"Hm," Jaehyun menggumam, masih dengan tatapan kosongnya "dia tak pernah membalas pesanku," lirihnya.

Ten menjatuhkan bahu, menatap sahabatnya sendu sembari mencengkeram kuat lengan pria itu "Baru kali ini kau sangat memperjuangkan seseorang." Menghela nafas, ia kembali bersuara "Aku akan membantumu Jaehyun-ah, fokuslah pada latihan nanti agar omongan pemain lain dapat kau redam."

Jaehyun menatap lurus kelantai, omongan Ten ada benarnya juga. Hingga saat ini ia masih menjadi bahan pembicaraan pemain lain, mungkin begini jika menjadi pemain termuda dalam timnas, fikirnya.

Banyak yang tak terima jika ia bergabung dalam tim nasional Koreaㅡdengan alasan diumurnya yang masih muda emosinya kadang lebih dominan dibanding menjaga permainan. Tapi Jaehyun tak setuju akan hal itu, toh masih banyak pemain berumur yang juga mengandalkan emosi ketika dicurangi atau merasa direndahkan oleh tim lawan.

"Baiklah," Jaehyun menghela nafas "kau ke lapangan lah dulu, aku ingin ganti baju."

Mengedikkan bahu, Ten beranjak dari posisinya dan meninggalkan sahabatnya itu "Jangan lama Jung!" Ia berteriak sebelum menutup kasar pintu kamar asrama.

Jaehyun hanya menggeleng melihat tingkah sang sahabat, ia kembali menatap layar ponselnya lalu mengetik beberapa pesan disana.

Jaehyun
Hidup di asrama sangat berat

Tapi hidupku lebih berat lagi jika kau tak pernah membalas pesanku Tae.

Jangan hanya membacanya, kumohon balas pesanku meski hanya satu kata

Aku merindukanmu Taeyong, sungguh.

Sekarang jam istirahat makan siang kan? Apa yang kau makan?

Makan yang banyak, aku tak ingin calon Ibu dari anak anakku tipis seperti keripik kentang ㅋㅋ

Aku juga merindukanmu Jaehyun
[Delete]

Aku tak bisa memakan apapun, karena terus memikirkanmu
[Delete]

Jangan menghubungiku lagi, aku sudah melupakan semuanya. Tolong biarkan aku hidup dengan tenang
[Read]

Kalau begitu izinkan aku mendengar suaramu

Sekali saja Taeyong-ah

Kumohon...

Baiklah
[Read]

Taeyong menahan degupan jantungnya yang menggila, bagai taluan gendang saking gugupnya. Ia harap semoga keputusannya ini akan benar benar membuat Jaehyun berhenti mengiriminya puluhan sampai ratusan pesan manis tiap hari. Memang, ia dapat menambahkan nomor sang atlet ke kontak blacklist, tapi apa ia mampu? Jawabannya tidak.

Ia masih menyimpan perasaan pada sosok itu.

Serba salah, Taeyong merasakan hal itu. Disatu sisi ia suka jika Jaehyun mengiriminya pesan dan melaporkan kegiatan sang atletㅡya, kurang lebih seperti fans yang mendapat service gratis dari idolanya. Tapi disisi lain, perasaannya akan semakin tumbuh jika pria itu selalu menulis pesan "Aku mencintaimu Jung Taeyong," setiap malam sebelum tidur.

Degupan jantung Taeyong semakin tidak stabil ketika nama Jaehyun tertera pada layar ponselnya. Ia menarik nafas dalam sebelum menggeser button kekanan. Mendekatkan benda persegi itu disamping telinga, si mungil terdiam dan membiarkan sang atlet berbicara terlebih dahulu.

"Taeyong? Kau yang mengangkat teleponku kan?"

"I-iya," ingin sekali Taeyong menjedotkan bibirnya diatas meja. Kenapa ia harus terbata? Fikirnya.

"Terima kasih," Jaehyun berkata lirih.

Samar samar Taeyong dapat mendengar isakan tertahan dari sang atlet. Tapi ia tetep kekeuh untuk tak memerdulikan hal itu, bisa saja Jaehyun hanya merencanakan sesuatu agar ia jatuh lagi kedalam perangkapnya.

"Apa kau sudah makan Tae?" Jaehyun bertanya dengan suara paraunya.

"Iya sudah."

"Kau sedang bersama siapa disitu?"

"Bukan urusanmu," Taeyong mendengus pelan "jangan berbasa-basi, aku tidak suka. Katakan apa yang perlu kau katakan sebeluㅡ"

"Aku mencintaimu, Taeyong.ntaimu...angat mencintaimu..."

"Apa yang harus kulakukan agar kau percaya padaku lagi?"

Taeyong tak mampu berkata-kata, ia membekap mulutnya sendiri mendengar isakan Jaehyun diseberang sana.

"Aku memang brengsek Taeyong, benar! Tapi itu dulu, sebelum aku bertemu denganmu," lirihnya "kembalilah padaku Tae, kumohon."

"Jika hanya itu yang ingin kau katakan, lebih baik aku mematikannya sekarang."

"Jangan Taeyong, aku masih merindukan suaramu."

Pria mungil itu mengepalkan tangan, menoleh keluar jendela kelas sembari menahan air mata. Aku juga merindukan suaramu Jaehyun, batinnya.

"Jadi apa yang kau inginkan?" Taeyong menarik nafas dalam "Jika kau masih memintaku untuk kembali padamu, lebih baik lupakan dan jangan harap aku akan membaca pesanmu lagi."

"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan lagi?"

"Tidak, aku tak pernah memberi kesempatan untuk kedua kali."

"Lalu apa yang harus kulakukan Taeyong?" Cicitnya.

"Tak perlu melakukan apa - apa, pergilah dari hidupku jika kau mau. Jangan mengasihaniku, aku baik-baik saja."

"Aku tidak bisa..."

"Aku tersiksa jika sehari saja tak mengetahui kabarmu,"

"Tolong, jangan jauhi aku seperti ini."

Menghela nafas pelan, Taeyong berucap "Terserah."

"Aku tahu kau kecewa padaku dan tak akan pernah menerimaku lagi, tapi bolehkah aku menjadi temanmu Tae?"

Pria mungil itu bungkam, amat bimbang dengan apa yang harus ia lakukan. Menjadi teman Jaehyun sama saja jika ia menggali lubang didalam hatinya sendiri, apalagi jika pria itu tetap bersikap manis padanya.

"Baiklah, tapi bersikaplah seperti teman biasa, jangan berlebihan."

"Terima kasih Taeyong, Terima kasih..."

"Hm, aku harus belajar." ucap Taeyong sebelum memutus sambungan telepon sepihak.

"Ya Tuhan, apa yang kulakukan ini sudah benar?" Taeyong bergumam lirih lalu menenggelamkan wajah pada kedua lengannya yang terlipat diatas meja.

to be continued...

Distance | Jaeyong ✓Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum