2.

15.2K 521 11
                                    

Perempuan itu sudah pergi dengan membawa anaknya. Pergi dari hidup mereka. Ferdy menceraikan Hana sehari setelah peristiwa menyakitkan itu.

Meski demikian, bagi Isha itu tidaklah melegakan. Kehadiran seorang anak tetap akan mengikat ke dua orang tuanya selamanya.

"Mas memikirkan apa? Perempuan itu, bukan?"

"Anaknya."

"Memikirkan anaknya tidak akan bisa tanpa memikirkan ibunya. Katakan sejujurnya, Mas mencintai perempuan itu?"

Ferdy tidak menjawab. Kamar tidur yang lapang dan sejuk oleh pendingin ruangan seketika terasa sesak. Isha duduk di sisi suaminya, menuntut jawaban.

Di bawah tatap terluka istrinya, Ferdy membuat pengakuan.

"Aku akan berterus terang padamu, Isha. Kuakui, setelah lama bersama, rasa sayang itu muncul. Tapi cinta adalah sesuatu yang berbeda. Aku tidak pernah memberikan apa-apa padanya, jika yang kau maksud adalah hati."

Gigi Isha gemeretuk menahan geram. Urat urat di keningnya membiru dan menegang, keringat dingin membanjir hingga telapak tangannya terasa basah.

"Apakah mencintai atau tidak ada bedanya? Kalian bersama selama tiga tahun!" tukasnya tajam, nyaris membentak.

Ferdy menunduk. Ia memang bersalah.

"Aku butuh waktu, Mas!" Isha berdiri dan berjalan ke sisi jendela. Pandangannya jauh menerawang sementara matanya mulai basah oleh air mata. "Mas tidak tau betapa sakitnya aku sekarang! Bahkan seluruh pori-pori di tubuhku merintih menahan nyeri!" 

Ia menambahkan,
"Aku berharap, Mas, aku berharap tidak seorang pun akan merasakan sakit yang seperti ini! Jika kau yang merasakannya, aku yakin kau lebih suka mati saja! Percayalah, sakit ini nyaris membunuhku!"

Ia menggeleng gelengkan kepala bagai petinju yang terkena pukulan lawan. Ia tidak mengerti bagaimana bisa dirinya tertipu sekian lama.

"Aku butuh waktu, Mas! Untuk saat ini, tolong jangan pedulikan aku! Jangan bicara denganku! Jangan sentuh aku!" Isha mendorong suaminya keluar kamar, lalu menutup pintu dengan keras.

Namun betapapun menyakitkan, Isha tau ia tidak akan pernah menceraikan Ferdy. Atau meski Ferdy akan berselingkuh sepuluh kali lagi, Ferdy tidak akan pernah menceraikannya. Mereka telah menjadi sepasang sahabat dalam pernikahan yang sudah berjalan belasan tahun ini. Sahabat tidak meninggalkan sahabatnya, meski kadang kadang mereka menyembunyikan sesuatu yang menyakitkan.

Seperti yang dilakukan Ferdy terhadapnya.

Isha menghabiskan berminggu minggu untuk menenangkan diri. Ia hanya mengadu pada Tuhan, menghiba dalam doa-doa panjang penuh tangis di tengah malam, memohon kekuatan. Mereka bertemu tiap pagi dan malam hari di meja makan, saling diam dan tanpa interaksi sama sekali. Ke tiga putra mereka memandang satu sama lain dengan tanda tanya.

Selama masa itu, Isha dapat melihat sorot mata penuh permohonan maaf ditujukan padanya. Pandangan penuh harap itu berasal dari Ferdy dan anak-anak mereka, yang meski tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, namun bisa merasakan ketegangan luar biasa antara Ayah dan Ibunya. Mereka menjadi pendiam.

Sekali waktu, Ferdy mengetuk pintu kamarnya. Ketika melihat pria itu, Isha berkata,
"Aku kangen padamu, Mas. Aku tau kau juga. Tapi aku jijik membayangkan kau menyentuhku. Beri aku sedikit waktu lagi,"  lalu ia menutup pintu, tidak membiarkan suaminya masuk.

Di lain waktu, saat Isha sedang memasak, Ferdy berdiri menghampirinya. Di waktu waktu sebelumnya, bisa bersama sama dengan suaminya di dapur adalah moment yang menyenangkan. Isha memasak, sedangkan Ferdy akan berdiri di dekatnya, bermaksud membantu, walau seringkali dirinya hanya merepotkan. Saat itu Isha akan membuatkan segelas teh dan meminta suaminya duduk mendengarkan Isha bercerita panjang lebar tentang apa saja. Ferdy akan menimpali seperlunya, atau hanya mendengarkan dengan rupa tertarik. Meski Isha tau, semua itu hanya basa basi, tapi ia senang sudah didengarkan.

Semua itu dulu. Dulu. Sebelum perempuan itu muncul dan menghancurkan segalanya. Ketika kini Ferdy datang dengan harapan yang sama, Isha berkata,
"Aku belum bisa memandangmu tanpa rasa sakit di hati, Mas. Jadi kuharap, menjauhlah dariku."

Rumah besar mereka seperti mati. Tidak ada tegur sapa, canda tawa. Isha dan Ferdy tenggelam dalam luka masing masing. Isha terengah-engah dalam luka dan sakit hati, Ferdy oleh penyesalan yang semakin dalam setiap harinya. Belum lagi saat memikirkan Ardy yang sekarang entah bagaimana nasibnya.

Jika bicara mengenai Isha, penyesalan Ferdy sedalam lautan. Isha adalah wanita satu dalam seribu. Ia telah mengorbankan kariernya yang gemilang demi selalu berada di sisi suaminya dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Ia tidak pernah banyak menuntut serta tau benar menempatkan suaminya pada posisi yang nyaman.

"Akulah yang brengsek!" keluh Ferdy dalam penyesalan.

Seandainya saja malam itu ia menolak ajakan Rudy untuk main ke kafe Om Jack, mungkin dia tidak akan bertemu Hana dan terjebak. Pertemuan tiga tahun sebelumnya.

Hana adalah pelayan baru di Pinkies Cafe. Dia memang cantik, ranum selayaknya wanita dua puluh tahun. Ferdy tidak mampu mengingat detil kejadian setelahnya, kecuali bahwa paginya ia sudah berada di ranjang yang sama dengan wanita yang bukan istrinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Ferdy setengah panik. Dia melihat di mana dirinya berada. Kamar kecil dan sederhana yang tidak dikenal, pakaian yang berserakan di lantai, serta Hana yang terisak dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Sinar matahari menerobos kisi kisi jendela. Ya Tuhan, berarti semalaman dirinya di sini, bersama gadis ini! Apa yang telah mereka lakukan?

Potongan potongan kejadian itu dihadirkan dalam ingatan yang samar samar, buram tanpa suara. Ia dan Rudy yang sama-sama mabuk, langkah-langkah berat dan sempoyongan saat menapaki anak anak tangga, memasuki kamar yang ia pikir kamarnya, menikmati malam bersama Isha yang nampak jauh lebih muda.

Ya Tuhan!!

Ferdy bangkit. Seketika matanya terpaku pada bercak darah di ranjang yang mereka tiduri bersama. Ia merasa bagai beku. Dengan terburu buru ia memakai pakaian, lalu menghambur keluar.

Ia masuk ke mobil, berusaha menenangkan diri.

Alkohol sialan! Minuman itu telah menjebaknya! Sekarang ia mengerti mengapa Tuhan melarangnya mendekati benda laknat itu, karena mereka yang tidak berdosa yang terpaksa menanggung akibatnya!

Ia bukan peminum, bukan pula pemain perempuan. Namun malam ini ia telah melakukan keduanya sekaligus! Satu langkah keliru yang memberi banyak akibat, yang akan ia bayar mahal!

Ferdy menemui Rudy dan marah-marah. Namun pria itu malah tersenyum simpul, "Hadiah untukmu, karena kau sudah menolongku! Berkat kau, aku mendapat proyek itu! Asal kau tau, Hana itu anak baru, belum pernah bertemu siapa-siapa. Tantenya sendiri yang menjualnya pada Om Jack dengan harga tinggi. Kau beruntung mendapatkannya pertama kali. Sudahlah Bro, santai saja! Nanti kau juga terbiasa!"

Ferdy tidak bisa melupakan pengkhianatannya. Tidak mampu memandang Isha tanpa rasa bersalah. Saat pulang ke rumah, ia melihat bayang hitam di bawah mata wanita itu.

Hebatnya, Isha tidak mencak mencak sebagaimana istri Rudy saat suaminya itu tidak pulang. Isha menyambutnya seperti biasa, menyiapkan makanan dan meletakkan sepasang pakaian ganti untuk suaminya di atas ranjang.

"Aku ke Bandung. Maafkan aku tidak menelpon. Ponselku lowbatt." Ferdy memberi serangkaian alasan, berjuang tetap memandang wajah Isha saat mengucapkan serangkaian kebohongan busuknya.

"Lain kali usahakan tetap memberi kabar. Aku hanya kuatir Mas kenapa-napa," katanya lembut, membuat Ferdy semakin diremas rasa bersalah.

DILEMA DUA ISTRIWhere stories live. Discover now