Aku langsung menuju meja petugas yang tadi, memotong antrian siswa, aku tidak mau menunggu dan goyah lagi. Setelah cek darah dan tensi aku langsung ambil tempat dan rebahan. Aku tidak mau menunggu. Ayo lakukan dengan cepat, pikirku.
Beberapa orang mencoba bertanya, menurutku itu pertanyaan yang menggoyahkanku. Jadi aku abaikan saja.

Cukup lama petugas itu mencari pembuluh venaku. Venaku memang kecil, dari dulu sewaktu sakit dan harus diinfus, perawat kesulitan mencari pembuluh venaku.
"Kurang olah raga" katanya, aku menampik, entah kenapa aku lebih responsif karena gugup. Akhirnya pembuluh venaku ketemu, aku sebetulnya tidak terlalu aneh dengan suntikan, tapi bagaimanapun ini pertama kalinya aku donor darah. Jarum yang besar dan tajam mulai menancap dalam lengan kiriku. Aku tahan nafas sebagaimana dokter sering bilang tahan nafas saat jarum suntik menancap dalam tubuhku. Ahh sedikit sakit. Tapi masih dalam batas wajar. Lebih sakit saat antibiotik masuk infusan atau dicauter. Betul, ini mah biasa aja. Bahkan aku tidak merasa pusing sedikitpun. Ahh lega dan senangnya hatiku, aku bangga pada diriku yang berhasil menghadapi rasa takut dalam diri, berhasil menjadi pendonor sebagaimana dulu aku anggap tidak mungkin. Aku rasa dibanding rasa sakit suntikan jarum lebih sakit melihat para petugas yang sinisnya amit-amit. Haha aku jadi berpikir ternyata betul kata psikolog Dedy Susanto kalau dokter itu pantasnya seorang koleris yang kejam, maksudnya berani. Aku pikir mereka adalah plagmatis yang lembut dan baik hati. Mungkin ngga akan jadi tuh nyuntiknya karena ngga tega. Yayaya aku paham. It's oke. Kita punya profesi dan tuntutan yang berbeda.

Ditengah lamunanku ternyata ada trouble, darahku tidak begitu lancar keluar, katanya sih kurang minum. Lambat sekali darahku keluar hingga ruangan yang awalnya sepi jadi penuh dan sepi lagi. Dan aku belum juga selesai. Untungnya ada beberapa siswa yang aku kenal.
"Hei sini" kataku, aku melihat ekspresi mereka yang kaget, seorang bu Mega yang mudah lelah dan sakit, yang mana perawakannya kecil, yang justru mungkin dialah yang cocok jadi penerima donor darah tapi berhasil berbaring disana dengan santai. Beberapa siswa lelaki langsung mengambil formulir dan mengantri. Aku senang sekali melihatnya.

Donor darah selesai. Saatnya cabut suntikan, pasti kalian bertanya-tanya gimana rasanya. Mau tau? Haha rasanya lebih terasa pedih daripada pas ditusuk, but it's oke. Sakit ya sakit tapi ngga sampe berasa mau pingsan ko. Aku pun bangkit dari tempat tidur, I felt good. Tapi aku harus pelan-pelan, kebayang ya dari tubuh mungilku diambil satu labu darah sebanyak 350cc, banyak lah menurutku, kaya sebungkus jus mangga, jus mangga saja ada hampasnya. Ini darah loh, murni, isinya sari makanan, vitamin dan lain-lain. Aku harus hati-hati bangkit dan berjalan.

Ahh alhamdulillah sudah selesai, kulihat masih ada siswaku yang terbaring disana, selang dari tangannya sudah terpasang. Sedangkan yang lainnya lengang. Aku berjalan menuju pintu, tersenyum lebar melihat petugas PMI laki-laki yang ramah sejak awal. Beda dengan ibu-ibu tadi. Eh oke kita kembali ke topik.
Dia bertanya apakah aku baik-baik saja, aku tersenyum baru mau aku jawab baik tapi tiba-tiba pandanganku gelap dan pusing sekali. Aku lalu dipapah duduk di kursi. Sepatuku dilepas dan inilah yang membuatku sakit tak karuan. Jari kakiku dipencet dengan sangat keras, ada tiga titik yaitu kelingking kaki, dasar jari dan telapak kaki. Rasanya luar biasa membuatku ambruk dan digotong ke pembaringan, aku antara sadar dan tidak sadar. Sulit untukku berpikir, yang terbayang hanyalah wajah anak-anakku yang berkelebatan, XI OTKP 1, itu yang kuingat. sedangkan tubuhku berusaha bernafas dengan menenggakkan kepala. Tubuhku refleks mencari jalan udara seperti yang diajarkan saat aku PMR dulu. Kakiku disangga dengan kursi agar lebih tinggi dan darah masuk ke otak.
Perlahan aku mulai sadar, nafasku sudah mulai normal lagi. Aku buka mata perlahan. Badanku berkeringat dingin dan jemariku tak bisa digerakan, kaku. Aku mencoba memulihkan diri, menggerak-gerakan kepala dan jari. Aku berusaha rileks sambil mengingat apa yang aku rasakan saat tak sadarkan diri. Jiwaku penuh dengan beban dan tanggung jawab. Wahai tubuh terima kasih sudah menjadi penyangga hidupku, aku tau kamu pasti lelah kubawa kemana-mana, sedangkan aku sering abaikan menafkahimu. Maafkan aku tubuhku. Tapi kamu kuat, kamu hebat, kamu mampu jalani semuanya, bahkan sekarang kamu sudah berhasil donor darah. Aku bangga padamu tubuhku, sehat terus ya. Aku merasa lega, aku tersenyum melihat siswaku mendekatiku, aku tidak mau terlihat lemah, karena aku kuat. Diantara mereka kulihat salah satunya baru selesai donor darah dia langsung menyeduh teh manis, aku tersenyum dari kejauhan, siswa yang biasanya cuek itu betul-betul memperhatikan fisiknya. Dia memang atlet olah raga. Lucu saja melihatnya sibuk mencelupkan teh dan menuangkan beberapa sendok gula. Tapi tak kusangka dia mendekatiku "bu ini teh manis mumpung masih anget, ibu belum bisa bangun ya, tunggu ya aku cariin sedotan"
Hah? Buatku? Aku pikir aku akan pulih sendiri, hanya ditemani beberapa pembaringan yang mulai kosong, Bu Asri pun entah kemana. Siswa yang tingkahnya sering terlihat tak acuh itu ternyata memiliki empati yang tinggi, aku berusaha bangkit, ditolong mereka tentunya, kuminum teh manis yang gulanya belum begitu larut itu dengan nikmat tiada tara.
"Manis ga bu?" Katanya
Aku tersenyum sambil mengunyah gumpalan gula yang suaranya begitu nyaring. Kami pun tertawa.

Setelah dirasa pulih aku bangkit dan berjalan perlahan, tak kulupa kusampaikan terima kasih banyak pada mereka para petugas PMI dan anggota PMR. Terima kasih banyakkk

RAGA TATALANG NYAWA (Sharing Kesehatan)Where stories live. Discover now