[1] Temper Problem

104 24 66
                                    

Hai, terima kasih sudah mampir. ^^

Ini cerita pertama saya di akun Wattpad ini. Tolong bantu koreksi kalau ada yang keliru! ^^

Terima kasih juga untuk [bintang]-nya. Masukkan ke [Library] jika kalian suka cerita ini, dan tolong bantu [share], ya! ^^



[1] Temper Problem


Emily berdiri diam. Gadis di depannya menatap dengan mata cekung gelap akibat kurang tidur. Dua alis tebal membingkai mata hijau cemerlang. Emily sedikit menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memperhatikan pipi pucat gadis di dalam cermin yang dihiasi freckles. Rambutnya, merah sepanjang punggung dan keriting—sangat, sangat keriting—mengembang hingga membuat kepala Emily tampak besar.

Ketukan di pintu kamar diikuti suara ibunya memanggil untuk sarapan membuat Emily menoleh. "Aku segera turun," sahutnya.

Emily mengangkat sebelah tangan untuk meraup rambutnya. Tangan satu lagi memegang gunting. Tanpa pikir panjang, gadis yang segera berusia enam belas tahun itu memangkas  rambut keritingnya hingga tersisa sepanjang bawah telinga saja. Setelah membersihkan sisa potongan rambut di bahu, dia perhatikan sekali lagi pantulan dirinya, sedikit merapikan baju yang dia pakai—celana jin belel dengan kaus abu-abu lengan panjang bergambar burung hantu—dan mengambil ransel di meja rias, lalu keluar dari kamar.

Di bawah, orang tuanya—Evanna dan Anthony Digger—telah duduk di meja makan. Emily mengucapkan selamat pagi dan duduk. Dia baru akan mengambil seciduk kentang tumbuk ketika ibunya memekik, "Emily! Apa yang kau perbuat dengan rambutmu?"

Emily mengangkat bahu sebagai jawaban. Dia menciduk kentang tumbuk dan menambahkan salmon di piringnya. Lagi pula, rambut itu membuat Emily tampak seperti Merida dalam animasi Disney, Brave. Belum lagi panggilan-panggilan konyol yang dialamatkan kepadanya di sekolah.

Eva menatap suaminya. Di ujung meja, Tony hanya diam. Mereka makan dalam kesunyian.

"Hari ini mulai kelas tambahannya?" Tony bertanya memecah kebekuan.

"Ya." Emily menjawab singkat. Kelas tambahan yang dimaksud adalah kelas detensi. Mulai hari ini sampai libur musim panas nanti—artinya dua minggu lagi—Emily harus mengikuti kelas tambahan sebagai hukuman atas tindakannya Jumat lalu. Emily sedang berada di kelas melukis ketika itu terjadi. Mr. Robinson sedang meninggalkan kelas dan Emily mengerjakan lukisannya—lukisan potret bergambar anak kecil duduk di rerumputan. Tiba-tiba, dia merasakan kepalanya sakit luar biasa. Emily oleng dan tanpa sengaja menubruk gadis di sampingnya.

"Hei!" Emily ingat gadis itu membentak keras. "Hati-hati, Tolol! Kau merusak lukisanku!"

Suara gadis itu melengking di telinga Emily. Emily mengerjap, rasa sakit di kepalanya menghilang sama mendadak dengan kemunculannya. Dia berkata dengan suara serak, "Maaf, aku tidak sengaja."

"Kaupikir maaf bisa mengembalikan lukisanku?"

Emily menoleh, dia mengumpat dalam hati saat melihat siapa gadis di sampingnya. Amanda Clarke si gadis populer—wajah cantik, badan seksi, rambut pirang, pemandu sorak, dan berpacaran dengan bintang rugbi sekolah—balas menatap dengan sengit. Emily mendesah. "Aku sudah bilang maaf, Amanda. Bagian mana dari 'tidak sengaja' yang kau tidak paham?"

"Ap—" Amanda tergagap. Dia mengatupkan bibir hingga membentuk garis tipis dan meraup botol cat di sampingnya. Dengan gerakan cepat, gadis itu menyiramkan cat ke lukisan Emily.

"Hei!" Emily memekik, menatap lukisannya yang kini tertutupi warna ungu. "Ada apa denganmu?"

Amanda menyeringai. "Aku merusak lukisanmu seperti kau merusak lukisanku."

