Aku tidak akan bertemu dengannya lagi?

11 1 4
                                    

*30 September

Aku dengan mahir memainkan layanganku di langit yang cerah sore ini. Sahabatku Dion sedang duduk di tepi lapangan menontonku bermain layangan sambil tersenyum kadang tertawa kecil ketika layanganku turun secara perlahan. Aku menghampirinya dengan gulungan benang layangan yang masih kugenggam, namun masih terus memandang keatas. Aku menyerahkan gulungan benang tersebut padanya, namun ia menolak.

"Kau main saja. Aku cukup mengawasi sejauh mana kemampuanmu."

"Kau meremehkan kehebatanku dalam hal ini?"

"Aku percaya sahabatku jagonya dalam menerbangkan layang-layang. Tapi tidak kalah jago denganku." Ujarnya sembari berdiri dan mengambil gulungan benang dari tanganku.

Ia kemudian berlari ke tengah lapangan sambil terus menarik dan mengulur benang layangan yang dipegangnya. Aku menyusulnya ke tengah lapangan dan mulai menerbangkan layangan lain milik Rafi. Kami bersenang-senang pada hari itu.

Itu dulu, sampai akhirnya 2 bulan kemudian Dion terkena penyakit aneh yang membuatnya sulit berjalan, menggenggam bahkan menulis. Ia pun tidak lagi masuk sekolah, padahal di kelas kami sudah mulai mempelajari perkalian. Dion pernah berkata kalau dia sangat suka belajar perkalian. Jadi, pada hari ini aku bersama ibu pergi ke rumah Dion untuk menjenguknya. Aku menceritakan bagaimana sulitnya menghafal perkalian 3.

"Itu mudah, kau tinggal menambahkan 3 angka setiap hasilnya. Hanya sampai 3×10, kau pasti bisa menghafalnya." Ia mengajariku, seperti seorang guru saja.

"Mudah bagimu untuk menghafal."

"Kalau aku bisa menghafalnya, kenapa kau tidak? Memang apa bedanya kau dan aku?"

"Baiklah pak guru. Akan kucoba setelah pulang nanti."

Sebulan kemudian, seperti biasa aku bersama teman-temanku bermain layangan di lapangan. Tiba-tiba Dion datang menghampiriku ke tengah lapangan sembari berjalan pincang. Dion mengatakan bahwa dia dan ibunya akan pergi ke Jepang besok untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Aku terkejut mendengar pernyataan tersebut. Saat di rumah, aku cerita pada ibu bahwa Dion dan ibunya akan pergi ke Jepang besok untuk mengobati penyakit yang diderita Dion. Ibuku tenyata sudah mengetahui hal itu sejak kami pergi menjenguk Dion di rumahnya. Sampai saat ini aku bahkan tidak tahu Dion sakit apa. Ibu bilang Dion terkena penyakit Ataxia yang aku sendiri tidak tahu apa artinya.

"Penyakit itu semacam kerusakan saraf otak dan tulang belakang yang menyebabkan penderitanya tidak mampu mengendalikan gerakan di tubuhnya bahkan berbicara pun akan sulit." Ibu menjelaskan.

"Dion akan mengalami hal seburuk itu? Kasihan sekali." Aku merasa iba padanya. Dia sahabatku yang pintar dan sangat baik padaku. "Tapi Jepang itu sangat jauh, bu. Haruskah Dion dibawa kesana?"

"Mungkin memang harus. Karena itu demi kebaikan Dion juga."

Besoknya, aku dan ibu mengunjungi Dion ke rumahnya sebelum ia berangkat ke bandara. Aku membawa serta layanganku yang akan kuberikan pada Dion.

"Tidak bisakah kau berobat disini saja? Kalau kau pergi, siapa yang akan mengajariku perkalian?" Tanyaku basa-basi, berharap Dion berubah pikiran dan batal pergi ke Jepang, tetapi itu tidak akan mungkin.

"Kau bisa meminta kakakmu mengajarkannya. Dan kau juga harus menghafal semua perkalian dasar dari 1 sampai 10. Kalau aku sudah pulang, aku mau kau langsung menghafalkannya dengan lancar di hadapanku."

"Kau akan kembali? Kapan kau pulang?"

Belum sempat Dion menjawab pertanyaanku, taksi yang akan mengantar Dion ke bandara sudah tiba, membuat kami semua menoleh pada taksi tersebut. Ibu kami saling berpelukan dengan linangan air mata kemudian saling memberi salam perpisahan. Ayah Dion dibantu supir taksi memasukkan koper-koper ke dalam bagasi mobil.

"Ambil layang-layang ini. Kalau kau bosan, kau bisa memainkannya dan tidak perlu menyuruh ibumu untuk membeli layang-layang disana." Aku menyodorkan layangan yang kubawa sedaritadi pada Dion.

"Terima kasih. Jangan lupa untuk menghafal perkalian, ya. Akan kutagih kalau kita bertemu."

"Kapan kau pulang?"

"30 Februari."

"Benarkah? Aku akan menyiapkan hadiah untukmu pada hari itu." Ujarku semangat.

*2 bulan kemudian (29 Februari)

Aku memandang kalender di rumahku dan aku merasa aneh. Ada yang salah. Aku kemudian melihat kalender lain yang ada di kamar kakakku. Sama saja, bulan ini mentok hanya sampai tanggal 29. Seharusnya besok Dion sudah pulang dan aku akan memberikan hadiah untuknya, akan tetapi besok bukan lagi bulan Februari, melainkan bulan Maret. Aku lalu bertanya pada ibu akan hal tersebut dan benar saja, tidak ada tanggal 30 Februari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

30 FebruariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang