Beberapa minggu sebelum kenaikan kelas 8, aku pun menyadari ada hal ganjil yang terjadi dengan sekitarku.

:)

Aku kerap menemukan emotikon senyum itu di sekitarku.

Mulai dari serpihan kapur di lantai, buku pelajaran, hingga kertas ujianku. Emotikon senyum ... hm ... tentu saja aku akan lebih tertarik jika seandainya itu adalah emotikon hati, bukan senyum.

Semula, kuputuskan untuk mengabaikan emotikon itu, tetapi lama kelamaan keadaan menjadi sangat buruk. Mendadak aku menemukan emotikon senyum itu hampir di manapun. Di uap jendela bus ketika hujan, di coretan aspal tempat anak-anak komplek rumahku bermain rumah-rumahan, bahkan sampai noda di cermin kamar mandiku.

Puncak ketakutanku adalah ketika ada kucing yang ditabrak lari tepat di depan rumahku, lalu emotikon senyum itu muncul kembali di kaca jendela kamarku dengan goresan darah.

"Arisa, kayaknya kamu ketempelan, deh."

Mataku langsung melotot ngeri, saat Kak Reza yang lewat di koridor dan tiba-tiba menghampiriku hanya untuk mengatakan demikian.

"A-ada yang ngikutin aku ya, kak?" tanyaku agak ketakutan.

"Iya. Energinya gede pula. Dari ujung sana aja kerasa banget."

Aku tidak berani menanyakan detail apalagi wujudnya. Yang kutahu, tubuhku tiba-tiba saja menjadi sangat lemas, entah efek ketempelan atau memang karena aku terlalu takut untuk mempercayai hal yang sebenarnya terjadi padaku.

"Nggak apa-apa, Sa, nanti pulang aku bisa bawa kamu ke tempat biasa aku bersihinnya," ucap Kak Reza yang membuatku agak tenang.

Pengalamanku saat dibersihkan tidak akan mungkin kulupakan dengan mudah. Kak Reza membawaku bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Dia memintaku menceritakan keluhan yang terjadi dengan tubuhku, kujawab dengan jujur bahwa sebenarnya aku tidak terlalu merasakan adanya perubahan.

Sebenarnya hal paling lama yang kami lakukan adalah diam. Aku tidak tahu apa yang wanita itu lakukan, tetapi dia hanya menggenggam tanganku sambil memejamkan mata. Kurasa itu berlangsung hampir lima belas menit.

Selanjutnya, wanita itu memintaku meminum air. Dia juga mengambil kain, mengibaskannya ke tubuhku beberapa kali hingga akhirnya aku merasakan tubuhku menjadi sangat ringan.

"Makhluknya sudah pergi," ucap wanita itu yang membuatku akhirnya bisa tersenyum lega. "Kamu beruntung karena segera menyadari kalau kamu ketempelan, kalau keadaan sudah sangat serius, Ibu tidak bisa membantumu lagi."

Aku membungkukkan badan, "Terima kasih, Bu."

"Yang nempelin kamu tadi energinya memang kuat banget, lho. Berdiri di dekatmu saja sudah merinding. Masak kamu nggak sadar dengan energi sekuat itu?"

Dalam perjalanan pulang waktu itu, aku akhirnya mengaku pada Kak Reza bahwa sebenarnya aku tidak indigo. Hantu yang ada di kelas juga bisa kebetulan bisa sama seperti yang ada di mimpiku.

"Terkadang mereka memang memberikan visi mereka kepada orang-orang, tapi itu butuh energi yang besar." Kak Reza menjelaskan kepadaku, "Memang benar mereka ada, tetapi jika mereka tidak ada dan kalian membicarakannya, mereka akan tetap datang."

Aku mengangguk mengerti.

"Mungkin yang pertama, dia bisa diusir, tapi kita tidak tahu yang kedua atau yang ketiga. Kamu harus lebih hati-hati. Membicarakan mereka adalah undangan."

Kejadian hari itu membuatku kapok, aku tidak lagi berani membicarakan tentang hantu.

Masalahnya, egoku tampaknya tetap mengalahkan ketakutanku. Aku tidak jujur pada teman sekelasku tentang keadaanku, mereka terus menuntut penjelasanku dan finalnya kuputuskan untuk menakut-nakuti mereka dengan perkataan yang sama persis seperti yang diucapkan Kak Reza.

Dan itu efeknya cukup terlihat, karena mereka tidak pernah lagi berani menanyakan tentang itu.

"Membicarakan mereka adalah undangan."

.

.

Setelah renungan panjang tadi, akhirnya itu yang kuucapkan ketika teman sekelas baruku kembali menanyakan tentang keberadaan mereka.

Kalimat itu sederhana dan juga menakutkan.

Ya, mungkin selain harus menghentikan pertanyaan mereka, aku juga harus menghentikan egoku yang tinggi ini. Lain kali ketika masa kuliahku, jika ada yang bertanya, aku harus bilang bahwa aku bukan indigo.

Kuhela napasku panjang-panjang. Sebelum teman SMA-ku tahu perihal itu, aku hanya dianggap sebagai bayangan di kelas. Kali ini perhatian kembali datang kepadaku, jika aku mengakui semuanya sekarang, aku pasti akan kembali menjadi bayangan kelas yang membosankan.

Kuputuskan untuk mengeluarkan novel dari laciku dan mencari pembatas buku yang menandai halaman terakhir aku membaca.

Tubuhku menegang saat kudapati coretan pena merah terlukis di halaman bukuku.

:D

GenreFest 2019: Paranormalحيث تعيش القصص. اكتشف الآن