Emily menatap lukisan Amanda. Ada coretan panjang berwarna oranye di sana, tampaknya tadi Amanda sedang memberikan warna pada matahari ketika Emily menubruknya. Namun, itu tak sebanding dengan yang Amanda lakukan terhadap lukisan Emily. Sekarang, Emily harus memulai lagi dari awal, sementara Amanda hanya perlu menutupi coretan pada lukisannya. Dia baru akan membalas ketika Mr. Robinson memasuki kelas. Tangan Emily mengepal, rahangnya mengeras, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. Dia hanya melepaskan kanvas dari penyangga dan membawanya ke belakang kelas, lalu mengambil satu kanvas baru.

"Emily," tegur Mr. Robinson, "ada apa dengan lukisanmu?"

"Tumpahan cat, Pak."

Mr. Robinson melihat arlojinya. "Lima menit lagi kelas berakhir. Aku mengharapkan kalian mengumpulkan lukisan kalian Jumat depan. Lukisan yang sudah selesai." Pria itu menatap Emily saat mengatakan kalimat terakhir.

Tanpa mengatakan apa pun, Emily memasang kanvas baru pada penyangga. Dari sudut mata, dia melihat Amanda tersenyum miring. Emily mengepalkan tangan, menyimpan kemarahan.

"Hei, Curly, apa menurutmu jika kau menggunakan rambut keritingmu yang aneh itu untuk melukis, lukisanmu akan selesai tepat waktu?"

"Urusi urusanmu sendiri," Emily balas berbisik.

"Kenapa? Kudengar Andrew memuji semak-semak di kepalamu yang kausebut rambut itu. Kau pasti senang setengah mati, eh?"

Emily menggertakkan gigi. "Diamlah, Amanda!"

"Apa kau tahu dia dan teman-temannya menjadikanmu taruhan?"

Emily tidak menjawab, Amanda melanjutkan. "Kau tahu? Tapi, kau tetap datang? Murah sekali."

Itu dia! Bisikan terakhir Amanda mendorong Emily untuk berteriak, "Tutup mulutmu!" seraya melemparkan kepalan tangannya. Bel berdering, tetapi seisi kelas hening. Emily terkesiap menatap Amanda yang tergeletak diam di atas kanvas yang ambruk bersama penyangganya ketika tertimpa tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sudut bibir anak perempuan ketua Dewan Gubernur Sekolah itu. Itulah yang membuat Emily mendapatkan detensi di sekolah serta menjadi tahanan rumah selama dua minggu. Gelang di kaki Emily menjadi tanda bahwa polisi tidak akan segan-segan menjebloskannya ke penjara jika alarm pada gelang itu berbunyi. Dan, selama memakainya, Emily tidak bisa pergi ke luar kota. Dia bahkan harus berada di rumah sebelum pukul tujuh malam atau alarm di kakinya akan memanggil selusin polisi. Oke, dia melebih-lebihkan, tetapi itulah intinya.

Emily meminum jusnya dan bangkit.

"Paman Ed tadi menelepon, nenekmu ingin bertemu."

"Baik, Dad."

"Jangan melakukan kesalahan lagi. Ini sudah buruk ketika kau menjadi tahanan rumah, jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Paling tidak, sampai sekolah libur."

Emily menatap ayahnya. "Bisa aku pergi sekarang?"

Tony balas menatap. "Emily," ucapnya, "kau tahu Dad hanya ingin membantu."

"Aku tahu."

"Langsung pulang setelah kelas tambahan berakhir. Jika kau merasakan serangan di kelas, segeralah meminta izin untuk pulang dan jangan—"

"Aku tahu!" Emily membentak dan menemukan bahwa dia sama kagetnya dengan ayahnya. Biasanya, dia tidak membentak. Tekanan akhir-akhir ini yang membuat Emily mudah tersulut. Serangan yang dimaksud ayahnya adalah rasa sakit menusuk pada kepala seperti yang Emily rasakan Jumat lalu. Itu bukan penyakit, tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Emily harus menahan diri mati-matian agar itu tidak sampai keluar dari dalam dirinya.

Emily menarik napas panjang lalu mengembuskannya. "Aku tahu, Dad," ujarnya lebih pelan. "Bisakah aku pergi sekarang?"

Tony menatap dengan pandangan khawatir. Namun, pria itu tak mengatakan apa-apa lagi dan hanya mengangguk.

Emily balas mengangguk lalu berbalik, berharap harinya di sekolah nanti akan lebih baik.

[]

BLOOD and PREJUDICEWhere stories live. Discover now