dan memberi cengiran polosnya. "Kakek, sih. Lama!" ejeknya

"Tadi Kakek kesiangan bangunnya." Bagi pria itu, bangun pukul tiga adalah kesiangan. Ke masjid pukul empat kurang adalah keterlambatan, apalagi kalah saing dengan cucunya.

Kedua manusia itu sudah terbiasa lomba datang ke masjid. Berebut melantunkan ayat suci lewat mikrofon untuk membangunkan jiwa-jiwa yang masih terjebak alam mimpi. Terkadang berlomba untuk tadarus.

||||

Matahari merangkak naik bersamaan dengan sinarnya yang mulai menyengat. Kahfi dan kakeknya baru keluar masjid setelah melaksanakan salat dhuha. Keduanya selalu melamakan diri duduk berdzikir di rumah Allah, karena tidak ada biaya sewa per jamnya.

Anehnya, sudah masuknya gratis, tidak ada biaya sewa, tapi banyak orang yang enggan melangkahkan kaki ke masjid dan pantatnya susah untuk dirapatkan lebih lama di dalam masjid. Saking tidak betahnya di masjid, tidak sedikit orang yang memilih pulang selesai salat fardhu. Ketika imam membaca dzikir setelah salat, justru makmum satu per satu beranjak.

Astagfirullahal adzīm.

"Sudah berapa banyak hafalannya, Kahf?" tanya kakeknya ketika mereka menelusuri jalan setapak menuju rumah.

"Baru sedikit, Kek."

Lihat! Inilah salah satu ketawadhuannya Kahfi. Sudah hafal 22 juz masih dibilang sedikit. Bahkan ketika ibunya menceritakan hafalan Kahfi kepada kakeknya, anak itu langsung bersembunyi dengan alasan malu. Dan anak itu tidak ingin hafalannya diketahui orang lain dengan alasan takut timbul rasa riya.

"Kakek bangga sama Kahf. Mau digendong?" tawarnya. Kahfi tersenyum sambil menggeleng. "Jangan malu-malu ah, biasanya juga malu-maluin," canda kakeknya seraya jongkok di depan Kahfi.

Anak itu segera naik ke punggung kecil kakeknya, lumayan menghemat langkah. Padahal jarak masjid dan rumah terbilang dekat, sekitar sepuluh meter. Kahfi menumpukan dagu di bahu kakeknya dengan tangannya dilingkar ke leher pria itu.

Harist namanya, pria kepala empat yang memilih jihad di jalan Allah lewat suara. Beliau akui tidak mempunyai harta dan jabatan untuk berjihad. Maka dari itu, apa lagi yang harus digunakan untuk berjihad selain suara yang lantang?

"Kakek ada jadwal ngisi pengajian nggak hari ini?"

"Ada. Kenapa? Mau ikut?"

"Mauuuu!"

"Nanti siang bada dzuhur acaranya. Qobla dzuhur Kakek jemput.

"Yeay!" Dia bersorak gembira sambil mengangkat kedua tangannya. "Kahf nggak sabar mau ikut."

"Kenapa mau ikut?" pancing pria itu.

"Kata Uma, kalau kita mudah melangkahkan kaki ke majelis ilmu, Allah akan memudahkan langkah kita ke surga. Kahf kan mau masuk surga ... nyusul Abi di sana."

"Sekaligus ketemu Rasulullah, ya?"

"Iya!" Wajah polos anak kecil itu tidak melepaskan senyumnya. Binar matanya memancarkan kebahagiaan, membayangkan pertemuannya dengan Nabi tercinta dan sang Abi. Hanya membayangkannya saja sudah senang, apalagi bertemu secara nyata?

Tentang pertemuan dengan Nabi Muhammad, Kahfi jadi teringat ibunya yang menangis semalam.

"Kita hidup di akhir zaman, di mana zaman kita dan Rasulullah itu sangat jauh jaraknya. Perubahan-perubahan terjadi secara perlahan, nilai-nilai keagamaan perlahan terkikis waktu, godaan setan semakin dasyat mengguncang iman. Ada kalanya Uma merasa tidak berbuat dosa tapi nyatanya melakukan dosa. Jika saja Allah perlihatkan dosa Uma, pastinya Uma akan kaget dan merasa diri ini sangat kotor. Pertanyaannya, apa seseorang yang kotor pantas bertemu seorang manusia yang suci?

Uma nggak pantas berada di surga, Kahf. Tapi Uma juga takut kalau masuk neraka."

Kahfi mengembuskan napas putus asanya, ibunya saja yang ahli ibadah merasa tidak pantas di surga, apalagi dia.

"Kalau begitu, Kahf harus jadi anak shaleh, ya."

"Iya, Kek. Uma juga maunya Kahf itu jadi anak shaleh. Tapi Kahf belum bisa jadi anak shaleh. Dosa Kahf kan masih banyak," ucapnya polos. Kahfi memang belum baligh, tapi merasa dosanya banyak karena setiap hari Shafiyah selalu mengatakan bahwa seorang manusia tidak luput dari dosa.

||||

Kahfi [SELESAI✔]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora