Prolog

141 5 0
                                    


Ruangan 4-12 gedung Akuntansi benar-benar senyap hari itu. Padahal, ruangan itu biasanya menjadi ruangan yang paling riweuh di lantai 4, lantaran biasanya disana adalah tempat berkumpulnya dosen-dosen rempong Universitas Madju Bangsa di sela jam makan siang. Sebetulnya fungsi aslinya adalah ruangan rapat jurusan Akuntansi, tapi jurusan ini terkenal sebagai jurusan paling santuy dan jarang rapat. Meja lonjong besar yang merupakan pusat ruangan, lebih sering digunakan untuk perkumpulan ghibah dosen-dosen akuntansi.

Kini suara riweuh itu hanya digantikan oleh detik jam dinding tua yang bertengger di dekat pintu ruangan, konon dibeli di Kelapa Gading tahun 1995 oleh pendiri sekolah. Kali ini, ruangan itu sedang digunakan sebagaimana fungsi awalnya.

Pak Marwanto, pria tua tambun pemimpin rapat sekaligus dekan Fakultas Ekonomi bagian kemahasiswaan, mengetuk-ngetuk pulpen mahalnya ke meja. Sejujurnya ia juga sudah mulai pegal, pinggang tuanya yang hampir pensiun itu nggak kuat untuk dibawa duduk hampir dua jam lamanya. Meskipun diantara dua belas orang peserta rapat jurusan, masih ada Pak Wiyoto yang paling senior. Sesepuh akuntansi itu juga sudah mulai senam pinggang sedikit-sedikit. Kasihan, encoknya pasti kambuh.

Rapat ini belum menemukan jalan keluar.

"Jadi, bagaimana kelanjutan mahasiswa-mahasiswa ini?" Pak Marwanto angkat bicara. Berharap ada tanggapan dari anak buahnya.

"Sudahlah Pak, bagaimana kalau kita ikhlaskan saja." Pak Faris, ketua jurusan Akuntansi menanggapi, "saya sudah diskusi dengan para dosen pembimbingnya, keterlambatan skripsi mereka memang karena mahasiswanya sendiri. Mereka itu lho Pak, unik-unik. Ada yang sukanya main game, lah, mau jadi artis, lah ..."

"Ho-oh, Pak. Toh, baru tahun ini kita kecolongan. Cuma empat orang." Bu Ningrum, sekretaris jurusan mengamini Pak Faris.

"Ngawur! Ikhlaskan-ikhlaskan, memangnya meninggal?" hardik Marwanto. Nggak, dia nggak bercanda, "bukan masalah jumlah, Ibu Ningrum. Ini masalah nama sekolah. Kita punya empat mahasiswa yang nyaris D.O., tahun depan adalah kesempatan terakhir! Kalian minta saya biarkan mereka D.O.?!" pria tambun itu berdiri dan menuding Pak Faris.

"Sekolah kita ini sudah berdiri 20 tahun! Meskipun swasta, akreditasi kita untuk akuntansi selalu A, sampai dapat penghargaan dari Mendikbud! Sepuluh tahun terakhir, kita tidak pernah punya riwayat men-drop out mahasiswa! Saya harus bilang apa ke Pak Dekan, kalau tahun ini kita kecolongan empat orang, hah?!"

Mata pria itu berganti arah, ke pria setengah baya ceking di sebelah Pak Faris, "Pak Harun, anda bagaimana? Kenapa bisa kecolongan satu mahasiswa yang bermasalah ini? Anda juga, Bu Ade, Pak Wayan, Bu Tati, gimana sih membimbingnya?! Memangnya nggak pernah dikomunikasikan dengan mahasiswanya?!"

Brak! Omelan itu diakhiri dengan gebrakan meja dari Pak Marwanto. Semua hening. Pak Wiyoto sampai berhenti memijit pinggangnya yang encok.

Tok! Tok!

Semua mata seketika menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Masuklah seorang pria berambut klimis, "Pak Mar, sudah datang."

Mata Pak Marwanto melebar, "Oh ya? Gimana? Lagi 'kosong', Sus?"

Pria klimis itu, Susilo, mengangguk. "Katanya semua akan coba ditampung, Pak. Satu semester, toh? Yah, paling akan butuh bantuan sedikit."

Pak Marwanto mengangguk. Membenarkan kemejanya. Lalu mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.

"Kita gunakan cara terakhir. Suruh Pak Darwin masuk, Sus. Saya butuh bantuannya sekali lagi untuk tahun ini. Mudah-mudahan ini tahun terakhir saya meminta bantuannya."

***

Skripsi!Where stories live. Discover now