Pengantin Cilik

4.3K 89 16
                                    

Tidak ada maksud apapun di balik cerita ini. Jika ada yang merasa keberatan atau tersinggung, mohon maaf. Hanya menuangkan sesuatu yang berkeliaran di otakku.

_____________________________________________________________________

Panas menyengat masih terasa membakar kulit padahal hari sudah sore. Kukayuh sepeda dengan perlahan sambil sesekali menyapu keringat yang menetes.  Anak-anak asyik bermain di halaman rumah, teriakan dan tawa mereka nyaring terdengar. Di teras sebuah rumah besar dengan halaman luas tampak ibu-ibu sedang berkumpul sambil asyik bercanda.

Salah seorang dari mereka yang melihatku, menyapa dengan ramah. Aku tersenyum dan memutuskan untuk mampir. Sesekali ikut bergosip dengan mereka tidak ada salahnya. Dari obrolan itu tidak jarang aku mendapat pelajaran berharga, pintar-pintar kitanya saja memilih. “Waahhh....., ada apa nih bu kok pada rame?”

Sebelum bergabung, aku menyenderkan sepeda di salah satu pohon rambutan yang tumbuh di halaman. Dengan senyum tersungging aku menyambangi mereka, dan menyapa para ibu yang duduk di situ. Mereka menggeser tubuh untuk memberikan tempat bagiku. Segera saja suara mereka riuh saling mendahului untuk bercerita. Aku tertawa dibuatnya, kadang tingkah para ibu hanya berbeda tipis dengan anak-anak mereka.

“Ini lho, Bu Ijah sebentar lagi mau mantu.... Sudah nggak sabar mau nimang cucu rupanya...” Tawa riuh kembali terdengar, sementara seorang ibu nampak tersipu malu. Aku terdiam tak percaya mendengarnya. Setahuku, anak ibu itu semuanya masih kecil. Jadi yang mau dinikahkan itu siapa?

“Maksudnya si Ica, bu?” tanyaku memastikan. Menikah dalam usia muda memang terbilang lumrah di kampung ini. Jika ada seorang pria melamar anak gadisnya mereka, hampir dipastikan lamaran itu bakal diterima. Tidak peduli anaknya masih remaja.

Kampung ini memang masih terpencil, jalanan belum diaspal, masih tanah dilapisi batu kerikil. Listrik juga baru-baru ini bisa dinikmati, itupun tidak semua penduduknya ikut merasakan. Alasannya macam-macam, ada yang karena biaya, ada yang takut kesetrum, atau sekedar sulit untuk merubah kebiasaan. Untuk memasak jangan ditanya, boro-boro kompor gas, untuk kompor minyak saja bisa dihitung dengan jari penduduk yang memakainya. Kebanyakan mereka masih menggunakan kayu bakar. Dan sinyal hp, ya ampunnnn......... kita mesti pergi ke tanah lapang baru bisa dapat, itupun paling banyak cuma 3. Dalam waktu terbatas lagi, belum selesai ngomong, eeehhhh..... sinyalnya putus. Aduuuuhhhhh.....

Terkadang aku heran juga, melihat kemajuan di berbagai daerah kok ya masih ada terselip daerah yang seperti ini. Wilayah lain sudah maju, disini seperti tidak tersentuh pembangunan. Entahlah, aku juga tidak mengerti. Tapi yang membuatku betah disini adalah keramahan penduduknya. Mereka semua sangat baik, sifat saling tolong tanpa pamrih benar-benar diamalkan oleh mereka. Makanya sewaktu ada tawaran untuk pindah tugas, aku merasa berat meninggalkan kampung ini. Mereka semua sudah terasa seperti keluargaku.

“Ya lantas siapa lagi kalau bukan si Ica, anak saya yang lainkan masih kelewat kecil.” Cekikikan ibu-ibu yang lain masih terdengar. Tapi perhatianku sepenuhnya tertuju pada Bu Ijah. Kaget pastinya, seperti mendengar petir di siang bolong. Kalau aku tidak salah, anaknya itu baru saja lulus SD kemarin. Kalau biasanya sih remaja disini menikah sekitar umur 17 atau 18 tahun, dan aku tidak terlalu kaget dibuatnya walaupun kadang dalam hati miris juga.

“Habis mau gimana lagi, mereka udah kelewat lengket, kemana-mana berdua. Saya takut kalau dibiarin terjadi apa-apa, kan saya juga yang malu.” Padahal aku melontarkan pernyataan ‘tapi dia masih terlalu kecil’ cuma dalam hati. Atau mungkin tidak, sepertinya aku mengucapkannya dengan keras. Buktinya aku mendengar ada ibu yang bergumam setuju dengan anggapanku tersebut.

Pengantin CilikWhere stories live. Discover now