Coda

1.8K 220 38
                                    

Ayah menganggap apa yang terjadi padanya, ketika ia direnggut secara paksa dari dunia, adalah dampaknya melanggar aturan. Ketika berusaha mendapatkan Ibu, Ayah telah melanggar satu aturan, yakni kehilangan kesabaran untuk menunggu. Si Gadis Jeruk memberi kesempatan untuk Ayah bisa mendapatkannya, namun dengan syarat, Ayah harus menunggu hingga si Gadis Jeruk datang kepadanya dengan sukarela. Dan mereka akan bisa bersama untuk waktu yang sangat lama. Namun, Ayah tak bisa memenuhi syarat itu. Ia berakhir mencari si Gadis Jeruk, dan meski berhasil menemukannya dan berakhir bersama, kesalahan itu membekas di benak Ayah. Dan bagi Ayah, sesuatu yang melanggar ketetapan alam adalah suatu pertanda buruk.

Pernah sekali, ketika Ayah dan Ibu akhirnya bisa bersama, sama-sama mereka melihat bangkai merpati putih yang terbaring kaku di dasar parit. Ayah tahu bahwa itu sesuatu yang salah. Merpati tidak seharusnya ada di sana, makhluk itu tidak pernah ditakdirkan untuk ada di sanaㅡapalagi bangkainya, dan itu adalah suatu aturan alam yang terlanggar. Sejak kejadian tersebut, Ayah percaya bahwa bangkai merpati di dasar parit adalah suatu pertanda buruk, dan semua terjawab ketika ia jatuh sakit hingga akhirnya meninggalkan aku dan Ibu.

Namun, aku tidak pernah mengharapkan hal yang sama untuk terjadi pada kamiㅡaku dan Donghyuck. Entah aturan apa yang telah kami langgar sehingga Donghyuck harus ditarik dari tamasya di bumi ini segera, lebih cepat dari waktuku. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk berdamai dengan kondisi ini. Duniaku hancur ketika ia memberitahuku pertama kali. Dengan wajah getir, ia menyerahkan berkas yang tak kusangka akan ia miliki, kertas diagnosis dokter. Dan bukan influenza yang menyerangnya, tetapi hal yang lebih buruk dari itu. Hal yang selalu membuatku menangis ketakutan setiap saat, takut apabila ia direnggut ketika aku memeluk tubuhnya penuh sayang, takut apabila mata bulatnya tak lagi menatapku ketika pagi menjelang. Aku sangat takut karena aku sangat mencintainya.

"Kenapa ini terjadi pada kita?" tanyaku sambil memeluk tubuhnya yang semakin rapuh hari demi hari, memberikan kehangatan lebih yang ia butuhkan. "Katakan pada rajamu bahwa kau harus menemaniku lebih lama. Jangan kembali ke hutan itu dan meninggalkanku."

Tangan dingin Donghyuck mengusap wajahku. Jari-jemarinya terasa kaku dan kurus, seolah aku merasakan tulang belulang yang mengusapku, bukan tubuh indah milik bayi rusa manisku. Aku meraih tangan itu, menyentuhkannya ke permukaan bibirku yang bergetar, mengecupnya lembut. Bau obat memancar dari sana dan aku bisa melihat gurat kesakitan di wajah Donghyuck. Ia tidak menyukai ini, ia tidak menginginkan proses menyakitkan ini.

"Aku tidak mau melihatmu seperti ini, Mark," ucapnya. "Cobalah berdamai dengan keadaan, berdamailah dengan kondisiku."

"Bagaimana aku bisa, Donghyuck?" Tanpa kusadari, suaraku meninggi. Tangisku pecah. "Kau duniaku dan mereka berusaha memisahkanku darimu. Mereka berusaha merenggutmu, seperti mereka merenggut ayahku. Aku tidak bisa memilikimu hingga akhir hayatku."

Donghyuck mengerjapkan mata beberapa kali, seolah menahan diri untuk tak sampai menumpahkan kesedihan yang sama. Di saat seperti ini, salah satu dari kami haruslah bersikap kuat, dan ia memilih untuk mengambil peran itu. Donghyuck berusaha menjadi kuat untukku.

"Kau ingat apa yang ayahmu katakan sebagai penyesalan, bahwa dia tidak bisa berdamai dengan keadaan? Seandainya dia bisa berdamai dengan kondisinya saat itu, tidak menolak apa yang sudah semesta tetapkan untuknya, ia bisa pergi tanpa penyesalan dan meninggalkan kau dan ibumu tanpa penyesalan pula. Aku tidak ingin melakukan apa yang ayahmu lakukan, Mark. Aku berusaha berdamai dengan keadaanku dan aku ingin kau pun berlaku demikian. Aku tidak mau pergi dan menyisakan penyesalan di sini." Ia meletakkan telapak tangannya di dadaku, tempat di mana jantungnya berdetak untuknya. "Karena bagaimanapun, kau tahu bahwa aku mencintaimu dan akan terus begitu. Jangan tinggalkan perasaan hitam di hatimu karena aku."

"Aku ingin hidup dengan bahagia, Donghyuck. Hidup dengan 'kita', selama mungkin. Aku tidak siap akan situasi seperti ini. Tidak sekarang."

