Waringin

215 30 3
                                    

Tap tap ... Tap tap ... Tap tap... .

Suara sol sepatunya menggema di sepanjang lorong. Tanpa peduli sepelan apa murid laki-laki itu berusaha melangkah, dinding dan lantai dingin sekolah saat sepi selalu berhasil memperkuat bunyi dan memantulkannya ke segala arah.

Di luar belum terlalu gelap, tetapi dia tidak juga bertemu seorang pun sedari tadi. Makin jauh melangkah, suasana semakin seram. Matanya mulai basah. Pada titik itu dia sudah tidak tahu lagi, mana yang lebih baik, antara: bertemu rombongan perundungnya atau terkejar oleh siapa pun yang sedang membuntutinya sedari tadi.

Tap tap ... Tap tap ... Tap tap... .

Kali ini bukan ketukan suara sepatunya. Dia yakin itu karena dia sedang berusaha sembunyi, menahan segala bunyi yang mungkin bocor keluar sembari menjejalkan tubuh kurusnya ke dalam lemari tempat sapu dan gagang pel biasa disimpan. Decit samar ayunan daun pintu di ujung lorong tak jauh dari tempatnya terdengar seirama dengan hembusan angin senja. Dia sengaja membiarkan pintu terbuka, berharap pengejarnya mengira dia sudah keluar.

Dari celah pintu lemari terlihat bayangan melintas menutupi cahaya lampu lorong. Dia menahan napas.

Cekrek!

Bayangan itu pastilah sudah menarik tuas gagang pintu lemari. Jangungnya berdegup semakin kencang. Dengan suara derit engsel yang memilukan, pintu lemari terbuka perlahan. Matanya terbelalak melihat sosok bocah yang berdiri di hadapannya.

"...Padahal sudah kuberi tahu ... Kenapa kakak tetap datang?"

***ooo000ooo***

Waktu baru saja menunjukkan pukul 2:30 siang. Langkah-langkah kecil sepatu loaf cokelatnya menimbulkan ketukan ringan berirama di jalan setapak dari lempengan batu pipih. Hari ini juga remaja laki-laki itu meninggalkan ruang kelasnya tepat saat guru mengakhiri pelajaran. Dia tidak mau ambil resiko. Lebih baik diteriaki oleh guru daripada terjebak anak-anak kejam itu.

Beberapa bulan terakhir ini dia selalu menghindari "teman-teman" sekelasnya. Dia merasa lebih baik sendirian saat pelajaran daripada membuat runyam suasana rumahnya ketika pulang dengan wajah sembab dan kehilangan peralatan sekolah.

Jalan setapak berakhir setelah dia berbelok tajam di balik tembok perpustakaan sekolah. Tempat di mana ada gazebo, pondok kecil tanpa dinding dari kayu. Remaja laki-laki itu bisa duduk-duduk santai, meluruskan kaki di lantai—yang berupa panggung dari papan kayu. Sepatu loaf-nya dia simpan rapi di anak tangga terbawah, dari 4 pijakan yang ada. Tidak ada meja di situ jadi clipboard yang ada dalam tasnya menjadi alas untuk menulis.

Dia menyukai taman mungil itu. Agak berdebu saat musim kering, memang. Namun berkat sebuah pohon beringin rindang yang menaungi atap gazebo, angin yang berhembus terasa sejuk.

Masih ada waktu luang hingga jadwal bimbingan belajar yang dia ikuti. Saat yang tepat untuk menikmati bekal sembari membaca atau mengerjakan PR-nya. Berkat keberadaan pohon beringin yang konon katanya angker itu, tidak akan ada yang mengganggunya di situ.

Baginya saat ini kemungkinan bertemu dengan hantu jauh lebih mending daripada manusia-manusia yang kebetulan sekelas dengannya. Hanya gara-gara nilainya mengalahkan murid paling populer, seisi kelas jadi memusuhinya.

"Hei!" sapa sebuah suara kekanak-kanakan, riang.

Dia tidak menoleh tetapi bibirnya menyunggingkan senyuman. Dia tahu yang datang bukan para pengganggunya. Sudah dua minggu terakhir sahabatnya itu datang menemani . Bocah aneh yang terlihat beberapa tahun lebih muda darinya.

"Bikin PR lagi, Kak? Rajin amat!" ujar pemilik suara riang yang sama seraya memanjat tepian panggung gazebo, alih-alih menapaki tangga. Alas kakinya dia tendang entah ke mana. Sekejap saja tubuh lincah bocah itu sudah berpindah dan berguling-guling santai di lantai papan kayu.

GenreFest 2019: ParanormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang