[Honeymoon Avenue]

611 70 3
                                    

"Let's just go back to the way it was."

Sebuah harap yang telah usang.

——————


"Terima kasih," ujar seorang pria penjaga kasir supermarket waralaba yang kusinggahi. Ia memberiku sekantung kresek berisi sekaleng minuman soda rasa lemon dan sekotak Marlboro.

"Sama-sama. Terima kasih juga korek apinya." Kutunjukkan padanya korek api berwadah bening dengan warna semburat hijau yang tadi diberinya secara cuma-cuma. Padahal masih terisi minyak setengahnya. Lalu aku mendorong pintu keluar sambil membaca daftar belanjaanku yang dilengkapi dengan harga per satuan barang, kembali mengadu kulitku dengan angin dini hari.

Sesekali lenganku saling memeluk dan mengusap, menciptakan hangat yang tak begitu banyak mengusir dingin. Perjalananku juga beberapa kali diiringi gonggongan anjing yang berusaha terjaga karena langkah kakiku. Jika mereka sudah kulewati, maka yang tersisa hanya suara dedaunan yang saling berhimpit karena tiupan angin dan kerikil yang sesekali tersapu oleh alas kakiku.

Kumainkan pemantik api yang tadi kudapatkan secara gratis dan membakar ujung sebatang cerutu. Aku menduduki satu-satunya bangku kosong di pelataran stasiun yang di dekatnya ada tumpahan isi dari bak sampah.

Bangku yang lain terisi oleh orang-orang yang menginap. Sebagian membawa ransel dengan jaket tebal, dengan sebagian yang lain hanya mampu membekali diri dengan kardus dan karung beras bekas. Entah mengapa, kurasa seketika dunia terlihat damai.

"Susu? Lima ribu saja."

"Maaf, tidak."

"Aku bercanda."

"Aku pun. Hanya strangers yang tidak mampu mengenali suaramu." Meski sebenarnya bau dari wewangiannya juga jadi salah satu ciri khas darinya yang menonjol.

Seseorang yang berusaha melucu kini duduk di sebelahku. Sebuah jaket tebal berbulu melapisinya dari sengatan udara.

"Kau tidak menghadiri pesta."

"Benar."

"Kenapa?" tanyaku setelah menghembuskan asap tebal dari hisapan cerutu. Setidaknya bakaran tembakau yang kuhisap cukup terbukti membantuku untuk tetap hangat.

"Entahlah." Ia mengedikkan bahunya, kemudian menumpukan sebagian bebannya pada sandaran bangku dari kayu. Kakinya memakai Vans kucel sedang berayun-ayun dekat kaki bangku.

"Kau tak dicari?"

"Siapa?"

"Kau."

"Siapa yang cari?"

Asap abu-abu keluar dari mulutku dengan kasar karena sesaat tadi kuhembuskan dengan kesal. "Keluargamu."

Ia menggeleng lalu menggosokkan telapak tangannya dengan cepat, mencari kehangatan dari sana untuk daun telinganya yang mulai memerah kedinginan. Tatapannya mengarah ke langit-langit stasiun yang dipenuhi sarang laba-laba. Kaleng sodaku disesapnya sekali, melepaskan nafas dengan amat lega setelah menelannya.

"Rokok?"

"Milikmu saja." sebatang yang telah habis setengahnya ia ambil alih dariku, menghisapnya ragu-ragu sebelum terbatuk berkali-kali. Ia jadi sulit bicara karena asap pasti menyela saluran udaranya.

"First time?" tanyaku sambil tertawa. Suara tawaku kemudian terbenam seiring dengan suara dari kereta yang datang. Itu kereta yang telah kutunggu selama perempat hari ini. Itu kereta yang tiketnya langsung kubeli dengan harga dua kali, dari calo sekitaran sini. Itu kereta yang akan membawaku pergi dari tempat yang tak akan lagi kusinggahi.

Sekian (TELAH RILIS)Where stories live. Discover now