02 | Seorang Pedofil?!

Começar do início
                                    

Kuputuskan untuk tidak melanjutkan berkirim pesan. Ponsel kuletakkan kembali di atas nakas, tak lupa aku menarik selimut untuk menutupi tubuh. Mataku terpejam, bersiap memasuki alam mimpi yang mungkin menyenangkan.

***

Sore hari saat kami bersantai di taman belakang, kuputuskan untuk mengakhiri masa mogok bicara dengan Mama dan Papa.

Terlebih dahulu aku menyesap cokelat hangat untuk membasahi tenggorokan. Setelah merasa cukup rileks, aku langsung merealisasikan niatku, "Ma, Pa, Lili udah nggak mau kuliah di Paris. Lili mau di sini aja."

Mama langsung mengucap syukur, merasa lega sekaligus terharu. Mama juga beranjak memelukku dengan erat. "Akhirnya ... Mama senang banget kamu mau ngomong lagi. Mama juga senang dengar keputusanmu. Mama kira kamu akan membenci Mama sama papa."

"Mama pikir Lili bakalan jadi anak durhaka?" tanyaku sambil mengerucutkan bibir. "Lili memang marah sama kalian, tapi nggak sampai benci juga."

Sekali lagi Mama memeluk sambil mengusap sayang belakang kepalaku. "Mama hanya mengira-ngira. Lagian Mama merasa egois karena nggak ngizinin Lili ngejar cita-citanya dan nerima lamaran tanpa mendengar pendapatmu."

Papa terkekeh, lalu bergabung dengan kami. Tangan Papa yang panjang dan kuat, merengkuh tubuhku dan tubuh Mama sekaligus. "Papa juga minta maaf, Li. Apa yang Mama kamu bilang tidak jauh berbeda dengan yang Papa rasakan."

Bibirku kembali mengerucut. Kuuraikan pelukan mereka, lalu berganti memegang tangan Papa dan Mama. "Nah, karena Lili udah nurut nggak kuliah di Paris, sekarang Papa sama Mama bisa batalin lamarannya."

Raut mereka langsung berubah. Aku meneguk ludah kasar, sepertinya permintaanku yang ini sulit mereka kabulkan. "Kenapa, Ma? Pa? Alasan kalian nerima perjodohan biar Lili nggak ke Paris aja, kan? Sekarang udah Lili putusin buat kuliah di sini, berarti Mama sama Papa bisa menolak lamaran itu."

"Li." Mama memegang sisi wajahku. Diusapnya pipiku dengan lembut. "Udah Mama bilang kalau Mama itu egois. Jauh di lubuk hati yang terdalam, Mama senang kamu di lamar Om Anton untuk anaknya. Lalu setelah mendengar alasan kenapa Raka menginginkanmu, tekad Mama langsung bulat. Dengan persetujuan kamu atau enggaknya, pernikahan tetap dilaksanakan."

Aku jarang sekali menangis, tetapi akhir-akhir ini aku selalu dibuat menangis oleh keluargaku. "Lili nggak mau, Ma! Lili masih ingin menikmati masa remaja. Lili ingin merasakan seperti apa rasanya pacaran. Lili ingin berteman tanpa terikat dengan apa pun!"

Mama terdiam. Dari raut wajahnya, tidak menunjukkan tanda-tanda akan luluh dengan tangisanku. Kini tatapanku beralih pada Papa, menunjukkan permohonan yang sama lewat tatapan mata, tetapi pada dasarnya mereka pasangan keras kepala, yang setelah memutuskan sesuatu sudah jelas tidak bisa diubah-ubah begitu saja.

"Maafkan Papa, Li." Papa mengelus puncak kepalaku. "Papa tidak menemukan kecacatan dalam diri Raka. Papa juga merasa terhormat karena memiliki besan seperti Om Anton, atasan Papa sekaligus orang yang Papa hormati."

Kedua tanganku langsung menutupi wajah. Pupus sudah keinginanku, rancangan-rancangan menikmati dunia perkuliahan langsung buyar begitu saja.

"Kenapa suasananya seperti ini?" tanya sebuah suara.

Aku yang tahu itu suara Bang Gandra langsung menoleh ke belakang, berniat untuk mengadu padanya. Namun, kehadiran sosok lain membuatku tertegun. Lagi dan lagi pandangan kami bertemu, dia selalu menyunggingkan senyum untukku. Dan mata itu ... mata itu selalu menatapku penuh minat. Lewat sana pula dia seakan bicara bahwa, keinginannya untuk memilikiku begitu besar. Sangat besar sampai sulit untuk diibaratkan.

"Oh iya, Abang lupa." Bang Gandra mengendik ke samping. "Bang Raka kangen sama lo, Dek. Makanya dia ikut ke sini."

Mama tersenyum antusias. "Mau bicara sama Lili, ya? Silakan, Tante sama Om masuk ke dalam dulu." Mama segera beranjak sembari menarik Papa. Begitu juga Bang Gandra, sempat berdehem beberapa kali sebelum turut menghilang.

Mukaku langsung melongos begitu saja. Tanpa mau mengajaknya bicara atau mengajaknya bergabung denganku, tatapanku hanya tertuju lurus pada tanaman hias milik mama. Mulutku terkunci rapat tak ingin mengeluarkan suara sepatah kata pun.

Di kursi sebelahku terasa pergerakan. Aku melirik sekilas dan ternyata itu ulahnya. Aku tambah berdecih tidak suka. Beraninya dia duduk tanpa kupersilakan.

Dia berdehem pelan. "Anna ..." lirihnya, kecil sekali tapi aku menangkap dengan jelas. "Mau bicara sebentar sama Mas?"

Tak kujawab. Kedua kakiku saling menyilang lalu mengayun-ayunkannya dengan cuek. Aku bersenandung seolah tidak ada siapa-siapa di sampingku.

"Kamu masih seperti dulu," katanya terkekeh. Lalu entah sengaja atau tidak, sisi jari kelingkingnya bersentuhan dengan sisi jari kelingkungku, sampai aku berjengit kaget dan langsung melotot ke arahnya.

"Maaf, Anna," ucapnya dengan tatapan yang sedikit sayu.

"Kenapa Mas Rendra mau sama aku?" tanyaku ketus. Walau tak suka, aku tetap bicara sopan padanya. Karena dia jauh lebih tua dariku.

Mendadak Mas Rendra jadi kikuk. "Mas sudah menyukaimu sejak lama, Anna. Sejak kamu masih ... setinggi ini." Dia menggambarkan batasan pada tubuhnya, yaitu di bagian atas perutnya.

Aku langsung melongo. Lagi-lagi dibuat syok oleh orang yang sama. Raka Narendra Mahawira itu ternyata ... SEORANG PEDOFIL!

***

Bagaimana?

Next or lanjut?

Duda Ganteng Itu Suamiku (Completed)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora