Layaknya Senja

19 2 0
                                    

Kentaro mulai menyadari bahwa petang ini senja merangkak begitu cepat tak seperti biasanya. Ditambah dengan balutan awan hitam yang tebal di atas sana membuat Kentaro mau tak mau harus menyeret kakinya untuk pergi dari gedung terbengkalai itu. Tangannya yang bebas mengambil ranselnya yang tergeletak di sofa lusuh karena termakan waktu.

Sebelum beranjak, ia menyempatkan untuk memandang langit jingga itu sekali lagi. Hatinya mencelos merasakan gemuruh dahsyat di balik dadanya. Ia memejamkan matanya untuk kembali merasakan kehadiran seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya.

Suara halus itu pun masih benar-benar dapat didengarnya dengan jelas. Pula bersama dengan genggaman tangan yang dahulu pernah terpagut erat menenangkan jiwanya.

Untuk kesekian kalinya ia harus terlempar pada setiap kepingan kenangan yang tak ingin terhempas nan enyah.

"Ish, kak Kentaro selalu saja terlambat,"

Kentaro terkekeh mendapati sang adik yang menggerutu kesal karena ia pulang terlambat hari ini. Ia mengusap surai sang adik dengan sayang lalu memberikan cokelat pada sang adik agar tak merajuk dengan memajukan bibir mungilnya seperti saat ini.

"Maaf, kak Kentaro janji besok kakak pasti akan pulang tepat waktu."

Kanna tak tahan untuk tak tersenyum saat ini juga. Ia tertawa kecil karena sang kakak yang selalu bisa merayunya hanya dengan sebungkus cokelat manis kesukaannya. Kanna tersenyum pasrah dan mengambil cokelat di hadapannya itu dengan malu-malu. Kentaro yang gemas segera melayangkan cubitan pada pipi padat sang adik. Kentaro memang akan selalu sebahagia ini ketika bersama dengan adik kesayangannya.

"Sore ini kita lihat senja lagi, ya?"

Kentaro mengerjap pelan tak langsung menjawab permintaan mustahil yang keluar dari bibir adiknya. Ia menipiskan bibirnya lalu menatap wajah sang adik yang tengah berlumuran dengan cokelat. Buliran hangat dengan lancang mengalir menerpa pipi Kentaro dengan deras.

"Kak Kentaro?"

Kentaro menahan isak tangisnya untuk tetap teredam. Kanna tak boleh mendengarnya. Ia tak boleh menunjukkan bahwa sosok adiknya itu lemah dan tak berdaya. Jujur, Kentaro sangat sedih melihat kondisi adiknya yang sejak lahir tak dapat melihat indahnya dunia. Di lain sisi ia salut akan tekad sang adik yang tak pernah berlarut-larut dalam kenyataan pahitnya. Adiknya memang lebih kuat dari apa yang Kentaro pikir.

"Baiklah, sekarang kamu siap-siap. Mari, Kak Kentaro bantu."

Kanna mendecak kesal dan menggeleng pelan.

"Kak Kentaro lupa? Sekarang ada tongkat yang akan bantu aku. Kak Kentaro jangan khawatir."

Kentaro tertegun mendengar penuturan sang adik yang membuat hatinya terenyuh. Memang, seharusnya Kentaro tak sekhawatir ini. Adiknya merupakan sosok tangguh yang tak ingin menyulitkan orang lain. Ia bersyukur memiliki seorang adik perempuan yang sama sekali tak ingin terlihat lemah di hadapan orang terdekatnya sekalipun. Mungkin, Kentaro harus lebih banyak belajar kembali pada sosok adiknya yang tegar itu.

Kanna berjalan dengan tongkatnya mencari keberadaan sang kakak. Kentaro dengan sigap menggenggam tangan sang adik. Kanna melemparkan senyum kecilnya lalu memeluk lengan sang kakak dan menurut saja saat Kentaro menuntunnya. Kentaro benar-benar terenyuh sedari tadi menangkap senyuman manis yang membingkai wajah mungil sang adik. Entah mengapa hati Kentaro pun ikut bahagia memandangnya. Ia percaya, Kanna akan selalu tersenyum lepas seperti ini walau dengan kegelapan yang selamanya akan menyelimuti hidupnya.

"Kak Kentaro, apa sekarang mataharinya sudah tenggelam?"

