Lesson 1

84 6 0
                                    

Aku tersedak saat membuka handphone-ku yang bergetar sedari tadi. Bubble tea kantin yang sedang kukunyah dengan khidmat hampir saja meloloskan diri dari mulutku. Kulepas headset yang masih melekat di telinga, baru kali ini aku merasa nada dering BTS-ku sangat mengganggu.

Nama penelpon itu terpampang di layar handphone: AKT Setan Alas.

"Hadeuh, setan alas ngapain sih, nelpon gua? Bukannya semester ini gua udah nggak ambil mata kuliah dia lagi?!" gerutuku.

Ups! Maaf lupa kasih info ke kalian. Sejujurnya, aku bukan tipe mahasiswa yang suka melawan dosen, bertindak kurang sopan, atau semacamnya. Aku iki wong Jowo, bertata krama. Tapi, sopan santunku kukecualikan khusus untuk satu orang ini. Dia dulu dosen mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan, yang pernah memberiku nilai E cuma gara-gara lupa mengerjakan tugas satu kali. Itu tugas pertemuan kedua perkuliahan, dan hari itu juga, aku disuruh berhenti ikut mata kuliahnya, karena katanya sudah pasti aku akan dapat E. Aku pernah menyimpan nomer WA-nya untuk protes, tapi WA-ku nggak dibalas waktu itu. Setan alas!

Tapi itu sudah kutebus, seingatku, aku sudah ikut semester pendek untuk mata kuliah ini. Dosennya ganti, Pak Wiyoto. Dan nilaiku B, kok. Beres.

Terus kenapa dong dia telepon? Hadeuh, jangan-jangan Pak Wiyoto ternyata salah kasih nilai, harusnya A? Tapi nggak mungkin sih aku sepintar itu. Apa ternyata harusnya D? Haduuuuh ...

Bodo ah. Kuputuskan untuk mengabaikan teleponnya. Telepon kedua darinya kembali berdering. Aku menyetel pengaturan handphone menjadi mode silent dan melanjutkan minum bubble tea yang tertunda.

Kembali aku hanyut ke dalam novel yang sedang kubaca, karya Pramoedya Ananta Toer. Lagu slow-rock dari One Ok Rock yang kuputar menambah kesyahduan novel semakin nyata. Aku suka saat-saat begini, sendirian, di belakang halaman kampus yang sepi. Untung cuaca kali ini nggak terlalu panas, sehingga daun pohon mahoni yang jarang-jarang sudah cukup untuk berteduh disini. Kursi kayu yang ada disini sudah reot dan jauh dari keramaian kampus, mahasiswa-mahasiswa baru jarang tahu tempat ini.

Bisa dibilang, aku lebih suka kesendirian ini, dibanding orang-orang normal yang saat istirahat siang ini pasti kumpul sama geng-nya. Aku benci keramaian. Berada di tengah orang, rekor seumur hidupku adalah satu jam. Setelah itu aku pusing dan cuma bisa tiduran seharian. Aku nggak pernah punya teman dekat. Terakhir aku coba berteman adalah semester satu, dan aku nggak nyambung dengan omongan teman-temanku. Mereka ngomongin mode baru di H&M, aku cuma tahu model pakaian di manga shoujo. Mereka ngomongin ramen enak di Pacific Place, aku cuma tahu ramen di Naruto. Nggak klop.

Mataku sedikit teralihkan ke arah dua mahasiswi – kelihatannya masih semester awal, dari gayanya yang cupu dan muka-muka gampang dibodohi senior. Mereka terlihat dari ujung, saling ngobrol, dan menuju ke arahku, menenteng bubble tea kantin dan plastik hitam. Mungkin mereka mau nongkrong disini.

Aku menggeser pantatku ke pinggir kursi. Begini-begini, aku peka, lho.

Tiba-tiba mereka berhenti, lalu memandang ke arahku dengan tatapan aneh. Salah satu dari mereka, yang berambut ikal panjang, tampak berbisik ke temannya. Temannya kemudian melihatku seolah aku ini tersangka korupsi dana E-KTP. Jijik. Enyah dari muka bumi ini! Kira-kira begitu suara dari wajahnya.

Keduanya kemudian berbalik. Nggak jadi.

Ealah jangkrik!

Tapi peduli setan, aku lanjut baca novel. Aku sebenarnya agak bersyukur mereka nggak jadi kesini. Berisiknya mahasiswi baru disini kayak ibu-ibu nawar harga panci di Pasar Senen!

Plok! Tiba-tiba aku merasakan tepukan keras di pundakku.

Alisku mengernyit? Wah, sok 'bro' sekali orang ini? Emang gua punya teman dekat ya? Sampai main tepak-tepok aja?

Skripsi!Where stories live. Discover now