"Lantas apa yang bisa kita lakukan, sayangku?" Donghyuck kehilangan pertahanan dan ia membiarkan air mata tumpah di hadapanku. Kami berdua menangis malam itu, menangisi diri sendiri, menangisi keadaan dan kondisi kami.

***

Hari itu datang sebelum aku bisa berdamai dengan keadaan. Aku melihat Donghyuck yang hanya mampu menatapku lemah dari atas ranjang, dengan beragam alat medis yang terpasang di tubuhnya, menopang kehidupannya. Namun tidak akan lama, kata dokter.

Aku terus menunduk, tidak mampu membalas tatapan Donghyuck, mengabaikan panggilannya yang terus berusaha memancingku untuk membalas tatapannya. Kami bagai orang asing saat itu, setidaknya aku. Ketegaran yang kuberlakukan ternyata salah. Aku bersikap seolah mengabaikannya, seolah tidak peduli pada kondisinya, seolah aku tidak menyayanginya. Seolah karena apa yang menimpanya, aku menjadi orang yang paling membencinya sedunia. Meski begitu, Donghyuck tidak menyerah.

"Jangan buat aku meragukan ucapanmu, Mark."

Aku menggigit bibirku, menggeleng beberapa kali.

"Kumohon, pegang tanganku. Supaya aku bisa terus mengingatmu dan menceritakan pada Dia yang merenggutku, bahwa kau adalah sosok terbaik yang pernah Dia berikan padaku. Meski aku tidak bisa memilikimu dalam waktu yang lama, namun setidaknya aku bisa merasakan kehangatan tanganmu di saat-saat terakhirku. Aku ingin jadi milikmu hingga akhir hayatku, Mark. Kumohon."

"Kau milikku, Donghyuck." Aku mendekatkan diri ke arahnya, menggenggam tangan ringkihnya dengan hangat dan penuh cinta, serta mengecup keningnya. Tangisan tak pernah bisa kutahan, dan meski Donghyuck tersenyum, aku bisa melihat kilatan air di matanya. Sekali lagi, ia berusaha kuat untukku.

"Aku mencintaimu, sayangku. Terima kasih."

Donghyuck adalah segalanya untukku dan ia benar-benar membuktikan diri bahwa ia memang segalanya untukku. Dia adalah cintaku, dia adalah penguatku dan dia adalah alasan dari rasa sakitku. Rasa sakit itu muncul karena aku sangat mencintai dan menyayanginya, dan rasa sakit itu semakin bertambah sebab aku tahu bahwa ia juga sangat mencintaiku hingga akhir hayatnya.

Aku memperhatikan wajah cantik Donghyuck yang tak lagi memancarkan sinar magis yang selalu menjadi ciri khasnya, lalu beralih pada tanganku yang masih menggenggam tangan ringkihnya. Tubuh itu kini lebih mirip bongkahan kayu ketimbang rusa yang lincah, dan aku menyadari bahwa sejatinya aku telah kehilangan dia, Donghyuck-ku, peri dan rusa manisku, lebih lama dibanding apa yang selama ini kupercaya. Aku telah kehilangan Donghyuck bahkan sebelum aku memilikinya, atau bahkan sebelum aku berhasrat untuk memilikinya. Karena, Donghyuck adalah milik alam semesta, itulah mengapa ia adalah makhluk paling indah yang pernah kutemui.

Ayah bertanya dalam suratnya, apabila ia berdamai dengan kondisi saat itu, akankah semua jadi lebih baik? Aku tidak tahu, sebab kini, aku berada di posisi Ayah. Aku tidak bisa berdamai dengan keadaan, aku tidak bisa berdamai dengan apa yang menimpa Donghyuck, dan aku tidak bisa berdamai dengan apa yang selanjutnya akan terjadi di hidupku tanpanya. Kini, aku tidak akan mendengar kata 'kita' yang keluar dari mulut Donghyuck lagi. Dan semua lenyap, meninggalkan penyesalan di hatiku.

Mungkin, aku pernah menghakimi Ayah sebab tak mengerti derita seperti apa yang harus ia tanggung ketika dipaksa meninggalkan Gadis Jeruk-nya. Namun kini, aku mengerti. Sebab aku dihadapkan pada realitas yang tak kuingini; berpisah dengan Donghyuck. Tetapi, aku tahu bahwa bukan ini yang Donghyuck inginkan, tidak pula ayahku. Mereka tidak ingin meninggalkan noda hitam di hatiku. Itulah mengapa ayah meninggalkan pertanyaan untukku di surat itu: "Apabila kamu, bermiliar-miliar tahun sebelum bumi benar-benar terbentuk, ditawarkan untuk menjadi satu dari berjuta-juta jiwa yang mendapat tiket istimewa untuk bertamasya di sana, akankah kamu menerimanya? Dengan konsekuensi kesadaran bahwa apa yang kamu miliki bisa direnggut sewaktu-waktu."

Aku akan mengutip paradoks Ayah kali ini: apabila aku bisa mendapat kesempatan untuk memiliki Donghyuck hingga akhir hayatnya, maka ya. Aku akan mengambil tiket itu.

FIN

Terima kasih sudah membaca.

[✔] Opus 9 No. 2 [Bahasa]Where stories live. Discover now