Pertanyaan polos yang keluar dari bibir sang adik membuyarkan lamunan Kentaro dengan sempurna. Tangannya dengan gemas mengacak rambut Kanna dan sesekali mengecup puncak kepala sang adik dengan sayang.

"Belum, sebentar lagi pasti akan tenggelam."

Kanna tersenyum dan mengangguk kecil. Lalu kembali memakan cokelat manis di tangannya. Kentaro menghela napas gusar. Mengapa ia harus selemah ini melihat keadaan sang adik? Kanna sendiri tak pernah mengeluh apalagi menyerah pada kehidupan pahitnya. Ia benar-benar merasa bodoh karena selalu merasa bahwa Kanna tak bisa melewati setiap ujian yang diberikan Tuhan pada adiknya.

"Kak, kenapa senja selalu pergi? Memangnya ia tidak tahu bahwa banyak orang yang tak ingin ia pergi."

Pertanyaan itu mengapa membuat sesuatu di balik dada Kentaro mendadak terasa sakit? Pertanyaan yang pernah terbesit dalam pikirannya juga. Untuk apa pergi? Apa semua hal harus mengalami fase kepergian? Apa Kanna juga akan meninggalkan dirinya?

Kentaro membasahi bibir bawahnya.

"Mungkin, karena senja ingin merasa dirindukan oleh para pengagumnya. Termasuk kita." Jawab Kentaro sembari menerawang menatap temaram yang kini mulai menampakkan keindahannya.

"Berarti sama halnya dengan senja, jika aku pergi nanti. Itu artinya aku ingin dirindukan oleh Kak Kentaro. Benar begitu?"

Kanna terkekeh di akhir kalimatnya. Namun, Kentaro mengerjap menatap wajah sang adik dengan perasaan yang seakan-akan tatapan itu tak lama lagi akan sirna. Ada apa dengan hatinya saat ini? Mengapa senyuman adiknya terasa akan hilang dalam waktu yang dekat?

Tidak mungkin, adiknya akan selalu di sini bersamanya.

Ia takkan pergi layaknya senja. Semoga saja begitu.

Hujan deras yang mulai turun mengguyur kota Tokyo sama sekali tak membuat Kentaro bergeming di tempatnya. Isak tangisnya seolah teredam oleh derasnya hujan yang sukses membuatnya basah kuyup. Suara gemuruh petir seakan bersahutan membersamai isakan tangis Kentaro yang kian menjadi.

Tak ada yang mengerti rasa sesak yang menyelimuti dirinya saat ini. Seusai insiden memilukan itu menimpa dan merenggut nyawa Kanna, Kentaro benar-benar terpukul atas kepergian adik perempuan satu-satunya itu. Andai, Kentaro mampu menjaga Kanna dengan baik Kanna takkan pergi untuk selamanya.

"KANNA!" Teriakan Kentaro memandang pilu sosok adiknya yang terkapar mengenaskan bersimbah darah.

Tangan Kentaro bergetar mendekap gadis yang kini masih setengah sadar meringis kesakitan. Kentaro bahkan sudah tak memerdulikan pakaian atasnya yang sudah berlumuran darah. Kanna mengerjap lemah hingga benar-benar tak berdaya dalam dekapan kakaknya.

"KANNA!"

"Kenapa kamu pergi? Apa kamu benar-benar ingin dirindukan oleh kakak?"

Kentaro mengusap wajahnya yang basah dengan kasar. Terduduk dengan menjadikan lututnya sebagai tumpuan. Ia kembali menangis, kali ini dengan suara yang teramat lirih sembari terus meracau bahwa ia sangat merindukan kehadiran Kanna yang selalu menemaninya menjemput senja yang indah di ufuk langit barat. Saat ini, Kentaro ingin sekali merengkuh tubuh mungil sang adik untuk menumpahkan kerinduannya yang kian membuncah.

Kini, apa ia boleh meminta hal mustahil itu terjadi?

Layaknya senja, Kanna benar-benar ingin dirindukan olehnya.

***

Nasyid Syidah's story in your area!

Hulla, ini ff pertama aku

Monmaap aja nich, aku tidak jatuh cinta sebenarnya dengan yang berbau ff.

Jadi maapin kalo jauh dari kata sempurnaaa, jiaaaaaah.

One Shoot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang