[Breathe]

848 68 7
                                    

People are people and sometimes we change our minds.

Tentang cara menemukan hidup.
——————

Angin yang baru saja berhembus menebarkan aroma plitur basah dari kursi kayu di dekatku. Warnanya cokelat gelap seperti batang sagu yang hampir busuk karena musim penghujan, tapi terlihat sangat serasi dengan warna pot dan pagar di halaman.

"Tiga," kataku saat melihat sebuah mobil angkutan kota warna merah yang ke tiga kalinya.

Seseorang dengan langkah yang diseret-seret mendekatiku, menyodorkan sebotol Harvey Nichols dingin. "Tetap saja aku yang menang. Mobil hitam lebih banyak dipakai."

"Tapi itu mobil pribadi."

Wanita itu mengacuhkan pernyataan yang sepertinya sudah kali kelima kukatakan. Tangannya kini sibuk membuka belitan tutup sampanye yang lain sambil meringis bersemangat dan membuat tulang pipinya terlihat lebih menonjol di balik kulit wajahnya yang terbalut riasan.

"Apa ada pekerjaan lain?"

"Tidak."

"Lalu ini?" tanyaku sambil melirik ke arah sebotol sampanye yang isinya masih utuh di atas pangkuanku.

Ia menenggak isi botol yang berhasil dibukanya. Langsung dari mulut botol tanpa ragu dan membuat beberapa tetes dari isinya mengucur di sudut bibir, menuruni dagu hingga lehernya yang kurus.

Napas besarnya berhembus tepat setelah ia meneguknya. Botol tadi ia letakkan di atas rumput sambil tertawa-tawa. Ia kini lebih terlihat seperti penduduk podium di akhir perlombaan Moto GP.

"Giliranmu."

"Nanti saja."

"Ayolah. Nestapa kali ini pantas kita rayakan." bujuknya sambil tertawa-tawa lebih kencang. Botol sampanye miliknya dilambungkan ke udara sebelum ditenggaknya lagi. Wanita ini tidak tanggung lagi niat gilanya.

Seharusnya, menurut jadwal harian, keberadaanku bukan di sini. Tapi di sebuah gedung bekas kantor pengairan daerah dekat kota. Berkalung kartu identitas, membawa sebuah pena dengan sejilid lembaran kertas yang bergariskan kotak-kotak tabel, menyeka keringat di dahi akibat terik matahari, atau mengerutkan dahi sambil memantau kinerja para kuli.

"Kata 'seharusnya' sedang jadi raksasa di otak kita."

Aku mengangguk membenarkan pernyataannya. Ia, meski kegilaannya hampir menguasai, tapi analoginya masih bisa diterima akal. Seperti yang terjadi pada malam-malam ia menghabiskan tiga botol soju. Semakin gila, semakin bijak pula kata-katanya. Mungkin ini jadi salah satu alasanku memaksanya menjadi seorang filsuf dibanding akuntan. Hanya saja, jika berkenaan soal hati, dia jadi bodoh sekali.

"Seharusnya begini. Seharusnya begitu. Raksasa benar-benar penguasa. Kejam tapi terlihat berwibawa. Keputusan bisa jadi salah, tapi tak ada satupun yang sanggup menyalahkan."

"Memaki, mungkin masih disanggupi."

Kali ini gilirannya yang mengangguk setuju dengan apa yang kukatakan. Wajahnya ia hadapkan ke langit, di mana bintang-bintang tak terlihat banyak akibat awan-awan tebal dari tadi sore.

"Hati bersalah, otak memaki. Otak bersalah, hati bagaimana?" Seolah-olah pertanyaan ini ia tujukan ke langit, mencari-cari jawaban yang menurutnya benar.

"Lu, aku nggak tau karakter hati. Apa ia sejahat otak jika ada yang bersalah?"

"Dasar. Rasakan sendiri, dong." katanya disusul dengan suara tawanya yang lagi-lagi terdengar semakin gila.

Sekian (TELAH RILIS)Where stories live. Discover now