"Nggak Bu, Hira mau bareng temen," Dalam hati Hira bertanya-tanya, darimana Ibunya tau?

"Cowok?" tebak Ibunya, yang direspon Hira dengan anggukan, membuat Ibunya terkekeh geli.

"Ada apa, Bu?" Hira menatap Ibunya heran.

"Dia uda nungguin di depan,"

"Hah? Kok Hira nggak denger suara motornya?" Hira menatap jam tangannya dan terkejut saat jam ternyata sudah menunjukkan pukul 06.43

"Kakak kebanyakan ngalamun mungkin, makanya nggak dengar,"

"Dia uda lama di sini Bu?"

"Uda, tadi Ibu tawarin sarapan tapi nggak mau,"

Hal itu membuat Hira menyelesaikan polesan bedaknya dengan tergesa dan mengambil tasnya. Ia segera memakai kaos kaki dengan asal dan keluar kamar dengan terburu-buru.

"Kak," panggil Ibunya, membuat Hira berbalik dan mencium tangan Ibunya dan menyambar kotak makan dalam genggaman Ibunya. Setelah itu dia turun dan didapatinya Ilham duduk di teras tengah memainkan ponselnya.

"Aduh, sori Ham. Lo udah nungguin lama ya?" tanya Hira seraya memakai sepatunya.

"Nggak kok. Yah, sebanding lah sama nonton satu film," jawab Ilham seraya terkekeh.

"Yee itu sama aja lama," Hira bangkit berdiri dan memakai helm dari Ilham yang semalam ditinggal di rumahnya.

"Hehe santai kok gue. Lagian enak duduk di sini Ra, adem," ujar Ilham seraya juga bangkit berdiri.

"Adem?" tanya Hira heran, apanya yang adem? Perasaan biasa-biasa aja.

"Penghuni rumah lo cewek semua, hehe"

Ngeh dengan maksud Ilham, Hira segera menimpuk kepala laki-laki itu dengan kepalan tangannya, "Lama-lama gasrak otak lo ya,"

"Ampun Ra, becanda doang kali," ujar Ilham seraya berjalan cepat menghindari amukan Hira.

--

Dalam perjalanan menuju sekolah, Hira lebih banyak diam. Ia masih kepikiran ucapan Ibunya semalam dan meneliti apakah maksud dibalik ketidakberatan Ibunya jika Hira pulang malam. Namun setelah berpikir keras ditambah helmnya yang menjeduk helm Ilham beberapa kali karena laki-laki itu sering mengerem mendadak, Hira akhirnya menyerah dan memilih memikirkannya nanti setibanya di sekolah.

Ilham pun lebih banyak diam. Laki-laki itu focus pada jalanan di depannya dan berusaha mencari celah ditengah kemacetan jam-jam sibuk seperti ini supaya bisa sampai sekolah tanpa terlambat.

"Udah jam tujuh lebih lima Ra," ujar Ilham saat dirinya terjebak macet total dan tidak bisa bergerak.

"Iya nih, makanya harus cepet yah," wajah Hira nampak khawatir. Ia tidak ingin masuk BK lagi karena terlambat untuk ke 5 kalinya dan membuat Ibunya dipanggil ke sekolah.

"Lo dihukum nggak kalo terlambat?"

"Iya lah, sekolah gue punya aturan kali," jawab Hira sedikit ketus mendapat pertanyaan bodoh macam itu.

"Sama Ra, sekolah gue juga,"

"Iya, percaya deh," Hira menjawab malas. Hatinya tambah khawatir saat waktu terus berjalan namun mobil di depannya malah melaju dengan sangat pelan layaknya kura-kura.

"Ra?" panggil Ilham setelah beberapa menit yang lalu mereka saling diam.

"Hmm?"

"Anu Ra," katanya ragu.

"Apaan? Gih jalan Ham, sisi kiri kosong noh," instruksi Hira melihat celah untuk melajukan motor Ilham.

Ilham mengurungkan niatnya untuk berbicara. Ia merendahkan tubuhnya dan kembali meraih stang motor lalu melajukan motornya.

"Tadi lo mau bilang apa Ham?" Hira mencondongkan kepalanya supaya Ilham dapat mendengar suaranya. Jalanan sudah mulai lancar walaupun ramai.

"Bolos sekolah enak kali ya Ra," ujar Ilham frontal.

"Gila lo. Nggak ah, masa bolos sih," respon Hira cukup terkejut saat Ilham menawarinya ini.

"Yah daripada telat terus dihukum Ra,"

Hira terdiam beberapa saat, "Tapi gue belum pernah bolos Ham,"

"Yelah, lo rajin amat jadi murid. Nggak ada pedes-pedesnya blas,"

"Lo janjinya Cuma mau nganterin gue ke sekolah ya, nggak bilang mau ada acara bolos-bolosan segala," alasan Hira.

"Yaudah si, gue nggak maksa. Nanti lo gue turunin di sekolah lo, terus abis itu gue mau cabut."

"Lo tetep mau bolos?" komentar Hira sedikit tidak setuju.

"Iya lah. Hukuman telat lebih berat daripada hukuman kalo lo bolos, asal lo tau,"

"Mana gue tau," gumam Hira pelan.

"Yaudah. Percaya sama gue, mau bolos apa tetep sekolah? Uda hampir pertigaan sekolah lo nih,"

Hira terdiam. Jelas sekali perkataan Ilham hanya mensugestinya untuk mengikuti langkah setan Ilham. Namun dalam hati Hira membenarkan juga perkataan temannya itu, apalagi ia sebenarnya bosan dengan kehidupan kelas IX yang tengah dijalaninya yang sehari-hari hanya disuruh mengerjakan soal latihan ujian yang sudah ia hafal di luar kepala kisi-kisinya.

"Ra? Hampir sampe ini. Mau lurus apa belok?" tawar Ilham lagi.

Lurus. Belok. Lurus. Belok. Lurus. Belok. Hira menggigit bibirnya frustasi seiring dengan jarak pertigaan yang hampir sampai. Badannya panas dingin seolah-olah keputusannya menentukan hidup dan matinya.

"Ra? Pertigaan di ujung depan loh," kata-kata Ilham terus saja berputar di kepalanya.

Hira menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 07.15, "Lurus Ham," katanya tanpa menarik nafas terlebih dahulu. Lurus Ham, walaupun gue tau keputusan ini sama sekali nggak ada sisi lurusnya.

"Nah gitu dong, itu namanya calon adik kelas yang baik," ujar Ilham dengan ceria, sedangkan Hira memejamkan matanya dan meremas jaket Ilham erat saat motor Ilham melaju dengan santainya melewati pertigaan di mana tepat di sisi kiri adalah almamater tercinta tempat Hira menimba ilmu selama hampir tiga tahun ini.

Setelah jarak dirasa agak jauh, Hira baru berani membuka matanya dan mendapati ia menahan nafas sedari tadi. Pipinya terasa panas, ia menatap pantulan wajahnya di helm bagian belakang Ilham dengan tatapan tidak percaya dengan apa yang sudah ia lakukan.

Bolos sekolah? Hira kini merasa menjadi murid paling buruk di dunia.

Maafkan anak didikmu yang hina ini, wahai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

TO BE CONTINUE


WEY WEY... Makasih banget bagi kalian yang udah mau meluangkan waktu untuk membaca cerita aku ini. Btw ini cerita terinspirasi dari kisah nyata, jadi sebisa mungkin aku buat alurnya natural dan agak santai buat cerita-cerita pelajar gitu, tapi tetep yang berkesan.

Wait for the next chapter ya...

FancleWhere stories live. Discover now