Head

1.4K 212 28
                                    

Betapa aku tertawa sambil mengumpati diri sendiri apabila mengingat peristiwa malam di gerbong itu, malam pertama aku menatap dan mengangumi laki-laki itu dari dekat, malam pertama aku bisa menyentuh dan merasa telapak tangannya yang halus bukan main, serta malam pertama aku mendengar suaranya. Dan suaranya memenuhi ekspektasiku, begitu merdu dan membuatku semakin jatuhㅡmeski suara itu keluar untuk meneriakiku: "SINTING!"

Tetapi, semua terbayarkan. Tindakan berani dan bodohku, sebagaimana tindak berani dan bodoh Ayah ketika pertama kali berusaha mendapatkan Ibu, membuahkan hasil. Pertemuan pertama itu menuntunku pada pertemuan yang lain pada si bayi rusa. Aku sempat merasa pesimis bahwa ia akan menghindariku dan memandangku sebagai penguntit gila selamanya. Namun pada pertemuan ketiga, ia tersenyum padaku. Bukan senyuman lebar, melainkan lebih pada senyuman penuh sopan santun. Kami lebih sering bertemu di gerbong kereta di jam malam yang sama dan aku tidak pernah melihatnya lagi di restoran. Dan pada pertemuan kesekian, ketika ia tersenyum lebih ramah kepadaku, aku memenuhi tekad hati bahwa aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya. Sehingga... itulah yang memang aku katakan malam itu.

Ia lagi-lagi tampak seperti hendak meneriaku sinting, namun sadar akan konsekuensi sosial yang akan ia dapat, ia pun memilih bungkam dan hanya menatap tajam padaku. Bayi rusa itu menarikku keluar dari gerbong kereta di pemberhentian yang seharusnya bukan tempatku. Kami kemudian berdiri saling berhadapan di stasiun yang sepi. Aku tidak keberatan apabila akan diajak berdiri sepanjang malam apabila harus menatap wajah indahnya, memandang kulit cokelat keemasannya, serta rambut halusnya. Aku tidak keberatan untuk menelisik pantulan wajahku di bola matanya. Tetapi, si bayi rusa merasa keberatan sebab ia segera memalingkan muka.

"Aku tidak tahu apa maksudmu mendekatiku, tapi percayalah bahwa kau terlihat aneh," katanya.

Aku percaya. Lagi pula, apabila aku jadi dia, aku pun akan memandang diriku dengan aneh. Pemuda dengan pipi cekung, rambut kusut, bibir kering, bulu-bulu tipis di sekitar dagu yang tidak dibersihkan, serta kulit pucat kering tak terawat. Ditambah dengan sikap bagai psikopat tolol yang bermaksud memangsa korban secara terang-terangan. Aku pasti terlihat sangat bodoh dan rasa kesalnya kumaklumi.

"Maaf," ujarku. "Aku tidak bisa menahan diri. Aku terlalu...." Aku terlalu merindukanmu. Aku terlalu menginginkanmu.

"Apa yang kau inginkan?"

"Kau."

Lelaki itu terkejut. Dengan mata bulatnya yang membuka lebar, ia mematung menatapku, seperti rusa tersorot lampu; membeku. "Tuan, kau terdengar sangat cabul!"

"Aku menginginkanmu, tapi bukan dalam artian itu. Maksudku, aku juga menginginkanmu dalam artian itu, tapi aku lebih menginginkanmu untuk jatuh cinta padaku, seperti apa yang kurasakan untukmu." Sepertinya, aku terdengar bodoh.

Ia menghela napas. "Kenapa kau berusaha begitu keras? Aku bahkan tidak mengenalmu dan kau pun tidak mengenalku."

"Aku hanya tidak mau melewatkan kesempatan."

"Apa?"

"Aku tidak akan punya kesempatan tamasya untuk waktu yang lama, dan meski mungkin aku nantinya kehilanganmu atau kau yang kehilanganku, setidaknya aku telah mencoba. Setidaknya aku mengejar apa yang kuinginkan. Dan apa yang kuinginkan sekarang adalah kau," kataku. "Aku tidak mau jadi pengecut dan lari dari apa yang kuinginkan hanya karena takut akan masa depan. Biarlah masa depan menentukan apa pun yang ia inginkan untuk hidupku, tapi sekarang, semua adalah milikku."

Kami hening untuk waktu yang cukup lama setelah itu. Aku tiba-tiba membayangkan wajah Ayah, tersenyum bangga kepadaku sambil berkata bahwa aku mewarisi sifat besar yang ia miliki. Bahwa aku telah menemukan 'mata' untuk hidupku sendiri. Bahwa aku berani mengambil wewenang untuk menentukan jalanku sendiri. Entah seberapa aneh, seberapa bahaya, dan seberapa tak masuk akal jalan itu.

[✔] Opus 9 No. 2 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang